Aku terdiam menatap wajah kusut dari cewek mengerikan yang sedang duduk di depanku. Air matanya sempat menetes karena kediamanku. Hatiku sakit melihat itu, akan tetapi rasa kecewaku telah membuat bibirku seolah kelu hingga enggan mengucapkan sepatah katapun untuknya. Tadi saat jam istirahat, aku menerima kenyataan bahwa pertemuanku dengan Redha, yang kukira adalah sebuah takdir, ternyata hanyalah khayalan. Redha sengaja lewat, dia sengaja di sana. Bukan kebetulan dan kenyataan pahit itu memupuskan harapanku untuk mempercayai bahwa dia mencintaiku. Aku takut, bahwa apa yang dia lalukan selama ini, juga kebohongan. "Baal," panggilnya. Aku menghela napas sembari memainkan kuku-kuku di tangan kiriku. Saat ini, kami tengah duduk berdua di warung bakso, menikmati dua es jeruk manis dengan dua

