"Thanks ya, Vin, lo udah mau nganter gue."
"Ya, sama-sama. Awas, lain kali jangan pernah main gila lagi!"
Kevin mengacak rambut Vivian dengan gemas. Ia tak habis pikir bagaimana bisa gadis menggemaskan ini bisa datang ke tempat terkutuk itu.
Vivian membuka helm dan memberikannya pada Kevin.
"Ya ampun!! Sayang, kamu kemana aja?!"
Teriakan Sang Mami membuat keduanya menoleh. Nampak Mami sudah rapi seperti bersiap untuk pergi.
Vivian segera berhambur ke pelukan Mami.
"Mami...! Maaf sudah membuat Mami khawatir!"
"Sayang, kamu gak kenapa-napa kan? Oh ya Tuhan! Syukurlah putriku sudah kembali."
Kevin yang melihatnya ikut tersenyum lega. Yah, setidaknya gadis itu masih utuh.
Seakan baru sadar, Mami lalu melihat ke arah Kevin yang tersenyum dan mengangguk sopan.
"Makasih ya, Kevin! Tante gak tahu harus gimana kalo Vivian sampai tidak ketemu."
"Iya, sama-sama, Tante."
"Eh, kamu masuk dulu, yuk! Ada temen Vivian yang lain di dalem."
"Siapa, Mi?"
Wajah Mami berubah murka.
"Itu, temen kamu yang ngajakin pergi semalam."
"Bora, Mi?"
Mami mengangguk. Jangan bilang kalo Mami juga sudah tahu dirinya pergi ke club malam tadi!
Di dalam, nampak Bora, Topan dan Andre sedang duduk dengan wajah yang tertekuk. Kayaknya habis dapet wejangan gratis tuh!
"Vivian? Ya ampun, syukurlah, lo udah pulang?!"
Bora segera berhambur ke arah Vivian. Memeriksa sekujur tubuh Vivian. Seakan memastikan tubuh gadis ini itu masih utuh dan tak ada yang kurang.
"Lo gak kenapa-napa kan?"
"Gue baik-baik aja."
"Lo pulang ama siapa? Terus semalam nginep di mana?"
Topan juga ikut menghampiri Vivian yang sudah duduk di sofa.
"Vivian sama gue semalam. Ya kan, Vi?"
Vivian mengangguk. Gak mungkin kan kalo dia bilang dirinya pingsan akibat mabuk berat dan terdampar di kamar pria tampan bernama Satria itu.
"Lo tahu gak, Vi? Kita dimarahin habis-habisan sama nyokap lo."
Vivian nyengir.
"Sorry, gue gak tahu kalo bakal seburuk itu akibatnya."
"Iya, Vi. Bahkan kalo lo belum juga pulang, rencananya nyokap lo mau lapor polisi. Serem gue!"
Andre bergidik ngeri mengingat bagaimana murkanya Mami saat Vivian tidak pulang semalaman.
"Duh, sorry banget ya? Lo semua udah direpotin kayak gini."
"Lo gak salah, Vi. Kita aja yang lengah jagain lo. Ngomong-ngomong makasih ya, Vin. Lo udah nganterin Vivian kemari."
"Ya, sama-sama. Lain kali, jangan bawa Vivian ke tempat kayak gitu lagi."
"Gak, Vin. Gue yang salah kok, gue ngotot pengen ikut mereka."
Mami muncul dari dapur membawa nampan berisi 2 gelas minuman.
"Sayang, minum dulu deh, kamu juga Kevin."
"Iya, makasih Tante."
"Ya udah, Tan. Kami pamit dulu. Sekali lagi, maaf banget kami gak jagain Vivian dengan baik semalam."
Bora, Topan dan Andre pamit. Menyalami Mami yang menghela nafas. Mau bagaimana lagi, meski jengkel karena putrinya dibawa pergi semalam, tapi sekarang putrinya sudah pulang kan?
"Iya, lain kali kalo kira-kira tempatnya kurang aman, Vivian gak usah diajak."
"Siap, Tante. Vi, Vin, kita cabut dulu ya?"
"Ya, makasih ya."
Tinggal Vivian dan Kevin yang tersisa. Dan selepas ketiga temannya keluar, Mami langsung ikut bergabung di sofa.
"Sekarang, ayo ceritakan bagaimana kejadian semalam?"
Kevin dan Vivian saling menatap. Seolah ada sambungan kabel, pikiran keduanya sama. Yah, Kevin yang notabene temen deketnya sejak lama, faham benar tentang gimana proteknya Mami Vivian ini.
"Kita pulang bareng semalam, Tan. Dan pulangnya kemalaman. Terus juga saya gak mungkin nganterin Vivian selarut itu. Serem, Tan. Apalagi katanya nih ya, geng motor sedang merajalela lagi, Tan."
Vivian meringis mendengar kisah palsu yang dipaparkan Kevin. Tapi cukup masuk akal juga sih.
Kening Maminya berkerut.
"Kenapa gak ngasih kabar ke Mami? Terus juga Mami telfon kamu berkali-kali malah gak diangkat. Habis itu malah jadi gak aktif."
Vivian gelagapan. Ditatapnya Kevin agar pria itu mau sekali lagi berbohong untuknya. Jujur aja, dia kurang pandai mengarang cerita.
"Ah, itu Tante. Jadi gini, pas kami ada di acara peresmian itu, kami dilarang bawa handphone, soalnya dianggap gak mengharagai yang punya acara katanya."
"Oh gitu, ya? Kok ada sih acara kayak gituan?"
Kevin tersenyum kaku. Melirik Vivian dengan tatapan 'giliran-lo-gue-udah-kewalahan.'
"Y-ya, ada, Mi. Nah pas Vivian pP9mau cek handphone, eh malah ilang."
"Wah, jangan-jangan itu acara gak bener tuh, niat pencurian handphone kayaknya."
"Eh, enggak, Mi. Bukan! Handphone Vivian aja kok yang hilang. Yang lain mah enggak. Ini kecerobohan Vivian aja, kok. Maaf banget ya, Mi."
Mami manggut-manggut. Wajah lega nampak kentara dari Kevin dan Vivian. Akhirnya, Mami mau percaya juga.
Tanpa sepengetahuan Mami, Vivian dan Kevin toast di bawah meja.
***
Vivian menggeliat pelan. Lalu bangun terseret-seret menuju kamar mandi.
"Sayang, kamu udah bangun?"
"Udah, Mi. Ini lagi di kamar mandi."
"Eh, jangan mandi sayang! Badan kamu demam semalaman! Ntar malah tambah parah."
Ya, Vivian semalam demam. Mungkin efek kurang tidur dan mabuk berat itu ia jadi demam.
Tapi gak mandi? Haduh, Mami bercanda deh, masa dirinya yang bau ileran gitu dilarang mandi sih?
"Aku udah baikan kok, Mi."
Teriak Vivian dari kamar mandi.
Lalu tiba-tiba Maminya menggedor pintu kamar mandi dengan tergesa.
Tok-tok-tok!
"Buka, Vi!"
Dengan malas, Vivian membukakan kamar mandi. Dan tanpa aba-aba, Mami langsung menarik tangan Vivian dari kamar mandi.
"Lho-lho, mau kemana, Mi?"
"Kamu udah sholat kan?"
"Belum, Mi."
"Wudlu dulu, ayo!"
Mami mendorong kembali badan Vivian ke dalam.
Meski dengan bingung, Vivian menurut. Selesai wudlu, Vivian keluar dan langsung sholat.
Mami masih setia menunggu.
Selesai sholat, Vivian menatap Mami heran.
"Kenapa sih, Mi?"
"Sini kamu."
Mami membawa Vivian ke tempat tidur lagi. Membaringkannya dan menyelimuti tubuh Vivian.
"Lho, Mami, Vivian udah gak ngantuk. Kenapa disuruh tidur lagi sih, Mi?"
"Kamu harus istirahat, gak boleh mandi dulu. Jangan kemana-mana. Mami udah nyuruh Si Bibi bikinin bubur buat kamu."
Vivian hendak bangun. Tapi malah dipaksa tidur lagi.
"Nurut, Vivianku sayang, kamu belum pulih benar. Mami mau nelfon dokter dulu."
"Apa? Dokter lagi? Mi, ini tuh cuma masuk angin! Ntar juga baikan, gak usah ke dokter segala lah, Mi."
"Udah, diem!"
Vivian hanya manyun. Gini nih, nasibnya anak semata wayang. Mami sangat over protektif padanya. Mungkin wajar, mengingat Mami hanya memiliki dirinya. Papinya sudah lama pergi meninggalkan mereka saat Vivian masih dalam kandungan. Beruntung, meski Papi sudah meninggal, hidup mereka tidak susah. Sebab, Papi meninggalkan warisan restoran yang dirintis bersama Mami sejak mereka pacaran dulu.
Mami nampak menelpon seseorang. Dan sesekali melirik Vivian yang tidur berselimut dengan patuh.
"Iya, dok. Anak saya yang sakit. Makasih ya? Maaf lho, saya ganggu dokter di hari libur kayak gini."
Mami menyudahi pembicaraannya di telfon. Tak ditanya juga Vivian sudah tahu, Mami menelfon dokter. Alamat rutin makan obat lagi nih, 3 kali sehari, dan itu membosankan.
"Nya, Tuan Dokter sudah sampai katanya."
Bi Onah muncul di depan kamar Vivian.
"Suruh langsung ke kamar Vivian aja, Bi."
"Siap, Nya!"
Selang beberapa menit, Bi Onah sudah kembali dengan seseorang berjubah putih dibelakangnya. Vivian yang memang paling malas berobat, malah mengubur dirinya dalam selimut.
"Mana putrinya, Bu? Biar saya periksa."
"Ini, dok. Ya ampun, sayang, buka selimutnya! Ayo, biar kamu cepet pulih!"
Dengan malas Vivian membuka selimut tebalnya. Beberapa detik ia hanya melongo. Pun dengan dokter muda itu. Ya, siapa lagi kalo bukan Satria yang kini berdiri didepan Vivian lengkap dengan peralatan medisnya.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Vivian bertanya pada Maminya, "ini...dokternya, Mi?"
Sang Mami tersenyum dan mengangguk.
Meski Satria juga sama kagetnya, tapi tetap saja ia harus menjaga profesionalitasnya sebagai seorang dokter.
"Hai."
"Hai."
"Ada yang sakit?"
"Oh, tentu. Periksa saja."
Mami mengendus perilaku aneh antara putrinya dan dokter muda ini. Baru kali ini ia melihat dokter dan pasien nampak canggung. Namun meski begitu, Mami biarkan sampai proses pemeriksaan selesai. Dan lagi putrinya itu tak pernah sekalipun melepaskan pandangannya pada dokter Satria. Ini mencurigakan!
Vivian sebenarnya masih shock saat tahu dokternya adalah Satria yang menolongnya tempo hari. Beruntung dokter itu memiliki ketampanan di atas rata-rata. Dan itu sedikit mengurangi rasa malasnya untuk berobat.
Gila, kalo dokternya cakep begini mah, berobat bukan malas, malah kalo bisa tiap hari juga gue mau diperiksa gini.
Mami menyenggol bahu Vivian yang terus anteng menatap Satria yang nampak keren dengan segala peralatan dokternya itu. Seolah baru sadar, Vivian melirik Mami dan langsung dapet pelototan mengerikan dari Sang Mami.
"Gimana, dok? Sakit apa Vivian?"
"Oh, ini akibat terlalu banyak minum--"
"Jus, ah iya. Jus! Sekarang aku ingat, Mi. Di pesta itu aku terlalu banyak minum jus dingin, hehe."
Vivian memotong ucapan Satria. Bisa gawat kalo dokter itu bilang yang sebenarnya bahwa dirinya mabuk berat malam itu.
Satria menatap Vivian dengan heran. Kenapa dengan gadis ini? Tapi Satria dapat melihat arti tatapan Vivian yang memelas 'please-jangan-kasih-tahu-yang-sebenarnya'.
Satria menghela nafas pelan. Ia tidak bisa berbohong pada pasiennya.
"Begitu ya? Istirahat yang cukup dan nanti saya buatkan resepnya."
Selesai pemeriksaan berikut resepnya, Mami langsung mengeluarkan unek-uneknya sejak tadi.
"Maaf sebelumnya, dok. Bukan saya lancang, hanya saja saya penasaran, apa dokter mengenal putri saya?"
"Ah, itu, saya--"
"Dokter Satria ini kakaknya Kevin, Mi. Jadi ya pastilah sering lihat aku kalo lagi sama Kevin."
Lagi-lagi omongan Satria dipotong Vivian. Satria yang tak suka banyak bicara hanya diam lalu mengangguk.
"Oh, pantesan kalo gitu. Tadi kalian kayak kaget bertemu lagi, hehe. Baguslah, kalo kakaknya Kevin, berarti dokter gak keberatan kan kalo lain kali saya merepotkan lagi? Vivian ini sahabat dekatnya Kevin, lho!"
"Oh, tentu saja, Bu."
"Mami apaan sih? Kan kasian dokter Satria juga sibuk, Mi."
"Gak papa, kok. Mengobati orang sakit yang membutuhkan saya adalah sebuah kewajiban."
"Tuh, dokter Satria aja gak keberatan. Eh, ngomong-ngomong, dokter gak usah panggil saya Ibu, rasanya terlalu formal. Kayak orang asing aja. Panggil aja tante. Kevin juga sering main kesini."
"O ya? Maaf Tante, kalo Kevin banyak merepotkan di sini."
"Eh, enggak kok. Tante seneng kalo Vivian punya sahabat dekat. Malahan nih ya, kemarin waktu Vivian gak pulang, Kevinlah yang menyelamatkan Vivian dan mengantarkannya ke rumah. Kalo gak ada Kevin Tante gak tahu harus gimana."
Satria meringis.
Yang nolongin Vivian itu aku, Tan! Bukannya Kevin.
Vivian juga menatap iba pada Satria. Pasti Satria sedikit tersinggung. Yang menyelamatkan siapa, yang dipuji siapa. Tapi mau bagaimana lagi, dia gak mungkin cerita yang sebenarnya ke Mami.
"Kalo gitu, saya pamit dulu, Tante."
"Iya, hati-hati ya! Sekali lagi makasih lho."
"Iya, sama-sama."
Mami lalu keluar dari kamar menuju dapur.
Vivian yang merasa gak enak hati, langsung tancap gas lari menuju Satria yang sudah di pintu keluar rumahnya.
"Tunggu!"
Vivian menahan lengan Satria.
Sontak membuat Satria berhenti dan mengerjap kaget.
"Ada apa?"
Dengan senyum malu-malu disertai semburat merah dikedua pipinya, Vivian menjawab pelan.
"Makasih."
"Hm, sama-sama."
Satria lalu menatap tangan Vivian yang masih betah menempel di lengan kekar miliknya.
Menyadari arah tatapan Satria, sontak Vivian kaget dan melepaskan tangannya.
"So-sorry."
"Ya, saya pamit pulang."
Satria lalu masuk ke mobilnya. Vivian menatap kepergian Satria dengan rasa lega. Ia lalu meraba jantungnya yang berlomba. Ada rasa asing tapi menyenangkan sedang menyerang hatinya saat ini. Aneh, berdebar tapi bikin greget dan mengundang rasa bahagia!
Perasaan macam apa ini?!