"Lho, Vi? Lo di sini lagi? Ngapain?"
Vivian menoleh ke arah pintu kamar. Di sana berdiri Kevin yang terlihat lusuh. Mungkin baru pulang kuliah.
"Eh, elo Vin. Iya nih, lagi-lagi gue ngerepotin kakak lo."
"Lo sakit lagi?"
Kevin menatap Vivian yang berbaring malas-malasan di kasur kakaknya. Sebenarnya Kevin merasa agak aneh, kenapa Vivian tidur di kamar kakaknya? Tapi rasa herannya ia sembunyikan baik-baik.
"Kata kakak lo, gue pingsan saat acara baksos di SD tempat gue PPL. Kebetulan kelompok gue kerja sama dengan rumah sakit tempat kakak lo kerja."
"Begitu rupanya. Terus sekarang gimana keadaan lo?"
"Yah, berkat kecerewetan kakak lo itu, gue agak baikan."
"Apa? Kak Satria cerewet? Serius lo?"
"Iya, gue ampe dibentak-bentak di suruh tidur. Dih, beruntung gue gak punya kakak galak macam kakak lo itu. Bentakannya serem tahu."
Kevin terdiam. Apa benar Satria sampe segitunya? Ini sedikit aneh. Perhatian Satria agak berlebihan jika melihat keseharian kakak sulungnya itu. Setahu Kevin, Satria tidak banyak bicara. Bahkan pulang ke rumah juga jarang. Di rumah ini aja, cuma Kevin yang rajin bolak-balik nginep di sini. Dan Satria akan marah jika ia membawa orang lain kemari.
Lah ini? Vivian malah tidur di kamar pribadi Satria! Ah, bukan kali ini aja, dulu juga pernah.
"Kev, napa lo diem?"
"Ah, nggak. Gue cuma berpikir bagaimana bisa lo pingsan kayak gitu?"
"Gue pingsan karena lupa sarapan. Bahkan minum juga lupa. Akhirnya ya pusing dan pingsan."
"Oh ya Mami lo udah tahu?"
"Jangan bilang Mami, gue mohon sama lo ya Kev?"
"Napa emang?"
Ntar Mami berasumsi lain kayak Evi tentang gue dan dokter Satria.
"Kok diem?"
"Apa? Ya, karena Mami suka berlebihan. Lo tahu sendiri kan?"
"Ya sih, tapi gimana kalo Mami lo tahu dari temen sekelompok lo?"
Vivian menepuk jidatnya.
"Ah iya, gue lupa! Mami udah kayak inteljen kalo masalah kayak ginian. Duh, gimana ya? Kev, lo mau nolongin gue nggak?"
"Apaan?"
"Kalo Mami nanya, bilang aja, gue ditolongin sama lo."
"Lah kan, semua orang disitu lihat, lo dibawa ama kakak gue?"
"Ya bilang aja, abis dibawa ama kakak lo, gue dijagain ama lo. Kan lo tahu gue dibentak ama kakak lo ampe mewek."
"Ha? Serius lo ampe mewek? Bwahaha..."
"Yaelah, malah ketawa nih bocah!"
"Hahaha.. sorry, abis gue gak tahan ngebayangin kakak gue dengan muka kusutnya dan lo dengan linangan air matanya. Dan sumpah, itu lucu."
"Dikira lenong apa?"
"Oke, sorry, jangan cemberut, kayak mak lampir tahu!"
"Semau lo aja deh, tapi serius ya? Lo mau nolongin gue?"
"Iya dah,bawel amat lo."
"Thank you, Kevin! Lo emang the best friend deh!"
Vivian mencubit kedua pipi Kevin. Sahabatnya itu tersenyum. Sebanyak apapun Kevin berkorban untuk Vivian, dirinya masih tetap jadi sahabat, gak lebih. Kevin hanya berharap, suatu saat Vivian dapat melihatnya. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai pria yang selalu ada untuknya.
***
"Waduh, lagi-lagi Tante cuma bisa bilang terimakasih sama kamu, karena udah jagain Vivian."
Kevin tersenyum dan mengangguk sopan.
"Tak apa, Tan. Lagi pula dia sahabat terbaik saya, pasti akan selalu saya jaga."
"Ah, ya ampun, kamu baik banget! Ayo Tante buatin kopi stamina buat kamu."
"Kopi stamina?"
"Iya, kan kamu udah jagain anak Tante seharian ini. Katanya Vivian pingsan. Kamu pasti lelah nungguin Vivian berjam-jam."
Kevin meringis. Kopi stamina? Gak berlebihan tuh? Orang dia cuman numpang tenar doang dari Satria kok, gak jagain beneran. Lagi pula ia kurang suka kopi.
"Duh, gak usah, Tan. Saya baik-baik aja kok."
"Lho, kenapa? Atau kamu mau dipijitin sama Mang Daman? Pijitannya katanya mahir. Bikin pegel-pegel dan capek hilang."
Belum juga Kevin menjawab, Mami sudah berteriak memanggil Mang Daman yang memang sedang bekerja di kebun belakang.
Muncullah sosok Mang Daman yang membuat bulu kuduk Kevin berdiri semua. Mata pria gemulai itu sedikit mengerling ke arah Kevin.
"Ada apa, Nya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu bisa pijitin temennya Vivian ini kan? Tapi inget lho, cuma pijitan biasa. Gak yang aneh-aneh."
"Ashiaapp, Nyonya!"
Melihat makhluk setengah jadi itu menghampirinya, Kevin merinding. Ia meringis.
"Maaf, Tan. Bukannya nolak, tapi saya baru dipijat kemarin. Ya, kemarin. Jadi badan masih segeran."
"Lho kenapa, Mas? Padahal pijatan saya endol surendol lho? Yakin gak mau coba?"
"Gak deh. Makasih, lain kali aja."
Vivian menahan tawa melihat sikap over Mami pada Kevin. Dia sih udah biasa, tapi Kevin kayaknya risih. Kasian juga tuh anak, menolak gimana, gak nolak juga gak enak. Sebab ternyata tampilan Mang Daman sedikit lebih 'lembut' dari pria semestinya. Serem!
"Ah, gini aja, Mi. Menurut aku, Kevin cuma butuh istirahat aja, ya kan, Kev?"
"Benar, Tan. Istirahat aja. Udah cukup kok,"
"Begitu ya? Baiklah, Vi, kamu antar Kevin ke kamar tamu ya?"
"Siap, Mi."
Kevin dan Vivian berjalan beriringan. Sampai mereka tiba di depan pintu kamar.
"Nah, kalo lo gak mau diurut sama Mang Daman, lo masuk gih, Mami suka cerewet kalo gak diturutin."
"Thanks ya, Vi. Lo udah selametin gue dari Mang Daman."
"Haha.. segitu takutnya lo."
"Habis lihat matanya aja gue udah merinding."
"Emang gitu sih orangnya. Tapi beneran tukang urut. Cuman kitanya mesti tegas, kalo dibaikin dikit aja apalagi ama cowok cakep macam lo, waduh GR tingkat dewa tuh."
"Apalagi kalo gitu, makin serem dengernya! Udah ah, Vi. Gue istirahat bentar ya?"
"Oke."
Setelah menutup pintu kamar, Vivian kembali menuju kamarnya sendiri. Merebahkan badannya di kasur. Menatap langit-langit kamar yang berwarna biru cerah. Bayangan dokter Satria yang begitu mencemaskannya kembali melintas di otaknya.
Apa benar kata Evi ya? Bahwa dirinya orang yang spesial buat Satria? Buktinya dia dirawat di kamar pribadi Satria. Padahal waktu itu bisa aja kan Satria membawanya ke rumah sakit aja, gak perlu jauh-jauh ke rumah pribadinya segala?
Tapi Vivian gak mau GR dulu, kali aja benar, Satria memang hanya menganggapnya pasien biasa. Tapi, kenapa dibawa ke rumahnya ya? Ah, mungkin aja Satria gak mau direpotin di rumah sakit. Dia kan banyak pekerjaannya, mana mungkin bisa jagain Vivian selama pingsan?
Jadi dugaan pertama, memang benar dirinya hanya pasien biasa aja. Jadi ya buang jauh-jauh rasa GR itu.
Dugaan berikutnya, Satria memang menganggapnya spesial. Buktinya udah 2 kali Vivian dibawa ke kamar pribadinya. Yang kata Kevin bilang, kalo adiknya itu masuk dan membawa orang lain apalagi wanita, maka Satria akan sangat marah. Lha ini? Malah dibawa sendiri oleh Satria!
Berulang kali Vivian mengusir praduga konyol itu dari pikirannya. Lagi pula, saat ini Satria pasti tidak pernah memikirkannya. Kejadian kemarin pasti karena Vivian adalah sahabat adiknya, Kevin.
Tangan Vivian hendak meraih ponselnya, ia bermaksud mencari jawaban di internet, tentang apa maksud perhatian pria pada wanita. Kali aja dapat jawaban yang pas. Namun ia urung, sebab ponselnya sendiri malah berbunyi.
Ha? Dokter Satria?
"Hallo?"
"Kenapa pulang gak bilang?"
"Maaf, dok. Saya..."
"Kamu pulang sama siapa? Jangan bilang kamu pulang sendiri?"
"Enggak, kok. Saya pulang diantar sama Kevin."
"...."
Lah, kok diem dia?
"Dokter gak marah, kan?"
"Syukurlah. Kamu bikin saya panik! Lain kali kalau mau pulang, bilang dulu."
Kan pulang pamit juga gak diizinin, malah disuruh tidur.
"Kenapa? Kok diam?"
"Ah, iya dok. Sekali lagi, saya minta maaf."
"Ya udah, gimana sekarang keadaan kamu?"
"Udah baikan. Terima kasih ya dok."
"Ya, sama-sama."
Tut-tut-tut.
Yah, kok dimatiin sih? Kan Vivian mau nanya, kenapa dirinya gak dibawa ke rumah sakit? Malah dibawa ke kamar pribadinya? Mau telepon balik, tapi malu. Ntar malah disebut ngerepotin terus. Udah ditolongin malah banyak protesnya!
Akhirnya Vivian berbaring lagi. Tuh kan? Gak GR gimana coba? Udah pulang aja masih ditanyain kabar. Duh Gusti, Vivian bingung! Mau GR takut salah, gak GR, kan sayang, masa perhatian kayak gitu gak bikin GR?
Tau ah, mending Vivian tidur sepuasnya sekarang! Kali aja dapat jawaban dimimpinya.
Semacam nyari ilham, siapa tahu dapat wangsit dari langit.