"Aduh, makasih banyak lho Bu Lina, udah mau jagain anak saya."
Yuli berulang kali mengucapkan rasa terima kasihnya. Pagi sekali Yuli datang menjemput Vivian. Dan dari mobil yang terparkir di garasi, kelihatannya keluarga ini sedang kedatangan tamu.
"Gak papa, Bu. Saya malah berharap Vivian mau tinggal beberapa hari lagi. Saya senang dia di sini. Berasa punya anak perempuan beneran."
"Bu Lina bisa aja. Jangan dong, nanti ngerepotin, lagian juga saya kangen banget sama dia."
"Eh, tapi ngomong-ngomong Vivian kemana ya? Kok lama ngambil tasnya?"
Dari dalam muncul Vivian yang berjalan beriringan dengan Kevin dan Syaila.
Yuli tersenyum lebar. Ia benar-benar merindukan putri semata wayangnya itu.
"Sayang, ayo kita pulang! Habis darimana dulu?"
"Maaf, Mi. Nungguin lama. Tadi Vivian pamit dulu sama orangtuanya Mbak Syaila."
Yuli menatap Syaila. Gadis itu hanya tersenyum tipis. Kok ya auranya gak enak sih? Kayak bau-bau serem gimana gitu? Jangan-jangan gadis ini berniat gak baik sama putrinya!
"Oh iya, sampai lupa. Ini Syaila, putri temen saya. Syaila, ini Bu Yuli, Maminya Vivian."
Syaila menatap Yuli dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kayak lagi ngukur seberapa banyak aset dan kekayaan yang dimiliki Mami Vivian dengan tampilan dari luarnya. Hm, lumayan.
"Kenalkan saya Syaila, ca-lon is-tri dokter Satria."
Syaila mengulurkan tangannya. Ia menekan kata 'calon istri'. Lina sampai tersenyum gak enak. Kok ya ini anak kayak gak ada sopan-sopannya sama orang tua? Yuli menyambutnya dengan senyum. Oh calonnya Satria toh? Kalo gitu amanlah. Vivian kan sukanya sama Kevin. Setidaknya itu yang ada di benak Yuli.
"Oh iya, senang bisa bertemu kamu, Syaila."
Vivian berjalan ke samping Maminya.
"Kalo gitu, kami pamit dulu, Tante, Syaila. Kev, gue pergi dulu ya?"
Lina memeluk Vivian dengan sayang.
"Hati-hati ya sayang, nanti jangan lupa main ke rumah lagi ya?"
"Pasti, Tante. Titip salam buat Om dokter sama dokter Satria ya, Tan? Tadi saya mau pamit, tapi keduanya masih di atas."
"Iya, nanti disampaikan. Yah, gitulah, anak sama ayah sama aja. Kalo urusan kerja mereka memang paling giat. Lagi siap-siap mau ke rumah sakit kayaknya."
Yuli dan Vivian meninggalkan rumah Kevin. Vivian menatap rumah Kevin sampai rumah itu benar-benar tak terlihat. Waktu singkat di rumah itu meninggalkan bekas yang tak sedikit di pikirannya. Insiden dengan Satria yang terbilang intens itu kini mulai bergentayangan di otaknya, bahkan hingga Maminya memarkirkan mobil mereka di depan rumah, pikiran Vivian masih melayang pada dokter keren yang berhasil mengecup pipinya. Hanya pipi aja kok bikin duk-duk-ser ya? Apalagi kalo dicium bibir?
Vivian menepuk pipinya sendiri.
Kenapa dirinya jadi m***m begini sih?!
"Kamu kenapa sayang?"
"Ah, enggak, Mi. Ini nih ada nyamuk."
"Apa? Aduh, hati-hati! Gigit gak? Jangan-jangan nyamuk DB lagi. Padahal Mami udah minta bibi buat ngusir nyamuk sebelum kita pulang."
"Begitu ya? Ya kayaknya sih, masih ada anaknya yang tertinggal, Mi."
Jawab Vivian asal. Padahal yang ia tabok bukan nyamuk, tapi pikiran-pikiran aneh yang mulai menggodanya untuk melamun dan berpikiran jorok.
"Vi, selama kamu di rumah Kevin, kamu gak papa kan?"
"Enggak, aku baik-baik aja, Mi. Emang kenapa?"
"Gini lho, maksud Mami gak ada hal yang terjadi antara kamu sama Kevin?"
"Yang terjadi apaan sih, Mi?"
"Aduh, gimana ngomongnya ya? Euh... itu, gini deh, kamu kan udah dewasa, nah, pasti ngerti lah kalo ada pria dan wanita dewasa saling suka, terus satu rumah, kan gak mungkin kalo gak ada apapun?"
Vivian diam. Oke, ia faham kemana arah pembicaraan Mami.
Maminya menunggu jawaban Vivian dengan cemas. Sungguh, ia tak tahu kalo kemarin-kemarin ia menitipkan Vivian ke rumah Kevin dalam keadaan orang tua Kevin juga gak ada di rumah.
"Maksud Mami, aku sama Kevin pacaran, gitu?"
"Yaa.... semacam itulah. Kamu gak diapa-apain Kevin kan?"
Kevin sih enggak, nah, abangnya itu yang maen selonong aja cium pipi orang!
Vivian menggeleng. Gak mungkin kan kalo ia cerita dokter Satria mencium pipinya untuk membuat cemburu wanita pujaannya? Terdengar sangat memalukan!
Mami menghembuskan nafas lega.
"Syukurlah. Ya udah, kamu mandi air hangat dulu gih, Mami mau nyiapin makan siang buat kita."
Vivian mengangguk patuh dan segera pergi ke kamarnya.
***
Tak terasa, kuliah Vivian sudah berada di penghujung. Kuliah di pendidikan sebenarnya bukan cita-citanya. Hanya satu yang membuat Vivian tertarik pada dunia pendidikan, dia suka anak-anak. Dan dari sekian rentetan mata kuliah yang ia terima, ini bagian yang paling ia tunggu. Saatnya merasakan bagaimana serunya membersamai anak-anak SD setiap hari di sekolah.
Hari ini Vivian menjalani PPL. Dia senang, akhirnya dia bisa berinteraksi dengan anak-anak lucu dan polos itu.
Vivian dan kelompoknya telah menemui kepala sekolah dan mengatur jadwal mengajar di sana.
Ada sedikit yang membuat Vivian sempat mengeluh. Di fakultas ini ia nyaris tak punya teman apalagi sahabat. Semua sahabatnya berbeda jurusan di kampus ini. Sebut saja Bora cs, mereka semua jurusan sastra. Atau bahkan Kevin, pria itu jurusan ahli gizi.
Hanya dirinya yang masuk ke fakultas perguruan sekolah dasar. Dan tentang ini, Mami sangat mendukungnya. Meski ia sempat heran, Mami tidak pernah melarang atau menampakkan ketidaksetujuannya saat dirinya mengambil jurusan ini. Padahal dulu Mami sempat cerita punya harapan Vivian dapat menjadi koki profesional. Namun saat Vivian memutuskan, Mami sangat mendukung dan seolah lupa dengan semua harapannya itu.
"Hai Vi, sendirian aja."
Vivian mendongak. Terkejut luar biasa saat melihat sosok yang berdiri tepat di depannya.
"Vino?! Ngapain lo di sini?"
"Lho, kan gue juga ikut PPL di sini."
Ah, Vivian sampai lupa, bahwa mantan pacarnya ini satu jurusan dengannya.
"Kenapa di sini? Bukannya kemarin pas pembagian kelompok, lo bukan sama gue?"
"Ah iya, gue lupa. Gue sebelumnya emang gabung sama kelompok lain, tapi gue minta saran untuk bisa ikut dengan kelompok ini."
"Kenapa ke kelompok gue?"
"Kenapa? Ah, apa ya? Hm, mungkin karena di sini ada lo."
Vino menyeringai, membuat Vivian bergidik ngeri seketika.
Dan melihat ekspresi ketakutan Vivian, Vino tertawa lepas.
"Haha, aduh, Vi. Lo lucu banget deh! Gue bercanda kali! Jangan mikir yang iya-iya tentang gue ya? Ntar jadi beneran lho?"
Vivian bergerak mundur saat Vino mulai mendekatinya.
"Jangan macam-macam lo, Vino!"
"Segitu takutnya lo sama gue, padahal gue belum pernah sekalipun berhasil menyentuh lo. Bahkan saat masih pacaran dulu. Tenang Vi, alasan gue gabung kemari, lebih karena memang sekolah ini lebih dekat dengan rumah gue. Jadi gue bisa bolak-baliknya gak kejauhan."
Vivian mengerutkan kening. Iya gitu itu alasannya? Baiklah, ia harus berusaha percaya.
"Oke, kalo emang lo gak punya niat buruk sama gue, coba lo buktikan selama PPL ini, lo harus bisa profesional dan jangan campurin masalah pribadi lo sama tugas."
"Gak masalah. Lo liat aja nanti, gue akan berusaha membuat lo nyaman."
"Bagus, kalo gitu, gue pergi dulu. Gue harus koordinasi dengan ketua kelompok kita untuk membicarakan masalah program kerja ke depan."
Vino hanya mengangguk. Baiklah, perlahan Vino mengulum senyum menatap punggung Vivian yang kian menjauh. Sebenarnya dia masih berharap Vivian menyukainya. Dan bukan malah ketakutan seperti tadi.
Salah siapa punya wajah menggemaskan? Hingga dirinya tak mampu menahan diri untuk tidak menggoda gadis itu.
***
"Hallo adik-adik semuanya? Gimana kabarnya hari ini?"
Vivian menyapa wajah-wajah polos itu. Senyum tulus mereka terpancar menatap penuh antusias.
"Baik, Bu..." jawab mereka serentak.
"Oke, hari ini kita belajar tentang lalu lintas. Bu guru sudah membagi kalian dalam 4 kelompok, nanti masing-masing kelompok mendapat 1 artikel. Silahkan di baca dan didiskusikan tentang dampak yang terjadi ketika kita melanggar lalu lintas."
Anak-anak itu mulai mengerjakan tugas dari Vivian. Dengan tertib mereka bergabung dengan kelompoknya masing-masing.
Ada rasa yang sungguh menyenangkan saat bisa berinteraksi dengan anak-anak polos itu.
Satu persatu dari mereka tampil ke depan untuk mempresentasikan hasil diskusinya, meski masih sangat sederhana. Namun, hal yang patut diapresiasi dari anak sekolah dasar adalah adanya keberanian dan rasa percaya diri mereka saat mengemukakan pendapat dan hasil diskusi.
"Oke, terima kasih untuk hari ini. Sampai jumpa besok, adik-adik semua, assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam warahmatullah."
Vivian tersenyum dan melambaikan tangannya. Lalu guru pamong pun masuk dan mengakhiri pembelajaran.
"Makasih ya, anak-anak seneng lho, belajar sama kamu."
"Iya, sama-sama bu, saya juga senang mengajar anak-anak seperti mereka."
"Ya, anak-anak bagi saya memang selalu membawa energi positif."
Dari kelas yang bersebrangan, keluar pula Vino yang baru selesai mengajar. Vivian tidak bisa membayangkan bagaimana Vino bisa berinteraksi dengan anak-anak SD. Apa anak-anak itu tidak takut pada guru m***m kayak Vino ya?
Semoga saja, Vino gak macam-macam. Awas aja kalo nyampe mencoreng almamater kampus!
"Hai, Vi? Baru keluar?"
"Ya, seperti yang lo lihat. Gue mau ke sekretariat dulu. Katanya ada rapat koordinasi."
"Kalo gitu, kita bareng. Gue juga mau kesana. Tadi Sandi chat di whatsap."
Vivian tidak menjawab. Hanya berjalan dan membiarkan Vino mengikutinya.
Di sekretariat telah berkumpul 15 orang mahasiswa PPL sedang membicarakan program mereka. Vivian duduk bergabung diikuti oleh Vino.
"Jadi kapan acara pemeriksaan kesehatannya?"
Sendi, ketua kelompok mereka nampak sedang memimpin lajunya rapat ini.
"Rencananya 2 hari sebelum penutupan PPL, jadi kita bikin program pemeriksaan kesehatan gratis untuk anak-anak dan guru."
Seni memberikan proposal kepada Sendi.
"Oke, jadi kita akan bekerja sama dengan Rumah Sakit Cipta Medika. Ada yang punya relasi di sana?"
"Gue ada, abang gue punya temen dokter di sana. Jadi kerjasama kita bisa lebih mudah." Seni mengangguk mantap.
"Oke, sip. Jadi gue harap semuanya lancar. Dan satu lagi, saat terakhir nanti, pastikan laporan selesai, termasuk administrasi guru."
"Siap, komandan."
***
Hari ini semua anggota PPL sibuk. Woro-wiri menyiapkan acara persembahan terakhir di SD tempat mereka praktek. Memasang tenda dilapangan, mengangkut kursi dan beberapa persiapan lainnya.
Tak terkecuali Vivian. Ia juga nampak sibuk merapikan kursi, bahkan ikut serta mengangkut kursi ke lapangan. Saking sibuknya, Vivian melupakan sarapan pagi. Tak ayal, kepalanya mulai pening. Pandangannya juga mulai berkunang-kunang.
"Tim dokter sebentar lagi datang. Persiapan hampir 90%, gue harap semua berjalan sesuai rencana." Sendi memberikan intruksi. Semua bersiap ke tempat tugas masing-masing. Mata Sendi menangkap raut Vivian yang nampak letih.
"Vi, lo gak apa-apa?"
Vivian menggeleng lemah. "Gue gak papa, mungkin cuma kecapean aja."
Menyadari ada yang tak beres, Vino langsung menghampiri Vivian.
"Sebaiknya lo istirahat aja dulu, Vi! Muka lo pucat."
Vivian menggeleng lagi. Ia tak mau nampak lemah. Ia harus kuat. Ia berjalan sempoyongan menuju kursi tempatnya bertugas dibagian registrasi.
Vino menatapnya cemas. Gadis itu nampak tak baik. Dan benar saja, tubuhnya oleng. Vino segera bangkit dan berlari hendak menangkap tubuh Vivian.
Tapi dia sedikit terlambat. Tangan lain telah meraih Vivian, menggengongnya dan membawa gadis itu pergi menuju mobil pria itu.
Mata Vino memicing. Ia merasa pernah melihat pria itu. Kalau tidak salah, pria itu yang pernah mengaku sebagai calon suami Vivian!
Ah, sial! Jangan-jangan bualan pria itu memang benar!
"Vin, Vivian dibawa kemana?" Sendi berlari menghampiri Vino yang hanya diam menyaksikan Vivian yang pingsan dan dibawa pergi.
"Gue gak tahu."
"Lo gimana sih? Dia anggota kita! Tanggung jawab kita juga! Kalo ada apa-apa gimana?!"
"Sendi, lo sadar gak? Siapa yang bawa Vivian?"
Sendi menggeleng. "Siapa?"
"Dia salah satu tim dokter dari rumah sakit Cipta Medika."
"Apa? Kok bisa?"
"Mungkin bisa jadi pria itu calon suami Vivian." Jawab Vino getir.