Hari minggu adalah hal yang paling ditunggu. Sedikit menghirup nafas segar pagi hari tanpa dikejar waktu. Demikian juga dengan Satria. Pagi yang tenang ia nikmati dengan secangkir teh hijau hangat. Ia tidak terlalu suka kopi. Teh juga hanya sesekali.
Satria membuka beberapa chat di akun media sosialnya. Ribuan pesan yang masuk belum ia baca. Mulai dari grup alumni, grup seprofesi, grup rekan kerja sampai grup keluarga. Ah, ia sampai lupa, kemarin ia belum sempat membalas chat Sang Mami. Padahal udah dibaca.
Sebenarnya, bukan sekali ini saja Satria lupa membalas chat. Dan Mami sudah faham keadaannya. Beliau tidak pernah menuntut. Hanya Satria saja yang sering merasa tidak enak.
Akhirnya ia inisiatif menelepon Maminya. Tak butuh waktu lama, deringan kedua Maminya sudah mengangkat.
"Akhirnya kamu nelpon juga. Gimana kabarnya?"
"Baik, Mi. Maaf, aku baru sempet ngabarin Mami."
"Iya, gak apa-apa. Eh, kamu hari minggu ini gak kemana-mana kan?"
"Gak, Mi. Aku di rumah aja. Emang kenapa?"
"Itu lho, orang tua Syaila minta kepastian. Gimana kelanjutan hubungan kalian? Katanya usia Syaila sudah cukup untuk menikah, kamu juga, jadi cepat ambil keputusan."
"Iya juga sih. Tapi Mi, masalahnya menikah bukan hanya persoalan usia. Hati juga harus dilibatkan. Aku gak mau gegabah."
"Justru itu, makanya kamu coba deketin Syaila. Anaknya baik dan cantik kok, apalagi hari minggu kayak gini. Kan kamu bisa ajak Syaila jalan. Hitung-hitung berusaha membuka hati masing-masing."
"Aku lagi pengen di rumah, Mi. Ntar aja deh, minggu depan."
"Kalo gitu, Syaila yang Mami suruh kesana ya?"
"Ke rumahku?"
"Iya, lagi pula setelah kalian menikah nanti kan, Syaila pasti tinggal sama kamu. Jadi biar dia bisa adaptasi di rumah kamu."
"Eh, jangan dulu, Mi. Syaila jangan tahu dulu mengenai rumahku."
"Lho, kenapa? Dia kan calon istri kamu juga?"
"Iya aku tahu. Gini aja deh, biar aku nanti hubungi Syaila. Aku ajakin dia jalan."
"Benarkah? Nah gitu dong, biar ada usaha. Mami seneng dengernya. Ya udah, Mami tutup dulu ya?"
"Ya, Mi."
Satria menghela nafas. Ia hampir lupa dengan perjodohan itu. Hah, Mami memang benar, bukan hanya Syaila yang sudah cukup umur. Dirinya juga sudah masuk kepala tiga. Tapi entah kenapa, dia belum menemukan seseorang yang menyentuh hatinya.
***
"Mas, jalannya pelan dikit dong, aku kan jadi repot."
Syaila menghentakkan kakinya dengan kesal. Saat ini ia sedang berada di salah satu mall besar di Jakarta. Ceritanya sih, Satria ngajakin jalan, tapi ya gitulah. Satria kayak jalan sendiri, dia anteng jalan sambil lihat-lihat baju oblong, sementara Syaila dibelakang terseret-seret mengikutinya. Entah disengaja atau tidak, Satria berjalan tanpa menoleh ke belakang, ah, atau mungkin karena kakinya yang terlalu panjang, hingga langkahnya jauh lebih cepat dari Syaila.
"Mas yang warna merah kayaknya bagus banget buat kamu. Cerah, aku suka."
"Saya bukan beli baju buat kamu. Jadi pilihan saya sesuai selera saya."
"Ish, Mas gak asyik banget deh!"
Satria tak menggubris. Ia kembali memilih deretan baju oblong polos. Pilihannya jatuh pada kaos warna abu muda. Tangannya terulur hendak mengambil kaos pilihannya, namun terhenti saat ia malah menyentuh tangan seseorang yang juga mengambil kaos yang sama.
"Lho, dokter Satria?" Ternyata Vivian yang mengambil baju itu.
Satria mengerutkan kening. Melihat sekeliling gadis itu. "Kamu, pergi sendiri?"
Belum juga Vivian menjawab, dari belakang muncul pria yang menurut Satria sangat menyebalkan.
"Dia sama saya, dok. Kenalkan, saya Vino. Maaf pertemuan kita dulu agak kurang enak."
Satria menerima uluran tangan Vino dan buru-buru melepaskannya. Gak tahu kenapa, ia sangat tidak menyukai pria yang satu ini.
"Tak masalah. Kalian pergi berdua?"
"Oh tentu saja."
"Tidak."
Vivian dan Vino saling menatap. Tepatnya Vivian yang menatap Vino dengan kesal.
"Begini dok, kami sedang membeli cindera mata buat guru pamong di SD tempat kami PPL. Kebetulan saya lihat baju oblong ini. Kayaknya pas buat Kevin."
Satria menatap Vivian tak percaya. Demikian juga dengan Vino.
"Kamu... beliin baju buat adik saya?"
"Ya iyalah dok, buat siapa lagi, sobat cowok saya cuma dia. Lagian seminggu yang lalu dia belikan saya helm baru. Jadi ya hitung-hitung balas budi juga."
"Jadi lo nyuruh gue milih baju buat Kevin?"
"Iya, emang kenapa?"
"Anjir! Gue udah melambung, tega amat lo, Vi."
"Ye, siapa suruh gak nanya buat siapa."
Suara centil milik Syaila membuat ketiganya menoleh ke sumber suara.
"Eh, di sini ternyata. Lho, ada Vivian juga? Sama pacarnya ya?"
"Bukan."
"Iya."
"Apaan sih lo? Ngaku-ngaku."
"Ya aminin aja lah, Vi. Lagian kita kan lagi dalam proses menuju kesana."
"Kita? Lo kali, gue enggak."
"Busyet, sadis lo Neng!"
"Bodo!"
Syaila menahan tawa melihat perdebatan kecil Vivian dan Vino. Dalam hati ia bersorak. Akhirnya posisi dia aman dari gadis menyebalkan bernama Vivian.
"Udah, gak papa kok, Vi. Kalian serasi lho, ya kan Mas? Mas! Kok bengong?"
"Eh, apa?"
"Mereka serasi kan? Vivian sama Vino, namanya aja mirip. Ya nggak?"
"Ya."
Menjawab sambil memalingkan muka ke arah lain, entahlah, Satria makin enek lihat mereka berdua.
"Eh, Vi. Gimana kalo kita makan bareng? Kalian belum makan, kan?"
"Gak deh, Mbak. Kami pergi sama rombongan, jadi gak enak ninggalin mereka."
"Gak kok, Vi. Barusan gue dapet chat dari Sendi. Katanya mereka balik duluan. Mau langsung bungkus kadonya katanya."
"Tuh, kan? Gak papa. Yuk, mau ya?"
Kalo udah begini, Vivian gak bisa menolak lagi. Ia hanya pasrah mengikuti tiga orang di depannya. Ah bukan tiga orang. Melainkan dua orang yang sibuk berbasa-basi, sedang dirinya terjebak keheningan di belakang dengan Satria. Belum lagi tatapan Satria yang dari tadi udah kayak jarum suntik menusuk mata. Tajam banget!
"Nah, kita makan ramyeon aja, biar seger nih kepala."
"Tunggu, apa ada menu lain selain mi pedas itu?"
Syaila menoleh, Satria sedang bertanya padanya. Ia tersenyum. Pasti Satria mengkhawatirkan dirinya. Seketika pipi Syaila merona. Duh, manisnya Satria ini, gemesin banget deh, belum apa-apa udah perhatian banget.
"Tenang aja, Mas. Aku udah biasa kok, jangan khawatir, aku gak bakalan sakit. Lagian kalo sakit juga kan ada kamu yang ngobatin aku."
"Uhuk!"
"Vi, kenapa lo? Hati-hati, minumnya pelan-pelan."
"Ya, gue gak papa."
Entah kenapa, mendengar perkataan Syaila barusan, membuat Vivian tersentak. Bukan cemburu! Bukan kok, hanya merasa tak nyaman aja. Lagian ia gak berhak buat cemburu. Toh, dirinya hanya pasien biasanya Satria kan?
"Kamu kenapa Vi, hati-hati, nah begini bagusnya jalan sama gebetan, kan ada yang jagain, ya kan Vino?"
"Iya, Mbak. Vivian emang suka ceroboh. Dia juga gampang sakit. Mana bisa saya gak mengkhawatirkan dia?"
"Ekhm! Udah, cuma keselek biasa kok. Syaila, mau pesan atau tidak?"
"Eh iya, Mas. Jadi dong, Mas mau level berapa?"
"Saya pesan yang bukan ramyeon, ada kan? Semacam paket nasi sama ayam?"
"Oh ada tentu saja."
Syaila mengangkat tangannya, memanggil pelayan. Dirinya memang penggemar makanan pedas. Menurutnya setelah makan pedas, bibir terasa lebih seksi. Kan lumayan buat menarik perhatian Satria.
"Saya level 3 ya, paket nasi-ayam nya satu, kalian level berapa?"
"Saya level 3 juga. Vi, lo kuat level berapa?"
Vivian menggigit bibir. Duh, terakhir kali ia makan pedas, berakhir dipembaringan akibat diare. Tapi di depan semua orang kayak gini, malu rasanya mengakui kalo dia gak kuat makan pedas.
"Gue... level satu aja."
"Oke, Mbak. Pesanannya di tunggu ya?"
"GPL ya? Alias gak pake lama."
"Siap, Mbak."
Syaila mengerling genit pada pelayan itu. Vivian melihatnya sampai ingin muntah. Dih, centilnya kok gak ketulungan ya?
Lima belas menit mereka menunggu dan pesanan pun datang. Syaila menatap penuh minat pada mangkuk yang masih mengepul dengan aroma pedas yang menggiurkan itu.
Setelah semua mendapat bagian masing-masing, Syaila berseru dengan penuh semangat.
"Selamat makan semuanya, wuh! Mantap pedasnya!"
Melihat warna kuah yang kental dengan cabe, Vivian meringis. Tapi mati-matian ia sembunyikan rasa takutnya.
"Makan punya saya."
Tiba-tiba saja hidangan di depannya berganti dengan menu paket nasi-ayam. Vivian menatap kaget pada Satria. Lagi-lagi pria itu menyelamatkannya. Tak bisa dipingkiri, ia sedikit lega menunya ditukar.
"Lho, kenapa Mas? Kok ditukar?"
"Tadinya, saya mau makan nasi, tapi melihat punya Vivian, saya jadi mau makan mie juga."
"Kok dokter gitu sih? Kasihan Vivian dong, kan tadi dia pesen mie, masa ditukar? Vi, lo mau makan mie juga ya? Punya gue aja? Kita makan berdua?"
"Eh, enggak! Maksudnya gak papa kok. Lagian aroma ayam gorengnya menggoda banget. Jadi makan ini aja."
"Beneran, Vi?"
"Iya. Bener kok. Gue lagi pengen makan ayam."
"Ya, udah."
Vino sedikit sebal pada dokter satu ini. Udah nyebelin, ngaku-ngaku calon suami Vivian lagi, eh sekarang, seenaknya menukar makanan orang.
Sedangkan Satria sendiri mulai mencoba memasukkan mie yang membuat perut panas itu ke mulutnya. Tanpa disadari semua orang, bibirnya membentuk senyuman. Ia lega, akhirnya Vivian aman.
Vivian mengusap perutnya yang sudah terisi. Ia tak berhenti tersenyum senang. Ia bisa selamat dari makanan mengerikan itu tanpa merasa malu. Ah, kalo begini kan enak. Tapi sepertinya ia harus ke toilet, kali aja ada makanan yang nyelip di gigi. Kan gak enak tuh!
"Saya ke toilet dulu sebentar."
"Oh iya. Vi, lo pulang sama gue ya?"
"Iya."
Vivian bangkit dari duduknya. Sesampainya di toilet, ia segera memeriksa giginya. Tuh kan? Benar, ada yang nyelip. Ia lalu membersihkan giginya dan sedikit merapikan penampilannya.
Ia menutup kembali pintu toilet. Namun ia terkejut saat sebuah tangan menahan lengannya.
"EH!! APA-APAAN INI?"
Setelah tahu yang menariknya adalah Satria, ia lalu menghembuskan nafas lega. "Dokter bikin saya kaget, saya kira saya ada yang nyulik."
"Ngapain nyulik kamu? Kerjaannya ngerepotin terus."
Vivian nyengir. Tahu aja nih dokter!
"Terus ngapain dokter narik saya begini?"
"Kamu ada hubungan apa sama si Vino-vino itu?"
"Saya? Cuma temen kok. Emang kenapa? Dokter cemburu ya?"
"Kamu ini, mana mungkin saya cemburu. Kamu bukan pacar saya, kamu itu cuma pasien saya."
"Lha, terus apa hubugannya?"
"Kamu lihat kan? Dia gak tahu kamu. Dia gak memahami gimana kamu! Lain kali, saya gak mau kamu jalan lagi sama dia!"
"Kenapa emangnya?"
"Apa kamu gak sadar? Bisa aja dia ngajak kamu buat makan menu mengerikan kayak tadi lagi. Atau mungkin lain waktu dia ngajak kamu minum alkohol. Kamu mau?"
Menyadari badannya yang lemah dan gampang sakit, Vivian malah menangis. Airmatanya menggenang. Ia terisak pelan.
"Kamu menangis?"
"Bukan, hiks. Saya... hiks, cuma kelilipan."
"Dasar cengeng, sini kamu."
Mata Vivian sukses melotot saat Satria tiba-tiba saja memeluknya dan mengusap kepalanya dengan sayang. Mata Vivian mengerjap. Ini nyaman, tapi sedikit mendebarkan. Ah, bukan sedikit, tapi benar-benar mendebarkan.
"Dengar, saya hanya menyayangi pasien saya. Kamu mengerti?"
Vivian mengangguk kecil dalam pelukan Satria.
Tanpa Vivian sadari, debar jantung Satria bertalu lebih cepat dari normal. Usapan pria itu jadi sedikit kaku. Ini aneh, kenapa dirinya berdebar? Ia lalu segera melepas Vivian dan mengerjap beberapa kali.
"Udah, kita kembali. Mungkin Vino dan Syaila sudah terlalu lama menunggu."
Vivian mengangguk patuh dirinya juga belum bisa menormalkan debaran jantungnya lagi. Meski udah mencoba beberapa kali menarik nafas lalu menghembuskan perlahan.
Ingat Vi, Satria bilang dia hanya menganggapnya pasien biasa! Tak lebih!