"Bagaimana dok, apa ada yang serius?"
Suara Yuli memutus kontak mata Vivian dan Satria. Ralat, hanya Satria yang memutus kontak mata dengan Vivian, sedangkan Vivian sendiri masih anteng menikmati wajah sang dokter.
"Vivian terkena diare akibat parasit yang ada pada makanan, lain kali jangan makan sembarangan."
"Nah, tuh dengerin abang gue, lo sih pake makan bakso pedas segala, gini nih jadinya, kan?"
"Sst, udah Kev, jangan dimarahin Viviannya! Mami kasihan lihatnya, udah lemes kayak gitu juga."
"Lagian sih, pake pengen nyoba makan pedes segala, kan gini jadinya."
Suara Kevin dan dua Mami itu hanya terdengar seperti dengungan nyamuk bagi Vivian. Sebab dirinya masih tenggelam dalam pesona sang dokter keren yang sedang membuatkan resep untuknya.
"Ini saya buatkan resepnya, Tante."
"Waduh, makasih banyak lho, dok. Tante gak tahu harus bilang apa, udah ngerepotin kamu yang lagi tugas di rumah sakit."
Lina tersenyum, "gak kok Bu Yuli, saya malah seneng Vivian bisa saya bantu, saya sayang sama Vivian."
"Makasih banyak Bu Lina, tadi saya gak tahu harus minta tolong ke siapa."
Satria bangkit dan memberikan obat yang memang ia bawa, lalu menyerahkan resepnya,"ini obat yang harus dibeli dari apotik, kebetulan saya lagi kosong."
"Baik, dokter. Jadi berapa semuanya?"
"Eh, gak usah Bu Yuli! Vivian udah seperti keluarga kami."
"Duh jadi gak enak."
"Gak papa, Tante. Semoga putrinya cepet sembuh. Saya pamit dulu."
Satria mencium punggung tangan Lina dan Yuli, lalu bergegas keluar.
***
Satria memijat kepalanya, rasa lelah melanda setelah setumpuk aktivitas di rumah sakit.
Ia merebahkan badan di atas sofa di rumah pribadinya.
Pelan ia menutup matanya, mungkin tidur dapat menyegarkan kembali badan setelah penat beraktivitas.
Baru sekejap ia terlelap, Satria dibangunkan lagi dengan deringan ponselnya. Mami.
"Iya, Mi? Kenapa?"
"Kamu belum tidur kan?"
"Belum, ada apa?"
"Ini lho, tadi tuh ada Vivian sama Bu Yuli kemari. Katanya mau nitipin Vivian di rumah Mami, soalnya Bu Yuli mau ke Jakarta selama seminggu."
"Ya, terus?"
Hubungannya sama aku apa, Mi?
"Kamu tahu kan, Mami juga mau ke Bogor ikut Papi yang mau seminar, jadi gak bisa nemenin di sini. Kamu bisa kan selama seminggu tinggal di rumah dulu?"
"Apa? Kenapa harus aku? Kan ada Kevin, Mi?"
"Halah, adekmu itu gak bisa diandelin, kamu tahu kan, Mami sayang banget sama Vivian, tapi Mami juga gak bisa ninggalin Papi kamu. Jadi mau ya?"
"Terus Kevin kemana?"
"Ya dia di sini, nanti nemenin Vivian juga. Maksud Mami tuh, ya khawatir sama mereka kalo ditinggal berdua, kamu bisa lihat, kan? Walau mereka bilang sahabat, tapi Mami yakin mereka saling suka, bahaya kalo dibiarin berduaan di rumah."
Apa? Mereka saling suka? Yang benar saja? Lalu apa arti debaran gadis itu tiap kali bertemu dengannya? Atau Vivian memang tipe gadis yang mudah jatuh cinta? Ah, atau mungkin tipe gadis yang mudah gugup dan berdebar saat berhadapan dengan pria? Tapi pikiran Mami ada benarnya juga. Mereka tidak boleh dibiarkan berduaan di rumah.
Sejak kedua Mami itu saling kenal, mereka berhubungan layaknya keluarga. Bahkan kalau boleh jujur, Maminya ini nampak lebih protektif dan perhatian pada Vivian dibanding kepada kedua putranya. Wajar mungkin, mengingat Mami tidak memiliki anak perempuan.
Dan Satria juga sering melihat Kevin yang selalu bersama Vivian. Di kampus, di kantin, bahkan beberapa kali Kevin pernah membawa Vivian mampir ke rumah pribadinya.
Satria sangat mengenal Kevin. Dari sekilas saja, ia sangat tahu jika adiknya memendam rasa untuk Vivian. Hanya yang Satria ragu, apa gadis itu juga memiliki perasaan yang sama? Entahlah, namun jika membiarkan keduanya berdua di rumah, itu bukan hal yang baik.
"Sayang, kamu masih ada kan?"
"Ah, iya, Mi. Baiklah kalo begitu malam ini juga aku langsung pulang."
"Syukurlah, terima kasih, Nak."
"Iya, Mi. Sama-sama."
Satria bergegas mengganti pakaian dan menyambar kunci mobilnya.
Tak butuh waktu lama, ia sudah sampai di depan rumah orangtuanya.
"Nah, Kak Satria udah datang. Jadi Mami tenang ninggalin kalian di sini."
Kevin memutar bola matanya, Mami nih ada-ada saja, pake bilang pamali kalo ada dua orang lawan jenis tinggal satu rumah. Ayolah, dia dan Vivian sudah bersahabat sejak lama. Mana mungkin ia berani merusak sahabatnya sendiri? Meskipun ia tidak bisa berbohong bahwa jauh dilubuk hatinya ia memendam perasaan pada gadis itu. Perasaan yang selalu berusaha ia bunuh.
"Dokter juga tinggal di sini?"
Vivian menatap Satria kaget, bagaimana mungkin ia bisa tinggal serumah dengan orang yang membuat jantungnya berdebar itu?
"Ya sayang, Tante khawatir sama keadaan kamu, Mami kamu bilang, kamu sering sakit, jadi biar Kak Satria nemenin kamu juga di sini. Kalo ada apa-apa kan mudah."
Vivian menelan salivanya dengan susah payah. Sebenarnya suka sih, tapi masa harus merasakan gugup tiap hari, makan bareng dokter Satria pasti gugup, ujung-ujungnya dirinya makan gak bener, dan yah, badan lemahnya pasti sakit. Tuh kan? Repot kan? Tapi ya mau gimana lagi, Mami nitipin dirinya di sini.
"Kalo gitu, Mami sama Papi berangkat dulu ya?"
Vivian menyalami Tante Lina dan dokter Wahyu, suami Tante Lina.
"Hati-hati di rumah, ya? Satria, awasi mereka, Ok?"
Satria mengangguk pelan lalu berjalan mengantarkan kedua orangtuanya sampai mereka benar-benar pergi.
"Btw, tumben kakak mau pulang."
Kevin mengambil segelas air putih lalu meneguknya sampai tandas. Sungguh, ia sedikit tersinggung, seolah dirinya itu penjahat s*x yang bisa ngerusak Vivian.
Padahal di kampus ia terkenal sebagai anak baik yang rajin kuliah, taat pada tugas dan gak suka main wanita.
"Cuma bikin Mami seneng."
Setelah itu, Satria melenggang pergi menuju kamarnya di lantai atas, yang telah lama tak ia pakai.
Dan Kevin hanya ber-O-ria saja.
"Vi, ayo gue tunjukkin kamar lo."
"Oh, oke."
Vivian mengikuti langkah Kevin meski matanya mencuri pandang ke arah pintu kamar Satria yang masih gelap. Apa pria itu tidak pengap? Kok gak dinyalakan sih lampunya?
"Ini kamar lo, Vi."
"Thanks, Vin. Sebenarnya gue gak enak lho, ngerepotin keluarga lo, pake dokter Satria bela-belain pulang."
"Gak, kok. Kak Satria emang udah lama gak pulang. Dia suka tinggal di rumah yang dulu pernah lo nginep."
"Tapi kan gue jadi gak enak."
"Gak papa. Lo denger sendiri kan, alesan dia pulang cuma bikin Mami tenang. Udah, sekarang lo masuk dan ganti baju, terus tidur."
"Terus lo mau kemana?"
"Gue belum ngantuk, jadi mau nonton bentar di bawah."
"Gue juga belum ngantuk. Soalnya ini masih jam 9 sih, gue ikut nonton ya?"
"Oke, gue tunggu di bawah."
Vivian segera bergegas mengganti baju dan bergabung dengan Kevin yang sudah duduk nyaman di sofa dengan cemilan di tangannya.
"Heran gue, lo seneng ngemil kayak gini, tapi badan lo gak melar."
"Itu namanya anugrah, Vi. Lagian gue gak ambil pusing masalah bentuk tubuh. Yang penting sehat."
"...."
Kevin menoleh ke arah Vivian yang ternyata sudah terlelap.
"Yah, dia tidur. Katanya belum ngantuk."
Kevin meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu jongkok dan memperhatikan wajah Vivian dari dekat. Bibirnya tersenyum kecil, bisa-bisanya gadis rapuh ini menariknya dalam persahabatan yang bertahan belasan tahun. Dan entah terlalu polos atau bagaimana, gadis ini tak pernah berpikir bahwa sahabat pria yang ia percaya sekian lama akan jatuh hati padanya.
Hanya pria bodoh yang menolak pesona Vivian. Gadis itu membuat siapa saja tergerak untuk melindunginya. Sebut saja Vino, mantan Vivian yang agak bertahan lama dari pacar-pacar sebelumnya, pria itu masih nampak berusaha ingin memiliki Vivian. Gaya pacaran Vivian yang kolot itu membuat banyak pacar Vivian memilih mundur dan menyerah. Tante Yuli berperan besar atas putusnya Vivian dengan pacar-pacarnya, dan Kevin sangat bersyukur akan hal itu.
Vivian, seseorang yang ia cintai berkedok sahabat. Ya, Kevin memang telah lama mencintai gadis ini. Hanya saja, ia tak ingin merusak hubungan mereka karena perasaannya.
Kevin merapikan rambut Vivian yang menutupi wajahnya. Lalu mengelus lembut pipi chubby milik Vivian.
"Apa dia tidur?"
Suara Satria menghentikan Kevin, sudah ia duga. Kakaknya pasti benar-benar mengawasinya
dari lantai atas, sial!
"Ya, aku akan memindahkannya."
"Perlu bantuan?"
"Tidak usah, aku sering menggendongnya."
Dengan sedikit kesal, Kevin membawa Vivian ke kamarnya. Ia heran, kenapa tiba-tiba saja Kak Satria begitu peduli? Bukannya selama ini kakaknya itu hanya sibuk dengan profesi kebanggaan keluarganya? Sejak kapan Kak Satria mulai peduli dengan urusan pribadi adiknya?
Satria memperhatikan Kevin yang masuk dan menidurkan Vivian di kamarnya.
"Dia sudah tidur, Kakak jangan khawatir, aku gak akan apa-apain dia, kok."
Satria menepuk bahu Kevin dan menyunggingkan senyuman.
"Kakak percaya sama kamu, tidurlah."
Satria menatap punggung Kevin yang menghilang di balik pintu kamarnya. Ia lalu sedikit membuka kamar Vivian, menatap lama gadis yang tengah terlelap di alam mimpinya.
"Aku tidak tahu kenapa rasanya sulit untuk tidak peduli padamu, aku rasa mungkin ini hanya sebatas rasa tanggung jawabku sebagai dokter terhadap pasiennya, ya, tak lebih."