Setelah puas berkeliling, Syaila mengajak ketiga orang yang mengikutinya untuk beristirahat di salah satu kedai es krim.
"Seru juga ya, jalan sama kalian, aku puas. Hari ini sangat menyenangkan. Terima kasih ya, kalian mau nemenin kami, ya kan Mas?"
"Eh, iya." Satria gelagapan. Hampir saja ia ketahuan sedang memperhatikan wajah Vivian yang menggemaskan. Hah, sial! Kenapa ia jadi canggung begini dengan Vivian? Mungkin ia sedikit gila karena berani memeluk Vivian, tapi sungguh, maksudnya hanya ingin menenangkan gadis itu, tak lebih.
"Sama-sama, Mbak. Kebetulan aja kami lagi gak ada acara. Ya kan, Vi?"
"Iya, saya senang bisa menemani Mbak Syaila sama dokter."
"Duh manisnya kalian, kompak banget. Doakan kami juga ya, biar cepet disahkan." Syaila melirik Satria yang anteng dengan ponselnya.
"Iya, Mbak. Semoga dokter dan Mbaknya cepat ke pelaminan."
"Makasih Vivian cantik, kamu ternyata asyik juga ya orangnya. Eh Vino jangan kasih kendor, Vivian harus segera diikat tuh, keburu ada yang ngambil."
Emang kambing diikat? Vivian mendelik sebal pada Vino yang cengengesan. Merasa di atas angin dia!
"Mas, kok diem aja sih? Lagi chat ama siapa sih?"
Satria yang sedang anteng mengarahkan kamera ke wajah Vivian. Dengan cepat di pencetnya tombol kamera. Klik. Yeah! Dapat!
"Mas! Ngapain sih? Aku pengen lihat boleh gak?"
"Apa? Kenapa?"
"Sini, lihat ponsel kamu."
"Eh, jangan! Ngapain kamu? Saya lagi ada chat dari pasien."
Bibir Syaila maju beberapa centi, kesel tingkat dewa rupanya. Masa dirinya dicuekin terus sepanjang hari. Beruntung ia mengajak Vivian dan Vino. Jadi ia dapat temen ngobrol selama mereka jalan.
Satria tersenyum sendiri melihat ekspresi Vivian di ponselnya. Lucu banget ini anak! Lumayanlah, buat obat suntuk kalo lagi banyak kerjaan. Ia lalu menyimpan foto hasil jepretannya pada galerinya.
"Mas, kenapa sih? Kok senyum sendiri?"
"Hanya merasa senang saja. Saya belum pernah merasakan sesenang ini."
"Benarkah? Wah, lain kali ajak aku jalan lagi ya, Mas? Biar Masnya seneng terus. Aku bangga deh, udah bikin Mas seneng hari ini."
"Hm."
"Eh, kita pesan es krim yuk? Aku suka banget sama es krim! Rasanya manis semanis wajahku. Ya kan, Mas?"
"Hm."
"Aku beli rasa Vanila deh, kamu mau samaan denganku, Mas?"
"Hm."
"MAS!!"
"EH, KENAPA?! Kamu bikin saya kaget!"
"Habisnya dari tadi Mas cuma bilang 'hm, hm'. Kan aku jadi kesel."
Vivian dan Vino saling menatap, lalu keduanya menahan tawa. Ini ceritanya pasangan calon suami istri, tapi kok kayak anak sama bapaknya, ya?
Karena gak tahan melihat pasangan gak jelas ini, Vino yang nyeletuk, "mungkin Mas dokternya lagi sakit gigi kali?"
"Vino! Kalo ngomong jangan sembarangan, gak baik tahu!" Vivian mendelik sebal pada Vino yang suka ceplas ceplos itu.
Satria hanya diam. Dia tak menanggapi obrolan ketiga orang di depannya.
"Nah, es krimnya udah dateng tuh, buat pengusir bete aku yang udah segede gunung."
Menikmati es krim di tengah matahari terik memang sangat lezat. Vivian udah lama gak makan es krim di kedai ini. Tiga bulan ini ia disibukkan dengan PPL dengan seabrek tugas administrasi guru.
Melihat Vivian yang begitu bersemangat memakan es krim, Vino mengeluarkan tissue untuk membersihkan es krim yang belepotan di bibir Vivian.
Melihat gerak gerik Vino, Satria memutar bola matanya, ia lalu melirik Vivian. Benar saja, gadis itu memang selalu membuat repot semua orang. Ia tahu persis maksud Si Vino-vino itu, pasti hendak membersihkan bibir Vivian dengan tissuenya. Drama banget, kayak anak kecil! Dengan kesal ia buru-buru mengeluarkan tissue.
Saat tangan Vino hendak terulur, ia urung. Sebab ada tangan lain yang sudah mendahului maksudnya.
"Kalo makan tuh jangan tergesa-gesa! Belepotan kan jadinya? Nih, bersihkan mulut kamu!"
Vivian menatap Satria yang meletakkan tissue di samping mangkuk es krim milik Vivian. Ia lalu melihat ke arah Vino yang juga memegang tissue.
Tiba-tiba saja perasaan Vino jadi gak enak. Ah bukan gak enak, tapi merasa sedikit aneh dengan tingkah dokter yang satu ini. Sejak mereka bertemu, dokter muda yang - sialan - berwajah tampan itu sudah menampakkan rasa tidak suka pada dirinya. Bahkan Vino berusaha untuk pura-pura tidak tahu jika sejak mereka berempat jalan, pandangan dokter itu tak pernah lepas dari Vivian. "Ah, ya benar. Ada es krim di bibir kamu."
"Oh, benarkah? Terima kasih."
Syaila menatap bengong kedua pria di depannya. Kenapa jadi lomba mengeluarkan tissue seperti ini sih? Perasaan beberapa jam yang lalu ia sudah merasa aman dari Vivian. Tapi melihat situasi seperti ini, ia patut waspada pada Vivian. Siapa tahu gadis itu bisa kembali mengancam posisinya sebagai calon istri Satria.
***
"Gimana hubungan kalian? Sudah sampai mana?"
"Sampai mana apanya, Mi?"
Setelah mengantarkan Syaila pulang, Satria mampir ke rumah orang tuanya. Sebenarnya sih, dia ingin mengantarkan Vivian juga. Hanya, Si Vino malah udah nyerobot duluan. Kan nyebelin tuh!
"Ya pendekatan kalian. Udah ada kecocokan atau belum?"
"Ya gitulah. Masih sama."
Kevin yang ikut berkumpul bersama keduanya hanya mendengarkan sambil memindah-mindah chanel TV.
"Belum ada kemajuan?"
"Belum."
"Kamu gimana sih? Pake usaha dikit dong, ambil hatinya. Dia pasti mudah diluluhkan sama kamu."
Satria diam. Gak usaha juga gadis itu udah nempel terus sepanjang hari. Yang jadi masalah adalah dirinya. Bukan Syaila.
"Kak, kalo yang aku lihat sih, Syaila kayaknya suka banget deh sama Kakak."
"Mungkin."
"Kok mungkin sih, Nak? Bener tuh kata Kevin. Mami juga berpikiran sama. Syaila udah jatuh hati sama kamu."
"Mi, bisa gak hari ini kita gak bahas Syaila dulu?"
Mami dan Kevin saling memandang. Suara Satria naik beberapa oktav dari biasanya.
"Oh, oke. Mami gak akan bahas lagi."
Satria melenggang pergi menuju kamarnya.
"Kev, kakakmu kenapa ya? Kok jadi sensi gitu?"
"Mana Kevin tahu, Mi. Kan Kevin seharian ini cuma bantuin Mami bikin kue."
"Ya sih, cuma Mami heran, gak biasanya kakakmu kayak gitu. Apa dia bertengkar sama Syaila, ya?"
"Emang gak biasanya sih, baru kali ini Kak Satria bertingkah kayak orang datang bulan. Bisa jadi, Mi."
"Huff, kakakmu itu memang suka menyimpan masalahnya sendiri. Makanya Mami ngotot jodohin dia, kalo gak, mana mau dia usaha cari istri sendiri. Lama-lama Mami khawatir kakakmu jadi bujang lapuk."
***
Satria masih terjaga. Padahal ini sudah 1 jam sejak ia masuk kamar. Maksudnya sih ingin langsung tidur dan istirahat. Tapi bayangan menyebalkan saat Vino yang terus menggoda Vivian berseliweran di otaknya.
Apalagi gadis rapuh itu mudah sekali membuat orang di sekitarnya merasa sayang dan perhatian padanya.
Mencoba menutup matanya untuk tidur. Wajah memelas Vivian yang minta tolong karena perutnya sakit muncul di kepalanya. Satria bangun tergesa, bagaimana kalo itu benar terjadi? Si Berengsek Vino pasti memanfaatkan kelemahan Vivian untuk terus mengincar gadis itu! Ini gawat! Bagaimana kalo Vino pura-pura kasihan, lalu memeluk Vivian?
Hah, ini buruk! Satria harus mencegahnya! Tapi bagaimana caranya ia memisahkan Vivian dari Vino?
Ponsel yang sudah ia simpan di laci kembali diambil dan dibuka. Mungkin ini satu-satunya cara. Ia harus memastikan kalau Vino tidak melakukan apapun pada Vivian.
Tapi, apa ini tidak berlebihan? Itu kan privasi pasien? Harusnya ia tak ikut campur!
Ah, tidak juga. Ini penting. Bayangkan saja, jika Vino melakukan lebih dari sekedar memeluk? Lalu Vivian malah takut dan sakitnya makin parah karena trauma pelecehan. Ini mengerikan!
Sepertinya langkah menelepon Vivian dan memastikan gadis itu baik-baik saja sudah tepat. Baiklah, tanpa ragu, Satria menelepon Vivian.
"Ayolah, angkat! Jangan membuatku khawatir!"
Namun sampai deringan berakhir, Vivian tak menjawab telepon darinya. Satria makin gelisah. Kemana gadis itu? Bukankah tadi Si Vino bilang mau mengantarkan Vivian? Atau jangan-jangan Vino membawanya ke tempat lain? Dari penampilan saja sudah dapat ditebak, Vino doyan clubbing. Duh, gimana ini?!
Sekali lagi Satria mencoba menghubungi Vivian. Tepat pada deringan ketiga, akhirnya Vivian mengangkat teleponny.
"Ya, hallo?" Suara serak Vivian terdengar di seberang sana.
"Kamu gak papa, kan? Sedang apa kamu? Di mana ini?"
"Saya lagi tidur di kamar. Kenapa dok?"
"Apa?! Jadi kamu ada di kamar? Vino bawa kamu ke kamar?!"
"Duh, kamar apaan sih, dok? Apalagi malah bahas Vino. Kenapa sih, dok?"
"Tunggu, kamu di kamar hotel?"
"Ish, dokter ngaco ah, hotel apaan? Saya di rumah, dok."
"Oh ya, syukurlah. Saya lega mendengarnya. Tapi ada satu hal yang ingin saya tanyakan sama kamu."
"Apalagi sih, dok?"
"Jawab jujur Vivian, apa Vino memelukmu?"
"Meluk apanya?"
"Ya meluk atau cium kamu mungkin."
"Enggaklah, dok. Yang meluk saya kan dokter. Masa malah nuduh Vino."
Satria menelan salivanya dengan susah payah. Sial, perkataan Vivian memang benar. "Kamu... membela Vino?"
"Saya gak membela siapa pun, tapi emang bener kan tadi siang dokter Satria meluk saya?"
"Ah itu, memang kamu sudah seharusnya dipeluk kok, waktu itu kamu sedih dan perlu ditenangkan."
"Makanya dokter jangan sembarangan nuduh. Dokter sendiri malah meluk saya. Emang kenapa sih saya gak boleh jalan sama Vino?"
"Karena Vino kurang baik buat kamu. Saya meluk kamu ya karena untuk keperluan penting. Sebab salah satu yang harus saya tunaikan pada pasien saya adalah memberinya ketenangan."
"Udah gak ada lagi? Saya ngantuk, dok."
"Ya udah. Tidur sana, jangan bergadang."
"Iya, ini dokter yang ngajakin bergadang malah. Hoamm..."
"Saya nelepon gak malam-malam banget kok, cuma jam..."
Satria melirik jam dinding di kamarnya, lantas ia meringis, kok ini udah malam sih? 00.05.
"Hallo? Kamu tidur gih, ini cuma bentuk peduli saya sama kamu."
"...."
"Vivian? Apa kamu tidur?"
"Zzz..."
"Yah, dia tidur."
Setelah yakin Vivian tidur, Satria menutup sambungan telepon. Merentangkan kedua tangannya lalu berbaring dengan nyaman. Ia tersenyum penuh kemenangan. Lega sekali rasanya. Akhirnya ia bisa tidur dengan tenang. Si Vino gak ngapa-ngapain Vivian. Baguslah, ia bisa tidur nyenyak sekarang. Keselamatan pasiennya sudah terjamin.