8

1390 Kata
Hari ini Redha aneh. Cewek mengerikan itu sama sekali nggak menelponku sejak kemarin. Padahal biasanya dia selalu rajin mengecekku sedang apa, di mana dan dengan siapa. Bahkan pernah ngotot agar aku nggak mematikan telponnya saat aku ijin mau pup. Jadi suatu keajaiban saat dia nggak menelponku dan mengirimiku pesan. Apakah ini adalah tanda-tanda bahwa hari kebalikan akan segera dimulai? Aku tunggu hingga mau berangkat sekolah tapi cewek mengerikan itu benar-benar nggak menghubungiku sama sekali. Saat aku tiba di sekolah, dia juga nggak menyambutku di gerbang. Padahal sebelumnya, dia selalu teriak-teriak tiap aku. Dia bahkan dengan lebay akan mengelus-elus daguku bak majikan yang tengah ngelus hewan peliharaannya. Jika kupikir lagi, selama ini dia memang hanya menganggapku begitu. Apes. Saat bel istirahat berbunyi dua detik yang lalu, aku sudah menyiapkan mental. Aku sudah menunggunya dengan terus menatap pintu kelas tetapi si Redha kepalanya aja nggak nongol. Dia benar-benar kayak ditelan balon. "Baal," panggil Fares. Aku menoleh ke arah Fares yang menatapku heran. "Nungguin siapa?" tanyanya. "Huh?" "Dari tadi liatin pintu, udah kayak mau roboh tahu nggak pintunya gara-gara kamehame matamu!" ejek Fares. "Njir, kamehame, kamu pikir aku Son Goku di anime Dragon Ball?" dengusku kesal. "Yaudah kalau nggak mau dragon ball, one piece aja gimana? Kamu bisa manjangin tangan kau kayak getah karet," tawar Fares. "Hadeh, asem kamu!" dengusku sebal. Fares ngakak lalu duduk di kursi sebelahku. "Terus, rencana kemarin gimana?" tanya Fares sok bermuka peduli. Aku menautkan alisku. Heran juga dia nggak tahu kalau aku nyaris kehilangan kepala sementara si Fira nyaris kehilangan wajahnya gara-gara rencananya yang gagal total itu. "Si Fira nggak cerita, Res?" tanyaku balik. Fares menggelengkan kepalanya. "Nggak tuh, gagal ya?" tebak Fares. "Nggak," sahutku. "Berhasil dong? Ya kan, apa kataku kalau cewek kayak Re-." "Gagal total," potongku cepat yang langsung ngebuat Fares melipat bibirnya. "Aih, Iqbaal PHP," gerutu Fares kesal. "PHP apaan? Kamu tuh yang PHP, bilangnya bakal berhasil malah yang ada sebaliknya. Aku bukannya putus malah nyaris kehilangan nyawa, tauk nggak?" sergahku kesal. Fares nyengir. "Weh, si Redha tahan banting juga rupanya," puji Fares. "Asem kau! Malah muji, nyaris mati temanmu ini!" kataku keki. Fares hanya menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. "Maaf," kata Fares. "Trus nungguin apa kau dari tadi?" tanya Fares mengalihkan pembivaraan. "Si Redha," jawabku. "Ngapain?" "Lah itu, dia itu dari kemarin kayak menghilang dari aku. Kan k*****t!" desisku. "Kok k*****t? Alhamdulillah, dong," protes Fares. "Hah?!" "Iqbaal oon, ya Tuhan!" pekik Fares alay. "Dih, apaan sih!" "Si Redha ilang kan?" tanya Fares. Aku mengangguk mengiyakan. "Udah 24 jam?" tanya Fares lagi. Aku berpikir bentar. "Iya, kayaknya," jawabku mengiyakan walau agak ragu. "Bagus itu!" kata Fares antusias. "Bagus kenapa?" tanyaku, masih belum paham maksud Fares. "Katanya mau putus, gimana seh Iqbaal rambut kriwil-kriwil kayak kemoceng?" sindir Fares. "Kalau dia ngilang, artinya dia sendiri yang pergi. Tinggal kau tungguin aja dia narik diri trus putus deh!" celoteh Fares lagi. Aku diem, lagi loading. Kayaknya aku mendadak oon. "Jadi, si Redha niat putus dari aku nih makanya ilang?" tanyaku, memastikan dugaanku. Fares mengangguk yakin. "Menurutku 98% gitu, Baal!" jawab Fares. "Lho kok cuma 98%? Trus 2% nya apa, Res?" tanyaku penasaran. Fares memandangku sebentar lalu menepuk pundakku pelan. "Ngambek, minta dibujuk!" jawabnya. "Huh??" "Cewek itu manusia, Baal!" "Lah iya, yang bilang setan siapa?" sergahku sebal. "Ya maksudku, mereka lebih pake perasaan daripada logika, walau kalau marah lebih pake k*******n daripada kelembutan," oceh Fares. "Trus, aku kudu apa?" tanyaku, minta solusi. "Ke kelas Redha sana!" suruh Fares. "Ngapain?" tanyaku bingung. "Minta maaflah!" jawab Fares. "Lah, ngapain? Aku salah apa?" tanyaku, nggak mau gitu aja nurutin apa yang Fares suruh. "Baal, Iqbaal, kemarin kau udah buat dia marah karena pura-pura selingkuh, makanya kau sekarang ke kelasnya buat minta maaf, masih nggak paham juga?" Fares menatapku dengan serius, entah kenapa dia mendadak jadi keren. "Gitu ya?" Fares mengangguk mantap. "Semangat, Baal!" Fares menyemangati. Aku hanya mengangguk pelan. "Yasudah, sana ke Redha!" suruh Fares lagi. "Sekarang?" tanyaku. "Iyalah, masak bulan depan. Keburu jadi mayat dirimu!" jawab Fares yang seketika membuatku langsung berdiri dan berlari ke kelasnya Redha. Sampai di kelasnya Redha, aku bengong. Kulihat pacarku yang mengerikan itu lagi menekuk wajahnya dan tengah mengobrol sama seorang cowok. Kuperhatikan cowok itu, cukup lama dan aku nggak ingat dia siapa atau emang nggak kenal. Aku terus maju, menghampiri Redha sehingga aku sudah berdiri di depan Redha dan cowok itu. Cowok itu menatapku tajam saat mata kami bertemu. Dengan jelas, kuperhatikan cowok yang ternyata lebih tinggi dari aku itu. Dia sebenarnya cukup ganteng, cukup putih, cuma rasanya jadi kayak homo kalau aku mengakui itu. Jadi yang bisa kukatakan adalah cowok itu jelek. "Re," panggilku, sudah beralih pandang dari cowok itu ke Redha. Redha menatapku biasa, nggak ada tanda-tanda dia girang atau gimana. Padahal biasanya dia suka nggak jelas kalau ketemu aku. Melihatnya begitu, aku jadi merasa kayak baru saja dibuang. "Aku minta maaf, Re!" ujarku. Redha hanya memutar bola matanya malas. "Pergi sana!" suruhnya. "Eh?" "Aku malas ngomong sama kamu! Buruan pergi!" suruh Redha lagi. Aku tertunduk lesu. Redha beneran marah. "Re, maaf," kataku lagi. "Dih, komedo banget deh! Membandel, pergi kataku!" suruh Redha lagi. Aku menarik napas panjang. "Yaudah Re, aku," "Ricky, pergi sana!" Aku melongo, mendongakkan kepalaku lagi ngeliat Redha yang lagi ngedorong cowok di depanku buat pergi menjauh darinya. "Aih, Re, jahat ih! Aku kesini kan mau minta balikan!" ketus cowok yang ternyata bernama Ricky itu. "Najis balikan sama kamu, lenyap aja kamu dari muka bumi!" hardik Redha kesal. "Aih, ayang Rere jangan bilang gitu napa, kalau aku lenyap nanti ayang Rere sama siapa?" kata Ricky sok ngerayu. "Dih, malah ngegembel. Pergi sono!" usir Redha. "Re, ayolah. Balikan." Ricky mulai memegang tangan Redha dan hal itu membuat Redha merasa jijik. Mukanya cemberut parah. "Lepas!" "Nggak!" "Lepasin!" "Nggak!" "Dasar sampah!" maki Redha. "Daur ulang!" balas Ricky. "Cih, limbah pabrik!" maki Redha lagi. "Difilter aja biar nggak ngerusak alam," sanggah Ricky lagi. Kayaknya dia lumayan pinter, dari tadi bisa membalas ucapan Redha. Heh? Wait! Redha itu pacarku kan? Trus si Ricky tadi bilang apa? Balikan? Jadi dia mantannya Redha?!!! Aku terpaku diam dengan mata yang terbuka lebar, walau nggak selebar pupil mata Ricky. Spontan kedua kakinya membentuk huruf X lalu ia mulai merintih seiring rasa sakit yang mulai menjalar dari 'anu'-nya yang tersavage Redha. Pasti nyeri. "Cih, b*****h!" umpat Redha lalu menoleh ke arahku yang membeku di tempatku. "Ho, Iqbaal!" katanya seolah dia baru saja melihat wujudku. Jadi dari tadi dia hanya menganggapku manusia transparan. "Ngapain di sini, Baal?" tanyanya. "Lewat," jawabku cepat. "Oh, nyasar ya. Sini kubantu pulang!" kata Redha lalu menarik tanganku dengan enteng. Redha mulai berjalan diikuti aku di belakangnya. Tangan kami masih gandengan. Di perempatan yang kalau belok kanan akan membawaku ke kelasku, Redha melepas genggaman tangannya. "Tuh, tinggal lurus saja, ada tangga naik dua lantai. Tiba di kelasmu deh!" katanya ngasih tahu petunjuk ke kelasku seolah aku beneran anak ayam yang ilang karena nyasar dan nggak tahu arah jalan pulang walau nggak terluka dalam. "Re," panggilku. "Ya?" "Kok nggak nelpon aku?" tanyaku, entah kenapa tiba-tiba nanya gitu. Padahal aslinya bersyukur gila dia nggak nelpon aku. "Pulsaku habis," jawabnya. "Nggak bisa beli?" kutanya lagi. "Bisa, cuma habis itu chargerku yang rusak. Pas mau beli charger yang baru, uangku nggak cukup. Soalnya keburu kubeliin sate," jelasnya. "Oh gitu, kok nggak ke rumah?" tanyaku lagi. "Tadi si Ricky ke rumah, jadi harus kabur dan berangkat duluan deh ke sekolah," jawab Redha santai. "Oh," kataku ngangguk-ngangguk. "Kenapa?" tanya Redha. "Nggak apa-apa, aku pikir kamu marah," jawabku. "Marah? Kenapa?" tanyanya balik tanya. "Soal kemarin itu," kataku ragu-ragu, takut dia ingat trus malah ngamuk. "Oh," katanya biasanya aja. "Kamu marah Re?" kutanya lagi. "Nggak, Baal!" jawabnya. "Jadi kita nggak putus?" entah kenapa malah nanya gitu. Redha diam, menautkan alisnya lalu menyeringai pelan. "Kalau kamu mau mati, nggak apa-apa kita putus," jawabnya sambil senyum. Tiba-tiba aku keringat dingin. Hawa membunuhnya sangat luar biasa sehingga bulu kudukku merinding parah. "Gimana? Mau putus, Baal?" tantangnya. Aku segera menggeleng cepat. "Nggak, Re," jawabku. Redha tersenyum senang. "Bagus, sekarang kembali ke kelas dan duduk manis. Mengerti?" suruhnya. Aku mengangguk. Redha senyum lagi lalu mengisyaratkan aku agar sedikit merendahkan tubuhku. Aku menurut dan dia segera mendaratkan tangannya di kepalaku lalu mengusap-usapnya. "Goodboy," pujinya. Setelah itu dia berbalik pergi dan aku hanya mengamati seolah aku peliharaan yang lagi sedih karena majikannya bepergian. Hah? Peliharaan. Aku menampar pipiku dengan kedua tanganku sendiri. Sadar, Baal. Kamu itu manusia, manusia, manusia, manusia? Aih. Hiks
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN