Pelukanku masih erat. Tubuhku menempel di punggungnya. Nafasku pendek, suara di kepalaku berisik.
Kalandra menarik napas panjang. “Alea, duduk dulu. Kamu tenang dulu, ya."
“Aku nggak mau duduk,” kataku lirih, tanganku justru menariknya agar membalik badan.
Tubuhku bergerak sendiri. Hasrat mengalahkan logika. Obat itu membakar syarafku dari dalam, membuat sentuhan terasa seperti candu.
“Om, tolong...” bisikku lagi. Tapi dia tetap berdiri diam, rahangnya mengeras menahan.
Dia menggenggam lenganku perlahan, mencoba melepaskan pelukan. “Kamu butuh istirahat. Bukan ini.”
Tapi aku menolak. Jemariku menarik kerah bajunya. “Om, sebentar aja. Aku ngerasa gila kalau Om nggak sentuh aku.”
Kalandra menggeram pelan. “Alea, kamu sahabat anakku. Aku nggak bisa.”
"Om! Tadi waktu di acara pesta, om sendiri yang mancing aku juga, kan? Seolah om menikmati karna aku mabuk dan gila. Kenapa sekarang! Sialan!" Aku menutup mulutku yang mulai bicara ketelaluan.
"Maaf, Om."
"Alea, aku tau kamu cantik dan menarik. Siapa yang tahan dengan godaan gadis sepertimu. Tapi aku nggak akan melakukannya, kamu teman Alisa."
Aku mencium aroma parfumnya yang hangat. Tubuhku makin tidak terkendali. Aku tak tahu lagi cara berhenti.
“Aku mohon...” suaraku pecah. “Aku nggak bisa tahan.”
Matanya menatapku tajam. Tapi di balik ketegasannya, aku tahu dia sedang berperang dengan dirinya sendiri.
“Ini bukan kamu, Alea. Obat itu memengaruhimu. Kamu bahkan tidak sadar apa yang kamu rasakan sekarang.”
Aku hanya bisa memejamkan mata. Kepalaku pening. Tubuhku makin menggigil oleh gejolak yang aneh dan menyiksa.
Tiba-tiba dia mengangkat tubuhku dengan satu gerakan cepat. Aku terkejut. “Om?”
“Aku harus bantu kamu keluar dari ini,” katanya pelan tapi tegas.
Dia membawaku masuk ke kamar mandi. Langkahnya panjang, tenang, dan penuh kendali. Tubuhku terguncang dalam pelukannya.
Begitu sampai, dia membuka pintu dan menurunkanku perlahan ke dalam bathtub kosong. Marmernya dingin menyentuh kulitku.
“Duduk di sini,” katanya tanpa menyentuh lebih dari yang perlu. “Biar suhu tubuhmu turun.”
Aku hanya menatapnya dengan napas masih memburu. Tubuhku panas, tapi pikiranku mulai meredup oleh kesadaran.
Tubuhku duduk di dalam bathtub dingin. Tapi hawa panas di dalam tubuhku belum juga reda. Nafasku masih berat. Tanganku mencengkeram sisi marmer.
Kalandra berdiri di depanku, menatap dengan rahang mengeras. Tapi matanya penuh pertimbangan.
Aku mendesah lagi, kali ini lebih berat. “Om, tolongin aku, plis!"
Dia menutup mata sejenak, seperti sedang menahan sesuatu yang menggedor dalam dirinya. Lalu dia membungkuk sedikit, menatapku dari dekat.
“Aku tahu efeknya tidak akan hilang begitu saja,” katanya pelan. “Tubuhmu akan tetap gelisah sampai kamu mendapatkan pelepasan.”
Aku terdiam. Kata-katanya seperti masuk tapi tidak langsung kupahami sepenuhnya.
“Tapi aku nggak akan melakukan hal-hal di luar kesadaran lagi,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tidak seperti yang pernah aku alami dulu.”
Aku menatapnya. d**a masih naik turun. “Maksud Om, dulu?”
Dia tidak menjawab. Hanya mengalihkan pandangan, kemudian berdiri dan mulai meraih tuas keran di sampingku.
“Aku akan nyalakan air,” ucapnya cepat. “Kamu butuh suhu dingin. Itu bisa sedikit menetralkan efeknya.”
Air mulai mengalir. Suara gemericik memenuhi ruangan, tapi aku masih memandangi wajahnya.
Dia tampak tenang di luar, tapi aku bisa melihat jelas kegelisahan yang dia tahan mati-matian.
Air dingin menyentuh kulitku, tapi panas di dalam tubuhku tidak kunjung reda. Rasanya semakin membakar, menekan dari dalam seperti ingin meledak.
Aku menggeliat di dalam bathtub, punggungku menyentuh marmer yang dingin, tapi gelisahku tidak berhenti. Nafasku makin berat, tubuhku seperti kehilangan kendali.
Kain yang menempel basah di tubuhku terasa menyiksa. Tanganku bergerak membuka resleting dengan gemetar, lalu kulepas perlahan tanpa suara.
Kalandra langsung memalingkan wajah, suaranya terdengar berat dan tertahan. “Aku tunggu di luar. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku.”
Aku menatap punggungnya yang tegap. Wajahku panas, tapi yang kurasakan lebih dari sekadar suhu tubuh.
“Om,” bisikku pelan. Dia berhenti di ambang pintu, diam tapi belum melangkah.
Aku berdiri, melangkah pelan di lantai marmer. Kakiku basah, langkahku tanpa suara, tapi dalam hatiku gemuruh.
Tanganku menyentuh punggungnya. Ia membeku seketika. Tubuhnya terasa tegang di bawah jemariku.
“Jangan tinggalkan aku sendirian,” ucapku. Suaraku pelan tapi jelas, penuh sesuatu yang bahkan aku sendiri tak bisa kendalikan.
Dia masih tidak menjawab. Tapi napasnya terdengar lebih berat, dan aku bisa merasakan ketegangan yang ia tahan dalam diam.
Aku melingkarkan lenganku ke pinggangnya, memeluknya erat dari belakang. “Om... maaf. Aku nggak tahu harus bagaimana menenangkan tubuhku.”
Tubuhnya tetap diam, tapi aku tahu dia mendengarku. Aku bisa merasakan panas tubuhnya dari balik bajunya, terasa mendebarkan.
“Aku cuma bisa tenang kalau Om tetap di sini,” bisikku. “Bersamaku. Jangan pergi.”
Aku tetap memeluknya dari belakang.
Kulitku masih lembap, tetesan air menelusuri lekuk tubuhku yang nyaris tak tertutup apa pun selain sisa kain tipis dan aku yakin dia bisa merasakannya.
Tubuh Kalandra menegang sesaat. Udara di antara kami terasa padat. Wangi sabun dan aroma tubuhku yang hangat bercampur jadi satu dalam ruang sempit itu.
Tanganku bergerak perlahan, menyusuri dadanya dari belakang. Bukan niat awal, tapi karena sesuatu dalam diriku seperti terbakar, dan aku hanya ingin meredakannya.
Kain tipis yang kupakai sudah nyaris kering di beberapa bagian, tapi justru itu membuatnya menempel ke kulit, memperjelas setiap garis tubuh yang menyentuhnya.
Aku tahu ini gila. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Bahkan ketika jari-jariku menyentuh kulit hangat di balik kemejanya yang masih terbuka sebagian, aku tidak menarik diri.
Tanganku bergerak tanpa sadar, menyentuh sisi dadanya yang kokoh, lalu turun perlahan ke perutnya. Aku bisa merasakan napasnya berubah. Tegang. Namun dia belum bergerak.
“Alea,” suaranya berat, nyaris seperti geraman tertahan. “Lepaskan.”
Tapi aku justru makin erat memeluknya, menempelkan pipiku ke punggungnya. Jemariku yang panas mulai menggoda, menyapu perlahan sisi samping tubuhnya. Tubuhku menggeliat sendiri, menggesek lembut ke arahnya. Aku tahu ini gila. Tapi hasratku meledak terlalu kuat.
“Om…” suaraku melirih, basah oleh godaan yang tak kupahami sendiri. “Maaf, tapi aku nggak bisa nahan. Aku merasa mau meledak!"
Tiba-tiba tangannya meraih pergelangan tanganku erat dan tegas.
“Berhenti,” desisnya.
Aku menggigit bibir, tapi aku tidak menolak. Bahkan, tubuhku bereaksi saat jari-jariku yang digenggam itu terasa diremas olehnya. Sentuhannya seperti bara.
Dia akhirnya berbalik. Wajah kami hanya sejengkal. Nafas kami saling berbenturan. Matanya menatapku, campuran marah, bingung, dan kurasa, itu gairah.
Aku hanya mengenakan pakaian dalam tipis, kulitku memerah, mataku basah oleh rangsangan yang tak bisa kuredam. Aku tidak bicara. Tapi aku menatapnya, menghiba, tubuhku bicara lebih dulu.
Kalandra mengusap wajahnya sendiri kasar, lalu memalingkan muka. “Alea, aku mohon jangan paksa aku kehilangan kendali," gelengnya.
Aku terdiam. Aku tahu dia sedang berperang melawan dirinya sendiri. Tapi kenapa justru itu membuatku makin ingin menyentuhnya?
Tanganku kembali terangkat. Kali ini menyentuh rahangnya. Lalu menyapu garis lehernya. Tubuhnya menegang lagi. Jantungku berdetak seperti gendang perang.
Dia menarik napas panjang. “Kalau kamu teruskan ini, aku nggak yakin bisa menahan diri.”
Aku menelan ludah. Aku tahu dia tidak menggertak. Tapi hasratku sudah telanjur mendidih.
"Sentuh aku, Om!"