"Vin, gue gak nyangka lo punya kakak dokter, mana cakep lagi."
Vivian mengaduk kuah bakso dengan semangat. Hari ini ia bertekad untuk bisa melawan kelemahannya. Ya, sebenarnya Vivian tak tahan pedas. Tapi ia ingin lebih kuat sekarang.
Ia melihat kuah milik Kevin tak jauh beda, semangkuk bakso juga sedang ia nikmati, hanya tingkat pedas bakso milik Kevin lebih kental dari punya Vivian.
"Emang lo gak lihat apa, adeknya gemesin gini."
"Ck, emang bayi gemesin, ya kan gak nyangka aja."
"Kita gak mirip yah?"
"Bisa dibilang sih."
Kevin tertunduk lesu. Sebenarnya ia bosan dengan semua perkataan orang mengenai dirinya dan Satria yang memang memiliki perbedaan dalam segala hal. Dan tentu saja Satria menang telak dari dirinya.
"Lo kenapa? Gue salah ngomong ya?"
"Gak, lo bener. Bukan cuma lo aja sih, banyak juga orang lain ngomong gitu ke gue. Kita emang gak mirip. Nyokap bilang Kak Satria mirip almarhum kakek."
Vivian mengangguk kecil.
"Sorry ya, kalo mulut gue bikin lo kesel."
"Ck, apaan sih lo. Biasa aja kali, gue cuma kepikiran Kakek gue. Lo tahu, gue belum pernah ketemu beliau. Orang bilang dia mirip banget sama Kak Satria."
"Dan lo mirip nyokap lo?"
"Yups, benar. Gue mirip nyokap. Tapi, apapun itu, gue sayang banget sama abang gue, bahkan nyokap bilang kalo pengen lihat kakek, ya, lihat aja Kak Satria. Semuanya mirip."
Segerombolan gadis datang ke kantin. Siapa lagi kalau bukan Salsa sama pasukannya.
"Hai Kevin! Kita boleh gabung kan?" Ucapnya sedikit manja.
Belum juga Kevin menjawab, Salsa langsung duduk di samping Kevin. Gadis itu mencibir ke arah Vivian.
"Halo anak mami? Tumben makan bakso pake pedes, ntar sakit perut lho."
"Gak bisa ya, lo sehari aja gak ganggu gue?"
"Apa? Ganggu lo? Siapa bilang? Gue cuma melaksanakan tugas Mami lo, yah, kayak ngelarang lo buat makan yang pedes-pedes, katanya lo gampang diare, haha."
Tawa Salsa menggema di kantin kampus. Dan tentu saja disponsori oleh pasukan setianya yang duduk di meja lain ikut tertawa keras.
"Duh, hari gini, ada gadis yang perutnya kayak dede bayi, gak kuat makan pedas, bwahaha..."
Vivian yang memang mulai kewalahan dengan rasa pedas di mulutnya berdecak sebal. Sialnya, apa yang diucapkan Salsa emang gak salah, ia tak biasa makan pedas. Hanya saja, ia sungguh berniat untuk bisa seperti orang lain. Jadi dia mengikuti cara makan Kevin, meski pedasnya sedikit di bawah selera Kevin.
Vivian gak bisa jawab. Mulutnya udah kelewat kepanasan. Pipinya juga memerah. Dan jangan lupakan perutnya yang mulai melilit.
Kevin menatap khawatir ke arah Vivian. Lalu terkejut melihat kuah bakso Vivian yang baru ia sadari ternyata di kuah itu banyak biji cabenya!
"Lo gila, Vi? Ngapain makan pedas?!"
"Gue... gue kuat, kok!"
"Haha... muka lo lucu deh, bayi! Udah kayak badut!"
"DIAM KALIAN SEMUA!!!"
Bentakan Kevin membuat semua orang di kantin bungkam. Kevin menarik tangan Vivian dan membawanya pergi.
"Ayo kita pulang!"
Salsa terperangah melihat Kevin beranjak pergi. Udah bukan rahasia lagi, kalau ia memang memuja Kevin yang terkenal anak baik itu.
"Vivian sialan! Anak bayi itu! Beraninya dia merebut Kevin! Lihat saja, gue gak bakal diam!"
***
"Vi, lo gak papa?"
"Gak, Vin. Gue cuma butuh toilet sekarang juga."
"Ya udah, kita ke rumah nyokap aja."
"Jangan, Vin. Ntar ngerepotin!"
"Lo bukan hanya butuh toilet, Vi. Tapi lo juga harus minum obat! Gue gak mau lo kenapa-napa."
Kevin melajukan motor sportnya dengan kecepatan maksimum. Vivian sampai tak mampu membuka mata. Anak ini ngebut.
Tak kurang dari 15 menit, mereka udah nyampe di rumah Kevin. Vivian memang sering main kesini. Hanya ia tak pernah bertemu dokter Satria yang ternyata kakaknya Kevin itu.
"Lho, Vivian? Kenapa wajah kamu merah gitu?"
Tante Lina, Maminya Kevin, menyambut kedatangan mereka.
"Vivian butuh ke toilet, Tante. Boleh?"
"Oh ya, tentu saja boleh sayang, sana ke toilet dulu, biar Tante suruh Bi Sari bikin minum buat kamu."
Vivian langsung kabur ke toilet, ia butuh pelepasan sekarang juga.
Kevin langsung duduk selonjoran di sofa.
"Kamu apain Vivian, Kev?"
"Napa nyalahin aku, Mi?"
Mami emang udah deket sama Vivian. Bahkan kayaknya Mami lebih sayang ke Vivian ketimbang dirinya. Wajar mungkin, mengingat Mami tidak memiliki anak gadis.
"Pasti kamu gak jagain Vivian dengan benar, ya? Kamu biarin Vivian makan pedas ya?"
"Bukan gak jagain, Mi. Kevin gak tahu kalo Vivian makan bakso pake pedas sebanyak itu."
"Apa?! Ya ampun Vivianku sayang! Dia bisa diare, duh kamu ini gimana sih? Dia pasti sakit perut sekarang. Pantas saja pipinya semerah tomat tadi."
Mami segera bangkit dan pergi ke belakang rumah. Mungkin membuat obat buat Vivian. Meski mereka keluarga berlatar belakang dokter semua, tapi buat keluarga, Mami lebih suka membuat obat tradisional.
Vivian muncul dengan lemas. "Vin, gue kayaknya harus balik deh, gak mungkin ke kampus lagi."
"Lagian kenapa sih, lo pake makan pedas yang jelas-jelas perut lo gak kuat."
"Y-ya gue iseng aja sih, uji nyali."
"Iseng lo bikin gue khawatir."
"Iya, sorry."
Mami muncul dengan segelas obat racikannya sendiri.
"Vivian sayang, minum obat dulu, biar perutnya enakan."
"Makasih, Tan. Duh, jadi ngerepotin."
"Ngerepotin apanya, Tante udah nganggap kamu kayak putri Tante sendiri. Ayo diminum."
Vivian cuma manut aja. Tante nih mirip banget sama Maminya, cerewet kalo ia sakit.
Ponsel Vivian bergetar.
Selesai minum, ia langsung mengambilnya.
"Ya, hallo?"
"Apa benar ini dengan Vivian?"
Kening Vivian berkerut. Ini nomor Maminya, tapi kok yang nelpon orang lain, sih?
"Ya, saya sendiri. Ini siapa ya? Mami saya mana?"
"Mohon maaf, Mami kamu kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit."
"Apa?! Rumah sakit mana?! Baik, saya kesana sekarang."
Klik. Wajah Vivian memucat.
"Ada apa, Vi?"
"Anu Tante, Mami kecelakaan, saya harus kesana dulu."
Dengan tergesa Vivian menyambar tas miliknya.
"Apa? Ya Allah, kecelakaan dimana?"
"Gak tahu, Tan. Saya pergi dulu, Tan!"
"Tunggu, Vi! Lo berangkat bareng gue, ayo!"
"Eh, Mami ikut juga! Tunggu sebentar!"
Vivian duduk lagi. Tangannya gemetaran, ia tak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Maminya. Meski Mami cerewet, tapi bagi Vivian Mami adalah belahan jiwanya, hidupnya, dunianya!
Tak terasa airmata menggenang di kedua pipinya.
"Vi, kamu jangan khawatir, Tante Yuli pasti baik-baik aja, oke?"
Vivian tidak menjawab. Ia hanya terus menangis.
"Ayo berangkat, maaf, Mami sedikit lama tadi, nyari tas yang sesuai dengan baju ini."
Kevin hanya menggelengkan kepalanya. Kebiasaan Mami, meski udah berkepala lima, soal penampilan, Mami memang juaranya.
***
Bau khas rumah sakit sungguh menusuk. Ini sangat tidak disukai Vivian. Jika selama ini dirinya yang sering bolak-balik berobat dengan Mami, sekarang giliran Mami yang terbaring di atas ranjang dengan perban dikepalanya.
Sungguh, jika ia boleh meminta, ia rela dirinya saja yang terbaring itu. Jangan Mami, wanita hebat yang selalu menjaganya itu tak boleh sakit.
"Mami! Mami kenapa?"
Vivian langsung berhambur ke pelukan Maminya.
"Mami gak papa. Cuma benturan kecil aja, kok. Tadi Mami nyebrang pake motor gak lihat-lihat dulu, jadinya ya tertabrak mobil. Untungnya mobil yang nabrak Mami gak kenceng, jadi gak fatal."
Vivian mengusap airmatanya yang terus turun.
"Vivian takut, Mi. Vivian takut Mami ninggalin Vivian."
Mami mengelus sayang rambut panjang Vivian.
"Gak sayang, Mami gak akan pernah ninggalin kamu. Eh, udah nangisnya! Malu itu sama Kevin."
Kevin dan Maminya masih diam, memberi waktu bagi ibu dan anak itu.
"Kev, makasih lho, kamu udah nganterin Vivian. Dan juga makasih udah repot-repot nengok."
Mami tersenyum sungkan ke arah Lina.
"Gak papa kok, saya udah anggap Vivian seperti putri saya sendiri. Begitu mendengar kabar buruk ini, saya rasa saya harus menemaninya."
"Mi, aku beresin administrasi dulu ya? Kata dokter tadi, Mami gak usah dirawat."
"Ya udah sana pergi."
"Biar aku temani."
Vivian dan Kevin menghilang dibalik pintu.
Lina tersenyum. "Saya tidak punya anak perempuan, hanya punya dua putra yang memiliki sifat bersebrangan. "
"O, ya? Saya justru hanya punya Vivian. Dia harta satu-satunya yang membuat semangat hidup saya bangkit. Ayahnya pergi sebelum Vivian dewasa."
"Benarkah? Maaf, saya tidak bermaksud..."
"Tak apa, rasa sedih saya tergantikan dengan sosok Vivian yang tumbuh cantik."
"Benar. Dia sangat cantik. Vivian membuat setiap orang yang melihatnya ingin melindunginya."
"Terimakasih. Bagaimana dengan putra Anda yang satunya lagi?"
"Oh, Satria. Dia udah kerja dan membuka beberapa apotek. Putra sulung saya itu udah jadi Bang Toyib yang jarang pulang. Ayahnya saja sampai harus membuat acara khusus agar anak itu mau pulang."
"Sebentar, Satria yang dokter itu?"
"Ya, Anda mengenalnya?"
"Ah, saya baru ingat, Vivian pernah bilang kalau Dokter Satria itu kakaknya Kevin. Ya ampun, kebetulan sekali! Saya sering merepotkan putra Anda."
"O ya? Jadi Anda pernah bertemu dengan putra saya?"
"Tentu saja, saya sering berobat, ah tepatnya bukan saya, tapi Vivian."
"Anak itu tidak pernah cerita. Kalau tahu begitu, akan saya suruh Satria untuk menjaga Vivian."
"Jadi merepotkan, Bu Lina."
"Ah, tidak masalah Bu Yuli. Saya sangat menyayangi Vivian."
Dan kedua ibu itu larut dalam perbincangan putra putri mereka.
***
Mami sudah kembali ke rumah. Luka akibat kecelakaan itu tidak ada yang serius. Mami hanya pingsan akibat benturan.
Vivian masih mengenakan piyamanya. Perutnya masih terasa melilit. Sudah 5 kali ia bolak-balik toilet sejak ia bangun. Beruntung kemarin saat di rumah sakit, ia masih bisa menahan rasa melilit di perutnya.
Pintu kamar terbuka. Mami masuk ke kamarnya.
"Lho, kok masih di kamar? Gak masuk kuliah, Vi?"
"Kayaknya gak deh, Mi."
"Kenapa? Sebentar, kok kamu pucat sayang? Kamu sakit?"
"Gak, Mi. Vi cuma mulas aja."
Vivian sungguh lemas. Rasanya kedua lututnya seperti tak bertulang.
"Ya ampun! Ternyata benar, kamu sakit! Tunggu di sini, jangan kemana-mana. Mami panggil dokter dulu."
"Tapi, Mi. Sekarang kan hari kerja, dokter Satria pasti lagi di rumah sakit."
"Ah, kamu benar. Kalo begitu, Mami minta tolong Bu Lina aja."
Terlihat Maminya mulai sibuk nelpon. Mengangguk-angguk. Dan berkali-kali bilang terima kasih.
"Mereka akan kemari sebentar lagi."
"Apa?! Mereka siapa, Mi?"
"Tante Lina, dia sangat cemas saat tahu kondisimu, Kevin juga katanya akan datang."
"Oh."
Ketemu dokter keren itu lagi? Ya ampun, wahai jantungku, tolong berdetaklah dengan normal. Akan sangat memalukan jika aku ketahuan deg-degan kayak gini.
"Mi, dokter Satria mau datang juga ya?"
"Tentu saja sayang, emang siapa yang bakal ngobatin kamu? Kevin kan bukan dokter, tentu saja dokter Satria."
"Tapi Vi belum mandi, ntar bau. Mandi dulu ya?"
"Duh, Vivian sayang, kamu itu lagi sakit, ngapain mandi dulu? Lagipula, kamu gak bau kok."
"Beneran, Mi?"
"Iya, tinggal pake minyak wangi aja. Lagian kenapa sih, tumbenan kamu mau mandi pagi segala? Biasanya kalo ke dokter malah gak mau ganti baju apalagi mandi."
"Bukan gitu, Mi. Yah, kan malu aja ada Tante Lina juga sama Kevin."
Mami tersenyum penuh arti.
"Duh, gadis Mami udah dewasa rupanya. Kevin memang anak baik, Mami juga suka anak itu. Tante Lina nampaknya sangat menyayangimu."
Lah, Mami malah galfok ke Kevin. Tapi tak apa. Biar aja Mami salah faham.
Tak lama, muncullah wajah khawatir Tante Lina berikut Kevin yang masuk ke kamar Vivian. Sosok yang bikin hati Vivian cenat-cenut belum muncul juga.
"Vivianku sayang, kamu kenapa? Ya ampun, wajahnya pucat sekali!"
Tante Lina langsung menghampiri Vivian yang berbaring di atas kasur.
"Ck, ini pasti karena bakso kemarin kan, Vi?"
Mami langsung menatap cemas.
"Bakso apa, Kev? Vivian makan bakso? Jangan bilang kalo kamu makan pedes?!"
"Dikit kok, Mi."
"Ya kan dikit juga bikin kamu kayak gini sayang."
"Duh, maaf banget Bu Yuli, Kevin gak jagain Vivian dengan bener kayaknya."
"Ekhm! Maaf, siapa yang sakit?"
Suara Satria membuat kehebohan kecil itu terhenti. Semua menoleh ke pintu. Satria sudah berdiri lengkap dengan tas peralatan dokternya.
"Duh, maaf lho, dok. Jadi ngerepotin lagi."
"Tak apa, ini jam istirahat kok Bu Yuli, ya kan Satria?"
Satria hanya tersenyum dan mengangguk sopan.
"Ya udah, sambil menunggu Vivian diperiksa mari kita minum dulu Bu Lina, Nak Kevin."
Mereka akhirnya meninggalkan Vivian dan Satria di kamar.
"Baiklah. Sekarang kamu kenapa?"
"Saya sakit, Dok."
"Saya tahu, kamu gak minum lagi seperti waktu itu kan?"
Vivian menggeleng. Matanya masih anteng menatap kagum Satria dengan peralatan medisnya yang menurutnya sangat keren.
Saat stethoscope hendak menyentuh bagian dadanya, tangan Vivian refleks menahan lengan Satria.
"Tunggu!"
Kening Satria berkerut, "kenapa? Apa ada yang sakit?"
Gawat, jantungku gak normal sekarang! Bisa ketahuan nanti.
"Bu-bukan, saya hanya perlu minum dulu, bolehkah?"
"Baiklah."
Vivian berusaha bangun, namun sialnya, lututnya gemetaran.
Satria bangkit dan mengambil segelas air putih yang memang tersedia di meja.
"Ini, minumlah."
"Thanks."
Sial, kalo gini caranya, jantungku bukan membaik, malah makin parah!
Deg-deg-deg!
Dan akhirnya Vivian hanya bisa pasrah saat benda dingin itu menyentuh dadanya. Membuat Satria ikut tertegun. Matanya menatap kedua mata Vivian yang masih anteng melihatnya.
"Apa... kamu baik-baik saja?"
Sesaat mereka hanya saling memandang. Satria menyadari sesuatu. Gadis ini berdebar 10 kali dari detak normal!