Hari pertama di rumah Kevin membuat Vivian dag-dig-dug der, asli deh! Beberapa kali ia terserang jantungan karena ketahuan lagi menikmati wajah tampan milik dokter Satria.
Pagi ini mereka sarapan bareng. Vivian menatap cemas makanan yang sebentar lagi masuk ke mulut Satria. Demi apapun, belum pernah ia merasakan gugup melebihi saat ini. Ya, ia bela-belain bangun dan berhasil membujuk Bibi dapur untuk mengizinkannya membuat sarapan untuk kedua putra nyonya rumahnya.
"Gimana?"
Vivian menatap penuh harap, saat satu sendok nasi goreng berhasil masuk ke mulut Satria.
"Apanya?" Satria menjawab tanpa melihat Vivian.
"Maksud saya, rasanya bagaimana?"
"Oh, ya, rasanya seperti nasi goreng."
Wajah penuh harap Vivian amblas seketika. Bibirnya mengerucut sebal. Gak asyik banget sih jawabannya?
Seperti membaca pikiran Vivian, Kevin tersenyum.
"Ekhm, menurut gue, enak kok, setidaknya masih layak untuk dimakan."
"Beneran, Kev?"
"Iya, enak. Lo baru pertama kali masak ya?"
"Iya sih, tapi beneran enak?"
Satria geleng-geleng kepala. Enak darimananya? Asin begini.
"Kamu coba aja makan sendiri."
Dengan penuh semangat, Vivian segera mengambil satu sendok nasi goreng miliknya. Dan wajahnya terkejut bukan main, kok rasanya asin ya? Perasaan tadi waktu nyobain gak gini rasanya.
Vivian menatap horor piring dokter Satria yang sudah berhasil menghabiskan nasi gorengnya. Ia juga baru menyadari jika di samping piring Kevin ada sebotol kecap. Rupanya Kevin menambahkan kecap dalam nasi gorengnya. Oh ya ampun, memalukan sekali ini!
"Ma-maaf, rasanya gak enak."
Satria bangkit menyudahi sarapannya.
"Kalian mau kuliah?"
Vivian makin tak enak. Kedua pria ini gak merespon ucapan maafnya.
"Iya, Kakak mau ke rumah sakit juga kan?"
"Ya, kita berangkat bareng."
"Tapi, Kak. Ntar pulangnya gimana? Mending Vivian bareng aku aja, naik motor, biar pulangnya juga lebih gampang, kan?"
"Gak boleh. Kita berangkat bertiga aja. Mama nitipin kalian sama kakak, gak baik pria dan wanita hanya berduaan saja."
Lah, kok gitu? Biasanya juga bebas berangkat bareng, kenapa Kak Satria jadi ribet sih?
"Gak papa kok, Dok. Kami udah biasa naik motor ke kampus." Vivian akhirnya bersuara.
Kevin mengangguk meyakinkan. Tapi sayangnya Satria tetap keukeuh melarang mereka naik motor. Alasannya banyak, mulai dari bukan muhrim lah, Vivian yang gampang masuk angin lah, bahkan Satria meyakinkan kalau naik motor sport itu lebih rawan kecelakaan.
Mata Kevin terlihat pasrah. Sebegitu bahayakah dirinya buat Vivian? Masa naik motor boncengan aja gak boleh sih? Ribet amat! Menyebalkan!
"Ayo, Vivian, Kevin, udah siang!"
Kayak kerbau dicocok hidungnya, kedua insan itu pasrah mengikuti titah Satria.
Satria duduk dibelakang kemudi. Ia melihat dari kaca, Vivian masuk. Tunggu, kok Kevin ikut masuk ke belakang sih? Wah, ini gak bisa dibiarkan! Kalau mereka pacaran di belakang gimana? Apalagi ia tak bisa mengontrol mereka dengan keadaan menyetir begini! Gawat, ia harus bertindak!
"Tunggu, Kevin, kamu duduk di depan!"
"Lho, kenapa? Kan aku jagain Vivian, Kak!"
"Udah, biar Vivian sendiri di belakang, kali aja mau tiduran."
Lah, gini amat sih?
Vivian sendiri hanya bengong. Kalau dipikir-pikir kok kayak berlebihan ya? Tapi bodo amatlah, yang penting sekarang mereka gak terlambat ke kampus.
***
Wajah-wajah lelah nampak keluar berhamburan menuju kantin. Rentetan materi kuliah memang melelahkan. Apalagi jika dosennya itu bikin ngantuk.
"Vi, lo kemana aja sih? Kok baru kelihatan?"
Bora menghampiri Vivian yang sedang anteng menikmati makan siangnya.
"Kemarin-kemarin gue sakit, Ra. Dan lagi nyokap gak di rumah. Yah, sementara waktu gue tinggal sama orang tuanya Kevin."
"Apa? Lo serumah sama Kevin?!"
"Sst.. jangan kenceng-kenceng, lo tahu sendiri Kevin banyak fansnya, bisa mati gue kalo mereka tahu hal ini."
"Ya, tapi lo aman, kan? Si Kevin gak macem-macem kan?"
"Enggak, udah gue bilang, Kevin tuh sahabat gue, gak mungkin lah dia rusak gue."
"Ya sih, lo bener. Gue juga percaya Kevin gak jahat. Cuma ya, gue gak bisa jamin kalo Kevin gak punya rasa buat lo."
"Gak mungkin lah, kita udah sahabatan sejak jaman SMP, jadi ya udah kayak sodara malah."
"Syukurlah kalo gitu. Eh ngomong-ngomong, lo pernah ada kontak lagi sama si Vino?"
"Enggak. Emang kenapa?"
Bora menunjuk dengan dagunya. Sosok Vino nampak berjalan ke arah mereka. Bora yakin, pria playboy itu pasti punya maksud gak baik. Hawa jahatnya emang kentara.
"Hai, Vivian?"
"Ngapain lo?" Bora yang jawab. Vivian sendiri cuma diam dan menatap datar pria itu yang jelas-jelas tersenyum lebar padanya. Senyum yang dulu pernah ia sukai. Ingat ya, hanya dia sukai, dan itu juga gak bertahan lama. Setelah pria itu merendahkannya dengan bilang bahwa dirinya adalah cewek paling kolot dan cupu yang pernah ia temui.
"Gue cuma mau nyapa doang, emang gak boleh?"
Tanpa permisi, Vino duduk di samping Vivian, dan sumpah! Hal itu membuat Vivian merinding. Pria ini berbahaya sepertinya!
"Siapa yang ngizinin lo duduk di sini?"
"Kenapa? Ini kantin, gue juga punya hak buat duduk di mana aja."
"Mata lo menjelaskan akal busuk lo tahu gak?"
"Anjir, sadis lo, gue gak jahat-jahat amat, Ra! Buktinya, gue bertahan pacaran sama Vivian dulu tanpa menyentuhnya sedikit pun."
"O ya? Dan sekarang lo berniat menyentuhnya, begitu?"
"Kalo ada kesempatan, kenapa enggak? Ya kan, Vi? Gue kemari emang pengen balikan lagi sama lo, dan gue janji bakal jagain lo, dan nerima lo apa adanya."
"Maaf, gue gak bisa, Vino."
"Apa lo udah punya pacar lagi?" Mata Vino menyelidik.
"Itu... gue... "
"Udah gue duga. Lo gak bisa lupain gue. Lo masih suka sama gue kan?"
"Vivian sudah punya kekasih."
Semua orang menolah ke sumber suara. Tak terkecuali Vivian sendiri.
Matanya terbelalak kaget.
"Do-dokter?!"
"Ayo, kamu pulang sama saya."
"Lalu Kevin bagaimana?"
"Heh, lo siapa?! Beraninya bilang Vivian punya kekasih! Ngapain lo jemput Vivian?"
Vino mulai kesal kayaknya. Dirinya merasa diabaikan.
Satria memejamkan matanya lalu menghela nafas.
"Dia, calon istri saya. Faham kamu."
"Apa?!"
Cuma itu yang Vivian dengar. Setelahnya ia digiring Satria untuk segera masuk ke mobil.
"Maaf, dok. Kevin gimana?"
"Ah, ya. Kevin tadi nelpon katanya ada kegiatan kampus. Dia pulang naik ojol katanya."
"Hm."
Vivian diam di samping Satria yang sibuk nyetir. Sumpah, Vivian jadi lebih banyak mengalami gangguan jantung kalo terus kayak gini. Deketan sama Satria tuh gak baik, bisa merusak otak sucinya. Oh ya ampun! Vivian gak tahan untuk tidak melirik pria ini. Duh, kok ya tampan banget! Tuh kan? Otaknya terkotori lagi!
Dia calon istri saya... calon istri... calon istri...
Lupakan! Yang tadi itu gak serius, hanya pertolongan Satria agar dirinya berhenti diganggu oleh Vino.
Buru-buru ia memejamkan mata, menghirup nafas lalu membuangnya perlahan.
"Huff..."
"Kamu kenapa? Mau lihatin saya juga gak papa."
"Eh?"
"Ya, kamu mau lihatin saya kan? Boleh kok, saya gak marah. Memang saya tampan."
"Ehehe... iya, maaf, saya pikir nanti gak sopan. Tapi kalo diizinkan sih, emang saya senang bisa menatap Dokter kayak gini."
Satria tersenyum bangga. Tuh lihat? Dirinya emang paling keren. Gadis belia kayak Vivian aja suka padanya. Tapi... pikiran Satria melayang pada seorang gadis yang membuatnya merasa jadi pria terburuk sedunia. Gadis yang telah berani menolak lamarannya dulu. Dan gadis itu sekarang akan melangsungkan pernikahan dengan pria lain. Dan sialnya, gadis itu mengundangnya!
"Kamu mau lihatin saya boleh, tapi ada syaratnya."
"Eh?"
"Temani saya nanti malam ke pesta pernikahan teman saya, mau?"
"Kevin bagaimana?"
Satria seolah baru sadar, gadis ini berteman baik dengan adiknya. Ah, atau bahkan mereka saling menyukai, hingga Mami tak mau meninggalkan mereka berduaan di rumah tanpa pengawasan orang tua.
"Kevin, ya? Ah, kau benar. Kalo gitu, kita berangkat bertiga."
"Oh, oke."
***
"Lo beneran mau dateng ke nikahannya teman Kak Satria?"
Vivian sedang memilih baju di lemarinya. Yah, dia tidak bawa baju banyak ke rumah Kevin, jadi mereka pergi ke rumah Vivian untuk mengambil baju yang cocok.
"Ya kan kasian, Vin. Dokter Satria pasti gak punya temen, jadi ngajak kita buat nemenin."
"Acara mereka tuh kaku, bosenin, gak rame pokoknya."
"Namanya juga pernikahan lah, Kev, masa harus rame sih, kan acara sakral."
Kevin mengambil bantal dan tiduran di kasur milik Vivian.
"Gue kurang seneng pergi ke acara kayak gituan, paling juga pamer pasangan sama kekayaan."
"Nah, lo tahu. Bayangin ya, Kev, kakak lo itu dateng sendirian tanpa pendamping, kan kasian, ntar dikatain jones lagi."
"Haha, bener juga lo. Lagian sih, abang gue pake acara ngejomblo kelamaan segala. Jadi bujang lapuk gak laku-laku baru tahu rasa."
"Hus, jangan ngatain kakak sendiri, dosa tahu, lagian emangnya kenapa sih, kakak lo itu belum nikah juga, kan orangnya ganteng, terus mapan juga, masa gak ada cewek yang mau."
"Bukan gak ada cewek yang mau, cuman abang gue pernah ditolak cewek. Ya gitu deh jadinya."
Vivian hanya ber-O-ria saja.
Mereka segera berkemas dan akhirnya mau memenuhi permintaan Satria untuk pergi menemaninya ke acara pernikahan mantannya.
Vivian berdecak kagum melihat dekorasi gedung yang bernuansa putih dan ungu muda. Nampak semua orang tampil dengan elegan dan berkelas. Ia yakin, semua tamu undangan ini berasal dari keluarga papan atas.
Benar kata Kevin, semua teman kakaknya itu hanya berkumpul untuk pamer pasangan dan kekayaan. Perbincangannya pasti seputar bisnis, atau mungkin tentang pacar dan bahkan istri dan anak-anak mereka.
Vivian duduk sendirian di kursi sambil menikmati hidangan lezat di depannya. Sementara Kevin malah pergi bersama teman lamanya yang juga diundang oleh mempelai.
"Vi, kemari."
Vivian mendongak. Tangan Satria terulur di depan matanya. Meski dengan dag-dig-dug tidak keruan, Vivian mau menerima uluran tangan Satria.
Pria itu membawanya berbaur dengan teman-temannya.
"Ini?" Sahut seorang pria bertubuh agak gendut.
"Menurut kamu, gimana?" Satria malah melempar pertanyaan lagi. Membuat Vivian mengernyit bingung. Mereka ngomongin apa sih?
"Lumayan, serius lo? Ntar gagal lagi."
Apaan sih yang lumayan?
"Sialan! Gue gak seapes itulah, masa ditolak lagi."
Haruskah Vivian GR mendengarnya? Apa mungkin...
"Haha, kapan nih?"
Calon istri... calon istri...
"Doanya aja, oke?"
"Pastinya, dong. Eh, itu pengantin wanita kemari."
Satria menoleh, tak bisa dipungkiri, Raila masih secantik dulu. Sifat tomboynya juga tidak berubah. Sekarang aja, gadis itu tanpa ragu turun dan menghampiri dirinya.
"Hai, Satria!"
"Oh, hai."
"Kamu sama siapa?"
"Aku? Oh, tentu saja sama calon istriku, ya kan sayang?"
Vivian melotot kaget saat Satria tiba-tiba saja merangkul bahunya dengan mesra.
"Oh, benarkah? Ini calon istrimu? Wow, aku turut bahagia mendengarnya."
"Ya, tentu saja."
"Kalian pasti saling mencintai."
"Pasti."
Cup.
Eh?
Lagi-lagi Vivian terbelalak. Satria mengecup pipinya! Oh ya ampun!
Ini... mimpi bukan?!