08 - Sekarang, Om! Masuki Aku! ⚠️

1181 Kata
Tanganku bergetar saat meraih pergelangan tangannya. Aku menahannya, bukan untuk menghentikan, tapi agar dia tidak menolak keinginanku yang sudah terlalu dalam. “Om,” suaraku bergetar, nyaris tak terdengar. “Tolong sentuh aku.” Kata itu keluar begitu saja, antara rasa takut dan hasrat yang tak bisa ditahan. Aku menatap matanya tanpa berani berkedip. Aku ingin dia tahu betapa tubuhku sudah menyerah, betapa aku menginginkannya lebih dari siapa pun. Aku meremas pergelangan tangannya lebih kuat, seolah hanya sentuhan itu yang bisa membuatku tetap bernapas dengan benar. Tubuhku menggeliat, panasnya makin membakar. Ini bukan lagi ketertarikan biasa, ini dorongan liar yang tumbuh dari dalam dan tak bisa kulawan. “Kamu harus keluar dari sini,” ucapnya nyaris serak. “Air dingin nggak cukup. Kamu masih panas.” Tanganku naik ke lehernya, menariknya lebih dekat. Napas kami bertemu, panas, bergetar di udara. “Kalau begitu, sentuh aku agar aku nggak panas," bisikku lirih. Dia terdiam, rahangnya menegang, matanya gelap. Aku janji Cuma sebentar,” bisikku nyaris tak terdengar. “Setelah ini, aku nggak akan lancang lagi.” Dia memejamkan mata. Rahangnya menegang. Tapi tetap diam. Aku tahu dia sedang perang dengan dirinya sendiri. Tanganku menyusup ke balik kemejanya yang setengah basah. Aku menyentuh dadanya, lalu turun perlahan ke perutnya. Aku ingin dia. Aku butuh dia. Dia menangkap tanganku, meremasnya keras. “Alea, jangan.” “Tapi aku nggak tahan,” suaraku pecah. “Aku bahkan nggak tahu kenapa aku begini.” Dia menarik napas panjang. “Aku tahu kenapa. Dan itu yang membuatku nggak bisa menyentuhmu.” Aku menatapnya dalam. “Kenapa, Om?” Dia tidak menjawab. Tapi dari sorot matanya, aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar penolakan. “Dulu aku pernah kehilangan kendali…” ucapnya pelan. “Dan aku nggak akan membiarkan itu terulang. Sekalipun kamu menggoda seperti ini.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Tubuhku tetap menyala. Tapi hatiku tiba-tiba berdesir aneh. Kata-katanya terasa berat. “Aku bukan lelaki sebaik yang kamu kira,” lanjutnya lirih. Lantai kamar mandi terasa dingin di telapak kakiku. Dinding keramik di belakangku basah, menyerap panas yang keluar dari tubuhku sendiri. Dia menatapku dalam, tubuhnya berdiri kaku di depanku. Uap dari air pancuran masih melayang, membuat segalanya terlihat seperti fatamorgana. “Om, tolong,” suaraku pecah. “Aku nggak tahan lagi. Rasanya seperti ada yang membakar dari dalam.” Tanganku meraih kerah handuk yang melingkar di lehernya. Aku menariknya mendekat, seolah hanya sentuhannya yang bisa menyelamatkanku. Dia tidak langsung menjawab. Matanya bergerak gelisah, seolah sedang mencari alasan untuk tetap waras di tengah kegilaan yang melanda kami berdua. “Alea,” bisiknya berat. “Aku minta maaf.” Kepalanya menunduk, lalu bibirnya menyentuh leherku yang basah. Sentuhan itu begitu pelan, seperti permintaan maaf yang tak berani diucapkan lebih jelas. Aku menegang seketika. "Ah, Om Kalandra..." “Aku Cuma ingin kamu tenang,” katanya dengan nada menahan. Tangannya meraih lenganku dan menurunkanku perlahan. Punggungku menyentuh dinding dingin, tubuhku bergetar karena suhu dan perasaan yang sama panasnya. Dia berlutut di depanku. Wajahnya di bawah pancuran air yang masih menetes. Tangannya menyentuh pahaku dengan perlahan, sangat hati-hati. Aku memejamkan mata. Tubuhku bereaksi cepat, seolah seluruh sel di tubuhku langsung berebut mendekat pada sumber sentuhan itu. “Aku nggak boleh melakukan ini,” ucapnya pelan. “Tapi aku juga nggak sanggup lihat kamu tersiksa." Napasnya menyentuh pangkal pahaku. Hembusannya membuatku menggigil. Kelembutan itu lebih menyiksa daripada ciuman paling liar. Tangannya bergerak naik sedikit, menyentuh pusat panas di tubuhku. Satu tekanan halus saja sudah membuatku merintih. Tubuhku menegang. Jemariku mencengkeram rambutnya. Aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin api ini padam meski hanya sesaat. “Aku akan bantu kamu lepas,” bisiknya dalam. “Tapi setelah ini, jangan pernah memintaku lebih.” Aku tak menjawab. Aku tak sanggup. Seluruh suaraku tertahan di tenggorokan. Tubuhku hanya tahu satu hal, aku butuh ini. Jemarinya mulai bergerak lembut, ritmis, seolah tahu persis cara menyentuh tanpa membuatku merasa ternoda. Aku mendorong pinggulku sedikit ke depan. Suara air masih terdengar, tapi semua yang kurasakan hanyalah dia. Satu gerakan itu, satu sentuhan itu, cukup membuat tubuhku mulai kehilangan kendali. Tubuhku mulai bergetar dari dalam. Napasnya menyentuh kulitku yang basah. Suara lirihku memenuhi ruang sempit kamar mandi. Aku merintih, memanggil namanya berulang kali. Dia tidak bersuara lagi. Hanya tangannya yang bekerja. Hanya matanya yang terus menatapku dengan perasaan bersalah dan luka dalam. Puncaknya datang cepat. Tubuhku menegang, lalu pecah dalam lenguhan panjang dan gemetar tak terkendali. "Om Kalandra ... Ah!!" Air mata jatuh dari mataku. Tubuhku runtuh di pelukannya. Tapi untuk pertama kalinya aku merasa tenang. Dia memelukku erat. Tidak berkata apa pun. Tapi jantungnya berdetak begitu keras hingga bisa kurasakan langsung di dadaku. Dia menunduk, suaranya pecah di antara bunyi air. “Maaf, Alea.” Aku mengangkat wajahku perlahan. Tatapanku bergetar, antara lelah dan kehilangan. Ada sesuatu yang tumbuh di mataku, bukan sekadar keinginan, tapi rasa yang tak lagi bisa kusembunyikan. Ketika dia hendak mundur, aku lebih cepat. Aku menarik wajahnya, mendekat hingga napas kami bertemu. Dia terpaku. Tatapan kami bertaut, saling menahan sesuatu yang sudah tak bisa diucapkan dengan kata. Lalu aku mencium bibirnya. Lembut, singkat, tapi penuh makna. Dalam ciuman itu, aku seperti sedang berterima kasih sekaligus meminta maaf dalam waktu yang sama. Dia membeku. Tubuhnya tak bergerak, tapi aku tahu hatinya sudah berantakan. Dia menegang seketika. Bibirku masih menempel di bibirnya, tapi Kalandra tak membalas. Tubuhnya kaku. Udara di antara kami seperti membeku. Aku perlahan menarik diri, menatapnya dengan d**a naik turun cepat. “Kenapa om diem aja?” suaraku bergetar. “Aku masih butuh kamu, Om…” Dia menatapku, rahangnya menegang. “Alea, hentikan. Kamu nggak tahu apa yang kamu lakuin. Kamu sudah cukup tenang, sekarang sudah, ya." Aku menggeleng keras. Air mataku bercampur dengan tetesan air dari pancuran. “Aku tahu! Aku tahu apa yang aku mau. Aku cuma nggak tahan lagi!" Tanganku naik, memegangi wajahnya agar tidak bisa menghindar. “Tolong…” suaraku parau. “Cium aku. Sekali aja. Aku nggak peduli salah atau nggak.” Dia memejamkan mata, menahan diri sekuat tenaga. “Jangan minta itu dari aku.” Aku menarik napas tersengal, lalu menempelkan tubuhku ke dadanya. “Kenapa? Karena aku anak kecil di matamu? Karena aku bodoh?” suaraku pecah. “Kalau memang aku bodoh, biarkan aku bodoh malam ini.” Kalandra membuka mata, dan untuk sesaat aku melihat matanya goyah. Aku tahu aku memenangkannya perlahan. “Alea, kamu lagi kebawa sesuatu—” “Aku kebawa kamu,” potongku cepat. “Aku Cuma mau kamu. Tolong…” Aku menarik kerah bajunya dan kembali menempelkan bibirku ke bibirnya, kali ini dengan paksa. Dia sempat menahan bahuku, tapi ketika aku mengerang rendah di sela ciuman, pertahanannya runtuh. Tangannya beralih, memegang wajahku, lalu membalas ciumanku dengan dalam, keras, dan panas. Aku kehilangan napas. Ciuman itu membakar, membuat seluruh tubuhku bergetar hebat. Tanganku naik ke belakang lehernya, menahannya agar tak bisa lagi menjauh. Dia menggeram pelan, napasnya berat. “Kamu nggak tahu apa yang kamu minta, Alea!" Aku tahu,” sahutku cepat di sela napas. “Aku minta kamu. Sekarang, Om! Masuki aku!" Kalandra menatapku dalam, mata kami hanya berjarak beberapa senti. “Kamu bakal menyesal, Alea," katanya pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN