11. Terlalu Hina

1131 Kata
Mata Sera mendelik ngeri saat melihat pesan yang Abram kirimkan lewat salah satu fitur di media sosial miliknya. Sejak ponselnya hancur dan Sera memakai nomor baru, Abram memang tidak bisa menghubunginya lagi. Namun, nyatanya pemuda itu tidak habis akal. Dia masih berusaha mengusik Sera lewat cara lain. [Abram: Kenapa nomor kamu mati? Aku jadi susah menghubungi kamu.] [Abram: Sudah hampir satu bulan sejak malam penuh kemesraan di antara kita. Aku sangat berharap kamu hamil.] [Abram: Kabari aku secepatnya begitu kamu hamil.] [Abram: Aku sangat menunggu berita bahagia ini.] [Abram: Kita akan menikah dan menjadi keluarga yang bahagia. Kita akan membesarkan anak kita bersama.] [Abram: Aku benar-benar sudah tidak sabar menantikannya.] Sungguh Sera menyesal telah memutuskan untuk masuk ke akun yang sudah satu minggu lebih tidak diaktifkannya itu. Deretan pesan dari Abram langsung terbaca dan membuatnya bergidik antara ngeri dan jijik. Seketika itu juga ketakutan menghinggapi Sera. Bagaimana jika dia benar hamil? "Pak, tolong mampir di apotek sebentar ya," pinta Sera tanpa pikir panjang. Kebetulan mereka sedang dalam perjalanan pulang selepas Sera bekerja. Tarmin menjawab khawatir, "Non Sera sakit?" "Enggak, Pak." Cepat-cepat Sera berdusta. Bisa gawat kalau laporannya sampai ke telinga Aubrey. Sera bisa diinterogasi panjang lebar. "Cuma mau beli beberapa persediaan obat aja buat di Accent." Ketika mobil telah berhenti di depan apotek, Sera tampak ragu-ragu beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Di dalam sana, Sera memborong alat tes kehamilan. Dia berniat akan memeriksa setiap hari sampai siklus bulanannya tiba. Mulai hari itu, Sera benar-benar melakukan tes setiap pagi dan malam. Jika sampai hamil, dia akan langsung melenyapkannya sedini mungkin sebelum sempat bertumbuh. Sejauh ini semua aman. Namun, di hari keempat, hasil pemeriksaan menunjukkan sesuatu yang berbeda. "Kenapa bisa begini?" Tangan Sera gemetar melihat satu garis samar berwarna kemerahan menemani garis lainnya. Biasanya tidak seperti ini. "Seharusnya ini enggak terjadi." Ketika pertama kali Abram menodainya, Sera sudah mengambil langkah pencegahan dengan mengonsumsi pil pencegah kehamilan darurat satu hari setelah kejadian itu. Namun, ketika Abram kembali menodainya, Sera memang terlambat mengonsumsi pil tersebut. Dia terlalu terpukul sampai tidak bisa berpikir jernih. Setelah lima hari mengurung diri di kamar, Sera baru ingat kalau dia harus memaksa diri keluar untuk membeli pil tersebut. Dia tidak bisa meminta orang lain membelikannya. Tekad itulah yang membuat Sera bisa kembali pergi bekerja. Sayang sepertinya pencegahan itu sia-sia. Mungkin dia terlambat mengonsumsinya. Namun, Sera belum mau menerima kenyataan ini. "Mungkin ada kesalahan, besok akan aku coba lagi," bisik Sera penuh harap. Ketika Sera berbaring di tempat tidur malam itu, dia berbisik dengan sangat hati-hati sambil meremas perutnya kuat-kuat, "Jangan berani-berani kamu tumbuh di dalam sana. Aku enggak sudi terima kamu. Sampai kapan pun enggak akan sudi." Keesokan paginya, Sera kembali mengulang pemeriksaan dan hasilnya sama seperti semalam. "Breng-!" jerit Sera tertahan, kemudian mengerang putus asa. "Argh!" "Kamu benar-benar menjijikan! Penghancur! Enggak tahu diri! Kurang ajar!" Sera merasa begitu marah dan jijik di waktu bersamaan. Refleks tangan Sera memukuli perutnya sendiri penuh kebencian. Sera tidak juga berhenti memukuli perutnya, seolah-olah dengan begitu dia dapat mematikan benih Abram yang tumbuh di dalam sana. "Sudah aku bilang jangan berani-berani kamu hadir! Kamu sama kurang ajarnya dengan dia!" “Aku enggak akan terima kamu.” Setelah merasa lelah meluapkan kemarahannya, Sera bangkit berdiri dengan satu tekad kuat. “Aku akan buang kamu hari ini juga. Aku enggak sudi perut aku diisi sama anak dari orang macam dia!" Hidup Sera rasanya akan terlalu hina jika dia harus menjaga janin Abram, lalu melahirkannya. Sampai kapan pun Sera tidak akan pernah sudi. Pagi itu, Sera meninggalkan rumah dengan mengemudi sendiri. Tanpa ragu dia langsung menuju rumah sakit yang terletak Bogor. Sengaja Sera memilih rumah sakit di luar kota demi mencegah ada orang yang mengenalinya. Ketika bertemu dengan dokter, Sera langsung menunjukkan dua alat tes kehamilan yang hasilnya sama-sama positif. "Saya ingin memastikan apakah ini benar?" Dokter wanita yang usianya mungkin sekitar pertengahan 30 itu langsung tersenyum. "Kalau dua hasil menyatakan sama, kemungkinan besar benar, tapi lebih baik kita pastikan dulu melalui USG." Sera mengikuti dokter itu menuju ranjang pemeriksaan dan mengikuti semua arahan perawat. "Benar sekali, Anda hamil,” ujar dokter itu setelah memeriksa beberapa saat. “Kantung janinnya sudah mulai terlihat. Selamat, Bu!" "Jangan beri saya selamat, Dok," desis Sera penuh kebencian. Dokter itu tampak terkejut. "Maksud Ibu apa?" "Saya tidak menginginkan kehamilan ini," ujar Sera dingin. "Bu, anak itu adalah anugerah,” tegur sang dokter tidak terima. “Bagaimana bisa Ibu tidak menginginkannya?" "Ini sama sekali bukan anugerah,” sahut Sera muak. “Ini kutukan, Dok!" Melihat kemarahan yang begitu nyata di mata Sera, dokter itu coba menenangkan. "Bu, apa pun masalahnya, coba dibicarakan dengan suami." "Saya tidak punya suami." Dokter tersebut tidak terlihat terlalu kaget. Mungkin sudah banyak dia menemui pasien seperti Sera. "Ibu belum menikah?" "Benar." "Tapi Ibu pasti punya pasangan, 'kan?” ujar dokter itu yakin. “Coba bicarakan baik-baik langkah selanjutnya." "Saya mau menggugurkannya, Dok. Tolong bantu saya," pinta Sera penuh tekad. Sama sekali tidak ada ketakutan dalam diri Sera untuk melenyapkan janin ini. Dia sama sekali tidak merasa bersalah. Bukan dia yang menginginkan kehadirannya. "Maaf, Bu.” Dokter itu langsung menolak dengan tegas. “Saya tidak bisa melakukannya." "Andai Dokter tahu apa yang terjadi kepada saya," bisik Sera getir. Dokter itu tetap menggeleng tidak setuju. "Apa pun alasannya, menggugurkan kandungan bukan solusi, Bu." Ingin rasanya Sera menjerit dan mengungkapkan kalau kehamilannya ini adalah akibat sebuah pemaksaan. Namun, terlalu hina untuk mengakuinya. Di saat yang sama, pada tempat berbeda, Keifer tengah melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat Sera marah. Sejak pekan lalu, Keifer berusaha mengaktifkan kembali semua akun lama Sera yang tersimpan di ponsel lamanya. Bagi Keifer, sangat mencurigakan melihat Sera memilih menggunakan nomor dan email baru di ponsel barunya, lalu hanya mengunduh sedikit aplikasi saja. Banyak aplikasi yang Sera abaikan, padahal Keifer tahu jika selama ini perempuan itu adalah sosok yang cukup aktif di media sosial. Keifer merasa ada sebuah rahasia yang ingin Sera kubur bersama hancurnya ponsel itu. Butuh waktu cukup lama bagi Keifer untuk memantapkan hati demi melakukan hal yang jelas-jelas melanggar privasi Sera. Namun, melihat keanehan perempuan itu yang terus berlanjut, Keifer tidak bisa diam lebih lama lagi. Berbekal keahliannya dalam bidang teknologi, tidak mudah bagi Keifer untuk melakukan semua itu. Hanya butuh tekad dan kemantapan hati saja. "Sera, maaf kalau aku lancang, tapi aku rasa aku harus melakukannya,” gumam Keifer ketika sudah berhasil masuk ke aplikasi pesan berbasis nomor lama Sera. Jarinya bergerak menelusuri pesan demi pesan yang tampak pada layar ponsel. “Aku tidak bisa membiarkan kamu terus begini." "Abram?” Kening Keifer berkerut ketika matanya membaca nama teratas dalam deretan pesan itu. “Bukankah ini mantan pacarnya?" Ragu-ragu Keifer menyentuh layar ponsel pada bagian nama Abram dan seketika itu juga pesan-pesan di dalamnya langsung terbaca. "Sera …," bisik Keifer geram ketika membaca kata-kata manis memuakkan, tetapi berbalut ancaman dari Abram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN