Vivian masih terbengong-bengong saat mereka bertiga pulang ke rumah. Bekas kecupan itu sungguh masih terasa. Entah ia harus merasa beruntung ataukah nelangsa, yah, beruntung karena kecupan pertama dia dapatkan dari orang yang ia kagumi, tolong garis bawah ya, hanya kagum, gak suka tuh, apalagi cinta, hanya merasa berbunga-bunga saat dekat dengan pria itu. Atau mungkin ia merasa rugi, karena bagaimana pun, aksi Satria tadi hanya untuk memancing rasa cemburu mempelai wanita.
Sebodo amat ah, yang jelas, bunga bermekaran di hatinya kini tak dapat dicegah.
Ketiganya masuk tanpa ada yang berbicara. Kevin menggeliat pelan lalu menoleh ke arah Vivian.
"Vi, gue tidur duluan ya?"
Vivian hanya mengangguk, ia masih sibuk membuka sepatunya. Masuk ke kamar dan mengganti baju. Rasa haus melanda, ia pun kembali turun ke bawah untuk mengambil minum.
Sebelum turun, ia sempat melirik ke kamar Satria. Masih gelap. Apa mungkin penghuninya sudah tidur? Atau belum sampai ke kamar?
Vivian mengangkat bahu dan berlalu menuruni tangga. Dapur juga gelap. Namun berhubung ia hanya ingin mengambil minum, ia tak menyalakan lampu.
"Yang tadi itu... saya minta maaf."
"Ha?" Vivian menoleh ke belakang. Sosok jangkung tengah berdiri tegap di belakangnya. Kaget? Tentu saja, mana ruangan gelap lagi.
"Dokter membuat saya kaget."
"Kamu dengar apa kata saya barusan, kan?"
"Apa? Oh, itu. Ya, saya tahu. Meski saya bukan orang pintar, saya cukup mengerti kok maksud dari perbuatan dokter."
"Ya, terima kasih."
Vivian yang memang belum ngantuk berjalan ke luar halaman dapur. Ia duduk sambil menikmati semilir angin malam. Di sini lumayan nyaman, sedikit bisa menenangkan hatinya yang cenat-cenut akibat ulah dadakan dari Satria.
"Kamu belum ngantuk?"
Vivian menengok ke belakang. Satria berdiri di ambang pintu dengan dua cangkir di tangannya yang masih mengeluarkan asap.
"Belum, Dok. Di sini sangat nyaman. Saya suka tempat hening seperti ini."
"Minumlah!"
"Terima kasih."
Vivian menerima teh hangat dari tangan Satria. Pria itu ikut duduk di sampingnya.
"Raila itu... mantan saya dulu. Saya bahkan pernah melamarnya."
"O ya? Maaf, saya tidak tahu."
"Apa Kevin tidak cerita?"
"Tidak banyak. Saya bahkan baru tahu sekarang kalo mempelai wanitanya adalah mantan dokter. Saya jadi mengerti kenapa dokter berbuat seperti itu."
"Ya, sejak saya ditolak, saya belum pernah menjalin hubungan lagi."
"Kalo boleh saya tahu, kenapa dokter ditolak? Kalo saya lihat, dokter punya segalanya, tampan? Iya. Mapan? Tidak diragukan lagi. Baik? Sudah pasti, karena dokter banyak menolong orang."
Satria terdiam. Bibirnya melengkungkan senyum. Vivian menatapnya hati-hati. Apa pertanyaannya salah?
"Kalo dokter tidak mau cerita, tak apa. Maaf, mungkin saya terlalu lancang."
"Raila menolak saya karena dia sudah terlanjur mencintai orang lain."
"Oh."
"Hanya itu? Padahal saya senang kamu bertanya seperti itu. Selama ini gak ada yang bertanya kenapa Raila menolak saya. Mereka hanya berasumsi sendiri."
"Dan dokter tidak menjelaskan apa pun pada mereka?"
"Buat apa? Penjelasan saya tidak akan membuat Raila berubah pikiran."
"Benar juga. Saya doakan semoga dokter cepat mendapatkan penggantinya."
"Terima kasih. Mungkin memang harus secepatnya, keburu keduluan sama Kevin."
"Ha? Kevin?"
Satria lagi-lagi tersenyum.
"Ya, adik saya sudah menemukan pasangannya."
"O ya? Kevin belum pernah cerita sama saya."
"Mungkin dia malu."
"Dia? Malu? Haha.. yang benar saja! Dia bukan pemalu kalo sama saya, biasanya malah malu-maluin."
"Kalian sudah sedekat itu?"
"Maksudnya?"
"Ya.. sudah tidak malu saat berduaan?"
"Ngapain malu? Kevin dan saya udah sahabatan sejak lama. Bahkan Mami saya sampai percaya nitipin saya di sini selama beliau pergi."
"Kamu yakin tidak punya perasaan lain untuk Kevin?"
"Apa? Maksud dokter?"
"Sudahlah, lupakan."
Vivian hanya mengangkat bahu. Apa mungkin Satria ikut-ikutan salah faham kayak Mami? Mengira dirinya dan Kevin saling suka? Yang benar saja, pacaran sama Kevin akan terasa aneh. Vivian sudah menganggap Kevin seperti saudara. Ya, itu saja. Tak lebih.
Malam semakin larut. Satria juga sudah masuk ke kamarnya. Begitu pula Vivian.
Dan pagi hari yang menyegarkan kali ini menyambutnya dengan suara khas Tante Lina. Kevin bilang Maminya pulang dini hari.
"Hallo Vivian sayang... duh, maaf ya, Tante malah gak bisa nemenin kamu, gimana, Kevin sama Kak Satria jagain kamu, kan?"
"Gak papa Tante, lagian di sini ada Kevin sama dokter Satria juga. Lagi pula, Mami katanya besok udah kembali. Jadi saya besok pulang."
"Benarkah? Waduh, berarti ini hari terakhir kamu di sini ya?"
"Iya, Tante. Maaf ya, saya jadi ngerepotin."
"Enggak kok, sayang. Malahan Tante seneng kamu di sini. Gimana kalo kita masak bareng, yuk? Mau ya?"
"Tapi... Vivian gak bisa masak Tante, malu, ntar rasanya gak enak."
"Tenang aja, ntar Tante ajarin. Dan kebetulan, nanti malam bakal ada tamu ke sini."
"O ya? Ya udah, Vivian bantuin yang gampangnya aja deh."
"Nah, gitu dong. O ya, Satria mana ya? Sudah turun atau belum ya?"
"Saya lihat dokter tadi masih di atas."
"Kalo gitu, kamu panggilin gih, sekalian sama Kevin juga. Kita sarapan bareng."
"Baik, Tante."
Vivian naik lagi ke atas. Pertama ia masuk ke kamar Kevin, pria itu baru selesai mandi rupanya. Kelihatan dari rambutnya yang masih basah. Kaos oblong dan celana jeans selutut sudah terpasang di badannya.
"Kev, sarapan bareng yuk?"
"Oke, gue turun bentar lagi."
"Oke."
"Eh, tunggu!"
Vivian berbalik.
"Apa?"
"Semalam... lo ngobrol apa sama abang gue?"
"Oh itu. Dia cerita tentang Mbak Raila."
"Hanya itu?"
"Ya, emang kenapa?"
"Gak sih, cuma agak aneh aja. Biasanya abang gue jarang cerita ke orang."
"Mungkin karena gue temen lo? Jadi dia percaya?"
"Bisa jadi. Tapi makasih ya, mau dengerin abang gue yang agak kaku itu."
"Dia keluarga lo, berarti keluarga gue juga kan?"
Kevin tersenyum lebar. Hatinya seakan melayang. Apa katanya? Keluarga dia berarti keluarga Vivian juga? Ya ampun, apa gadis itu mulai menyukainya? Semoga saja!
"Lo mau kemana?"
"Disuruh Tante, bangunin abang lo."
"Oke, gue turun duluan ya?"
Kevin turun dengan wajah berseri. Angin segar baru saja singgah di hatinya. Vivian mulai melihat dirinya! Biarlah Vivian yang manggil Kak Satria buat turun, hitung-hitung pendekatan dengan calon kakak ipar, ya gak?
Sementara Vivian sudah berdiri di depan pintu kamar Satria. Tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Namun urung kembali. Rasa ragu menyelimutinya. Bayangan Satria mengecup pipinya semalam benar-benar mengganggu. Menimbulkan gelenyar aneh yang mengusik hatinya.
Tapi Tante Lina menunggunya di bawah. Ya, ini demi Tante Lina yang sudah ia anggap seperti mamanya sendiri.
Dengan ragu Vivian mengetuk pelan pintu kamar Satria.
"Eh, kok gak dikunci?"
Vivian masuk ke kamar Satria.
Kamarnya rapi. Dan... wangi. Aroma wangi yang dulu pernah ia rasakan saat di rumah pribadi Satria. Pria itu tidak ada. Vivian melihat sekeliling. Banyak piala dan piagam penghargaan di kamar ini.
Vivian menghampiri pigura foto yang berada di meja. Dua pria tersenyum ceria ke arah kamera. Tangan keduanya membentuk huruf V. Khas gaya anak remaja. Ini pasti Satria dan Kevin. Mereka sangat dekat rupanya.
"Kamu gak bisa ketuk pintu?"
"Eh?"
Vivian menoleh. Matanya membelalak. Ya ampun! Itu orang atau malaikat! Ah bukan, itu godaan syurga yang bisa mengotori mata. Ah, bukan. Itu hiburan. Bentuk atletis tubuh Satria yang terkena cipratan air yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang. Pemandangan apa ini?!
"Saya bilang, kenapa kamu masuk gak ketuk pintu dulu?"
Satria mendekat. Gadis ini pasti malu. Lihat saja, pipinya memerah, bahkan Vivian menangkup wajahnya sendiri. Sedikit menjaili calon adik iparnya ini mungkin gak papa ya?
Vivian gelagapan. Pipinya panas. Ia beringsut mundur.
"Itu... anu... pintunya tidak dikunci."
"Benarkah? Terus kamu mau di sini lihatin saya pake baju, begitu?"
"Ti-tidak. Saya tidak bermaksud."
Satria merasa geli melihat kegugupan Vivian. Ia malah duduk di samping gadis itu. Aroma sabun menyebar menggoda hidung Vivian. Gadis itu menahan nafas.
"Saya tidak akan lihat." Ucapnya sambil menutup mata dengan kedua tangannya.
"Kamu yakin gak mau keluar?"
Seolah baru sadar, Vivian bangkit dengan segera. Malu bukan main! Saking terburu-burunya, kakinya malah tersandung kaki Satria dan hampir saja jatuh kalau tangan Satria tidak sigap menangkapnya, membuat dirinya berada dalam pelukan Satria yang bertelanjang d**a. Tangan Vivian memegang erat d**a bidang Satria.
Vivian menelan salivanya dengan susah payah. Tatapan mereka bertemu. Satria mengulum senyum.
"Dasar ceroboh! Lain kali, hati-hati."
"Y-ya."
Vivian segera bangkit dan menjauh. Berjalan secepat mungkin menuju pintu. Namun suara Satria menghentikan langkahnya.
"Mengenai doa kamu buat saya, ternyata cepat sekali terkabul."
"Apa?"
"Nanti malam, Mami saya akan menjodohkan saya dengan putri temannya."
"Oh."
Hanya itu yang keluar dari mulut Vivian. Dia tidak tahu kenapa di hatinya malah seperti sedikit tercubit. Bukankah seharusnya ia ikut senang? Apa secepat itu doanya untuk Satria dikabulkan? Agar pria itu segera mendapatkan jodohnya?
***
"Satria, Gimana? Kamu udah lihat fotonya?"
"Udah, Mi."
"Terus gimana? Cocok gak?" Papi ikut menimpali.
"Ya, belum tahu cocok atau enggak, Pi. Satria kan belum ketemu sama orangnya."
"Ya setidaknya kan kalo udah lihat foto, barangkali dapat chemistry gitu."
"Kak, menurut aku orangnya cantik, seprofesi pula sama Kakak."
"Iya tuh, mau nyari yang kayak gimana lagi, coba? Kamu itu udah mau 30 tahun. Udah saatnya ngasih cucu buat Mami."
"Pendekatan dulu aja, Mi. Satria kan belum terlalu kenal. Jadi butuh waktu untuk mengenal satu sama lain."
"Jangan kelamaan, lagi pula Syaila anaknya baik kok."
"Iya, nanti kalo Satria cocok, pasti segera dihalalkan."
"Nah, gitu dong."
Mami dan Papi tersenyum lebar. Kentara sekali mereka berharap dirinya segera menikah. Satria melirik Vivian yang hanya diam dan sibuk dengan makanannya.
Apa perasaannya saja, atau emang benar ya? Kok gadis itu tampak murung?
"Vi, abis ini kita ke pasar yuk? Belanja buat makan malam nanti."
"Gak ke swalayan aja, Tan? Yang lebih deket gitu?"
"Gak ah, Tante lebih suka ke pasar tradisional. Sayurannya masih seger-seger, harganya juga lebih murah. Kamu gak keberatan kan?"
"Tentu saja tidak, Tante. Malah Mami juga kalo belanja suka ke pasar tradisional. Sama, Mami juga bilangnya gitu. Dagingnya masih seger."
Vivian dan Lina berbelanja. Bahkan kalau yang gak tahu, mereka malah seperti ibu dan anak. Memilih banyak macam sayuran dan daging yang akan mereka masak nanti malam.
"Vi, tolong kupas bawangnya ya? Biar Tante yang cuci dagingnya."
"Baik, Tante."
"Kamu suka masak?"
"Jarang sih, Tan. Mami suka bawel kalo aku masak. Takut teriris pisaulah, takut capeklah, padahal kan belajar masak bagi wanita itu penting."
"Iya, kamu benar sayang. Duh, kapan ya kamu beneran jadi anak Tante, manisnya.."
"Ah, Tante bisa aja."
"Eh, itu kayaknya ada yang dateng."
"Siapa?"
"Bentar, Tante lihat dulu. Bibi!"
"Eh, iya Nonya?"
Wanita sekitar 50an datang dengan sigap ke hadapan Lina.
"Di depan ada siapa?"
"Oh itu. Kata Tuan Kevin, namanya Nona Syaila, calonnya Tuan Satria."
"O ya? Waduh, kok udah datang ya? Ini kan masih siang."
"Katanya Non Syaila datang duluan, keluarganya nanti menyusul."
Lina mengangguk-angguk. "Baiklah, saya kesana sekarang. Vivian, Tante ke depan dulu. Kamu sama Bi Marni dulu ya?"
"Siap, Tante."
Vivian kembali sibuk dengan alat dapurnya bersama Bi Marni.
Gadis bernama Syaila itu tampak sedang ngobrol dengan Kevin. Cantik dan modis. Itu kesan pertama yang ditangkap oleh Lina. Semoga saja dia bisa jadi istri dan menantu yang baik bagi keluarga ini.
"Hallo, Syaila udah lama ya? Maaf, Tante malah keasyikan di dapur."
"Eh, iya gak papa, Tante. Senang bisa bertemu Tante lagi."
"Iya, Tante juga. Kamu mau gabung ke dapur sama Tante?"
"Apa?" Syaila tentu saja kaget. Dia kemari lebih dulu sebenarnya ingin cepat-cepat bertemu Satria. Di fotonya, pria itu nampak sangat gagah. Dia jadi gak sabar ingin melihat aslinya. Tapi malah diajak camer untuk ke dapur. Kan gak asyik tuh! Bisa-bisa kukunya rusak semua.
"Tante lagi masak buat nanti malam sama Vivian, kamu mau ikut?"
Kening Syaila berkerut. Selama di Bogor, Tante Lina gak pernah menyebut nama Vivian. Siapa dia?
"Siapa Vivian, Tante? Kok aku baru denger?"
"Oh ya, Tante lupa. Nanti Tante kenalin, yuk?"
Syaila dan Lina berjalan beriringan. Mata Syaila menyusuri interior di rumah ini. Semuanya sangat indah. Dan jangan lupakan harganya yang pasti mahal itu. Syaila tersenyum senang. Ia yakin, jika ia menikah dengan Satria, hidupnya pasti akan bahagia.
Di dapur nampak Vivian sedang mencuci sayuran.
"Udah beres sayang?"
"Udah, Tan. Tinggal motong-motong aja."
"Wah, makasih sayang! Oh ya, kenalin ini yang namanya Syaila, dan Syaila kenalin ini Vivian."
Vivian mengangguk sopan. Dibalas dengan senyum sekilas. Kentara banget orang ini tidak menyukai Vivian.
"Sayang, kamu minum dulu gih, dari tadi belum minum kan?"
Syaila merasa tersanjung. Ini perhatian untuknya kan?
"Baik, Tante."
Baru aja Syaila berdiri hendak meninggalkan dapur, Lina menahannya.
"Eh, maksud Tante, Vivian belum minum dari tadi. Dia suka lupa minum, ntar dehidrasi."
"Ha?"
Lina tersenyum maklum. Ia lalu mendekat ke arah Syaila. Duduk lalu memperhatikan Vivian yang sedang minum.
"Vivian itu sudah seperti anak Tante sendiri. Kelak, jika kamu sudah menikah dengan Satria, dia mungkin akan jadi adik ipar kamu."
"Apa? Artinya... dia calon Kevin?"
"Tante yakin, Vivian dan Kevin saling mencintai. Hanya saja, mereka belum menyadari perasaan masing-masing."
Lina tersenyum senang. Di matanya terpancar rasa sayang yang begitu besar saat menatap Vivian. Membuat Syaila sedikit merasa tidak nyaman. Yang udah jelas calon mantu kan dirinya? Lah si Vivian ini? Kan baru rencana. Belum tentu Kevin suka sama gadis itu.
"Vivian, sini, Nak. Sebentar lagi Satria pulang. Kita siap-siap, yuk."
Syaila melongo. Kok Vivian yang diajak sih? Sebenarnya yang calon istri Satria itu siapa sih? Dirinya atau Vivian?
Vivian cengeng yang menyebalkan!
***
Suasana makan malam berlangsung hangat. Pembicaraan diantara kedua keluarga Satria dan Syaila berjalan baik. Sesuai permintaan Satria, keduanya butuh waktu untuk saling mengenal setidaknya 3 bulan sebelum tunangan. Dan lebih jauh lagi menuju pernikahan mereka nanti.
Hidangan sudah tersedia di atas meja.
"Mari kita makan dulu, keburu dingin. Ini saya sendiri lho yang masak."
"Wah, kelihatannya enak ya, Pah? Mari Bu Lina."
"Oh ya, silahkan-silahkan!"
Vivian dan Kevin juga ikut bergabung. Meski hanya jadi pendengar yang baik dalam acara makan malam ini. Semua orang mulai mengambil makanan di meja. Rendang sapi super pedas jadi menu favorit malam ini. Syaila tak terkecuali. Bahkan gadis itu sampai mengambil air minum beberapa kali.
"Enak banget, Tante. Shhaahh, pedesnya juara."
"O ya, terima kasih. Kamu kepedesan ya? Minum yang banyak. Maaf ya, mungkin selera pedas Tante agak berlebihan."
Benarkah sepedas itu? Vivian penasaran. Tapi Satria tidak ikut mengambil rendang. Pria itu hanya makan steak ayam dan capcay saja.
Vivian meraih piring dan mengambil menu di meja. Air liurnya hampir menetes, makanannya enak-enak. Vivian hendak mengambil rendang sapi yang nampak menggoda.
"Jangan makan itu!"
Vivian menoleh ke sumber suara. Satria menatapnya cemas. "Kenapa?"
"Itu pedas. Kamu belum bisa makan itu. Makan ini, setidaknya ini aman untuk perutmu."
Satria memberikan piring nasinya sendiri yang berisi nasi putih, capcay dan ayam steak bumbu wijen.
Semua orang diam. Hanya menatap kaget atas apa yang dilakukan Satria pada Vivian. Begitu pula dengan Lina dan suaminya, apa mungkin putra sulungnya menyukai Vivian? Seingatnya, sejak Satria putus dari Raila, Satria sangat acuh dan tak pernah menunjukkan rasa tertarik pada wanita. Tapi ini?
"Mas, kenapa? Gak papa kali. Vivian kan udah dewasa. Shhhahh, kasian dia mau makan rendang juga." Syaila ikut bicara disela-sela kepedasannya. Bisa-bisanya calon suaminya perhatian pada gadis lain di depan matanya sendiri.
Vivian hanya melongo. Menatap pasrah saat piring nasinya diganti dengan milik Satria.
"Tidak bisa! Vivian itu gampang sakit. Saya tidak mau dia kena diare lagi."
Kevin yang anteng makan menatap Vivian lalu Satria. Kejadian langka lagi! Kakaknya menunjukkan perhatian lebih pada orang lain setelah sekian lama.
Sadar bahwa dirinya dianggap berlebihan oleh semua orang di sini, Satria berdehem beberapa kali. Melonggarkan dasinya yang terasa mencekik.
"Ekhm, saya hanya berusaha memperhatikan pasien saya. Ya, Vivian ini jadi pasien saya saat diare dulu."
Mendengar pernyataan Satria, semua orang bernafas lega. Terutama orang tua Syaila.
"Oh begitu rupanya. Pantas saja. Nak Satria ini memang sangat profesional dalam prosfesinya, ya?"
Dan suasana yang sempat tegang pun mencair kembali.