Nine

1137 Kata
Vivian membuka matanya perlahan. Ia kembali menghirup aroma yang tak asing. Yah, wangi yang pernah dia rasakan saat ia di rumah dokter Satria dulu. Seakan baru sadar, Vivian beringsut bangun dengan tergesa. Ia terkejut bukan main! Ini kamar! Ya Tuhan, ini terjadi lagi! Maksud hendak bangun, namun kepalanya sungguh terasa berat. Dan lagi tangannya kini terpasang infus. Vivian berusaha mengingat kejadian yang ia alami sebelum sampai di kamar ini. Tentu saja Vivian tahu ini adalah kamar Satria. Hanya saja yang ia tidak tahu adalah bagaimana bisa ia sampai di kamar ini. "Sudah siuman?" Suara ngebass milik Satria cukup membuat Vivian kaget. Pria itu muncul dari balik pintu dengan semangkuk bubur ayam di tangannya. "Su-sudah. Dokter mengagetkan saya." "Kaget? Kamu melamun?" "Tidak, hanya sedang mengingat bagaimana saya bisa sampai di sini." "Kamu pingsan. Saya heran sama kamu, sudah tahu badan kamu gampang sakit, masih aja gak sarapan." "Maaf, saya jadi ngerepotin dokter lagi." "Saya sudah biasa direpotin kamu. Sekarang kamu makan dulu." Vivian hanya mengangguk lalu memakan bubur dari Satria. Ia memang lapar. Ah, Vivian ingat sekarang. Saking sibuknya menyiapkan acara baksos itu, ia jadi lupa sarapan. Ia juga belum minum dari tadi pagi. Lagi-lagi Vivian kaget. Kali ini bukan karena suara milik Satria. Melainkan tentang kegiatan baksos itu. Duh, bagaimana ini? Itu kan acara terakhir di SD selama ia PPL? "Kamu kenapa?" Satria masih menyiapkan resep obat untuk Vivian. "Saya... mau pulang ke SD itu. Bolehkan?" Satria menatap Vivian. Tatapan yang sama dengan Mami saat mengkhawatirkannya. Entahlah, mungkin hanya perasaan Vivian saja. Mana mungkin Satria khawatir padanya kan? "Kamu ini benar-benar ya? Apa kamu gak sadar kalo badan kamu itu lemah." "Terus bagaimana dengan tugas saya?" "Saya udah nelpon ke ketua kelompok kamu. Sekarang habiskan buburnya dan minum obat ini. Setelah itu kamu harus tidur." "Tapi dok.." "Vivian! Bisa kan kamu nurut sama saya?!" Vivian terperangah. Satria membentaknya! Vivian langsung diam. Takut tentu saja. Sebab selama ini gak pernah ada yang membentaknya seperti itu. Satria menghela nafas melihat Vivian menunduk ketakutan. Ia tahu mungkin ini keterlaluan. Tapi Vivian tidak mau menurut. Hanya itu caranya agar gadis itu tidak pergi. "Dengar, saya hanya ingin pasien saya sembuh. Dan kamu salah satunya. Saya gak mau kamu sakit lagi. Jadi tolong lakukan apa yang saya perintahkan. Mengerti?" Vivian hanya mengangguk tanpa melihat wajah Satria seperti biasanya. Ia sungguh takut. Bahkan saat ini airmata sudah mulai menggenang dipelupuk bulu matanya yang lentik. Tapi Vivian bertekad untuk menahannya. Ia tak mau Satria melihat kecengengannya. Dari ekor matanya, Vivian bisa melihat Satria bangkit dan meletakkan obat yang harus ia makan. "Ini obatmu. Ingat, jangan pergi sebelum cairan infusanmu habis. Saya sudah menelpon perawat untuk datang kemari menemanimu. Saya pergi dulu." Setelah itu Satria keluar dari kamar. Vivian mengangkat kepalanya. Ia menangis sambil makan bubur. Dokter Satria kenapa sih? Kalo memang khawatir, ya gak usah bentak-bentak. Vivian kan jadi takut. Tapi bagaimana pun, Vivian menuruti apa kata Satria. Ia lalu meminum obat yang disimpan di sampingnya. Menarik selimut dan berbaring lagi. Hanya itu yang dilakukan Vivian. Ia menerka, apa Sendi tidak marah ya, dirinya bolos dari tugas seperti ini. Ah, bodo amat, lagipula Satria benar, badannya saat ini lemas sekali. Mungkin memang butuh istirahat. Selang beberapa menit, Vivian tidur cukup pulas. Ia dibangunkan oleh suara pintu kamar yang diketuk dari luar. "Masuk saja." Seseorang membuka pintu dan masuk ke kamar Vivian. Wanita, ah bukan. Sepertinya masih gadis. Hm, cantik. Vivian bergumam dalam hati. Gadis itu tersenyum dan mengangguk sopan. "Nona Vivian, kan?" "Ya, kamu yang disuruh sama dokter Satria ya?" "Benar, kenalkan saya Evi, kalau Nona Vivian butuh sesuatu bisa bilang ke saya." "Terima kasih. Tapi ngomong-ngomong kamu panggil saya Vivian aja, jangan pake embel-embel 'Nona' segala. Gak enak dengernya, lagi pula kayaknya kita seumuran." "Oh, baiklah. Kalau begitu. Saya mahasiswi yang lagi praktek di rumah sakit Cipta Medika." "Tuh bener kan? Saya juga sama. Lagi PPL juga. Tapi saya fakultas pendidikan." "Kalau boleh saya tahu, kamu pacarnya dokter Satria ya?" "Saya?" "Iya." "Bukanlah. Kamu ini ada-ada aja. Saya cuma pasiennya aja kok." Evi terdiam lama. Seperti mengingat sesuatu. Vivian mengerutkan kening. Kenapa Evi malah menatapnya dari atas ke bawah? "Kenapa?" "Maaf lho ya, kalo cuma pasien kayaknya agak aneh." "Emangnya kenapa?" "Masa dirawat di kamar pribadinya kayak gini. Terus juga beliau tadi beberapa kali mewanti-wanti saya agar memastikan kamu baik-baik saja." "Oh itu. Emang kebetulan aja kali. Sebelum saya kemari, saya lagi ada baksos di SD tempat saya PPL, terus katanya saya pingsan. Eh tahu-tahu udah di sini." "Oh begitu. Dokter Satria baik banget ya?" "Begitulah. Kalo urusan pasien dia sangat perhatian." "Kamu kayaknya sangat mengenalnya." "Dia kakak temen saya." "Pantesan baik banget sama kamu. Saya kira kamu pasien spesialnya." "Gak lah. Pasien spesial apanya?" "Ya biasanya kan kalo ada yang pingsan kayak gitu, dokter akan memberi pertolongan pertama. Habis itu kalo gak ketangani di rujuk ke rumah sakit terdekat. Lha ini? Malah dibawa ke kamar pribadinya." Vivian diam. Perkataan Evi ada benarnya juga. Seperti baru sadar, Evi buru-buru menarik kembali perkataannya. "Eh, maksud saya kamu spesial karena teman dari adiknya, hehe." Vivian menimpalinya dengan senyum garing. Ia masih kepikiran perkataan Evi mengenai 'pasien spesial'. "Eh, insfusannya udah mau habis tuh." "Oh ya? Kamu cabut aja deh, lagipula saya udah baikan kok." "Hm, baiklah. Tapi sesuai perintah dokter, kamu harus istirahat dulu setelah lepas infusan ini. Saya akan tinggalin kamu di kamar. Kalo butuh sesuatu panggil aja. Saya menunggu di depan kamar ini." "Tapi saya tadi udah tidur. Udah segeran kok." Evi menatap Vivian. Susah juga ya ternyata. Ia lalu meraih ponselnya dan menghubungi Satria. "Dok, katanya Vivian mau langsung pulang aja." "Apa? Kan sudah saya bilang, suruh dia untuk tidur dulu. Buat memulihkan tenaganya. Saya gak mau dia pingsan lagi nanti. Dia kurang istirahat." "Tapi dok..." "Pokoknya pastikan dia istirahat. Dan jangan kemana-mana. Atau kamu gak akan saya kasih nilai." Yah, pake ancaman nilai nih! "Ba-baik dok." Evi menutup ponselnya. Menatap Vivian yang masih meregangkan tangannya. Ia masih tak percaya jika gadis di depannya ini bukan pacar dokter Satria. Mustahil cuma pasien! Atau mungkin saja dokter Satria belum mengungkapkan perasaannya! Ya pasti seperti itu. "Em, Vivian, saya mohon kamu jangan dulu pulang ya? Tidur dulu sebentar aja, ya?" "Saya kan gak ngantuk." "Please! Ini menyangkut nilai magang saya, mau ya? Hitung-hitung nolongin saya juga?" Evi menangkup kedua telapak tangan di dadanya. Vivian jadi tak tega. Ia lalu mengangguk dan kembali berbaring di kasur. "Iya-iya. Tapi cuma tiduran aja ya? Gak tidur beneran." "Apapun itu. Yang penting kamu jangan dulu pulang. Saya tunggu di luar ya?" "Hm." Evi keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian ia membuka pintu kamar dan melihat Vivian yang tidur pulas. Ia tersenyum kecil. "Dasar pasien nakal, udah jelas-jelas butuh istirahat, masih aja bilang gak ngantuk." Ia lalu menutup pintu kamar dengan hati-hati. Ah sepertinya ia harus meralat julukan 'pasien nakal' barusan. Melainkan gadis itu memang 'pasien spesialnya' dokter Satria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN