9

1412 Kata
Aku duduk selonjoran dengan punggung tersandar di kasurku. Aku sudah makan dan menyiapkan minuman serta cemilan di meja dekat kasurku. Sebuah headset sudah bertahta indah di kedua telingaku dengan power bank yang sudah full juga sudah berada di pangkuanku, sudah siap digunakan jika baterai ponselku habis. Aku melirik jam dinding yang bertengker indah di dinding depan kasurku. Jam sudah menunjukkan pukul 18.59 wib. "Bentar lagi," gumamku penuh semangat. Malam ini adalah malam minggu, hari sabtu. Jadi, ini adalah paling bersejarah karena besok adalah hari minggu, dimana sekolah libur dan aku bisa main mobile legend sampai jam dua pagi tanpa harus dimarahin mama. Sama kayak orangtua lainnya yang nggak mau anaknya kecanduan game, nilai merosot kayak plosotan atau menghabiskan waktu tanpa pernah memahami betapa pentingnya pelajaran, mamaku termasuk orangtua yang begitu. Tapi khusus hari sabtu, aku bebas daris emua kewajiban seperti belajar, mengerjakan tugas dan lain-lain. Jadi ini adalah waktunya aku untuk melakukan apa yang kusuka. Mama bukan orang tua yang mengharuskan anaknya pintar. Nggak sama sekali. Satu-satunya alasan aku ikut tes masuk unggulan dan keterima sehingga masuk ipa-1 adalah karena unggulan bebas biayaa SPP. Dengan begitu, mama bisa hemat sedikit. Uang yang harusnya bayar SPP bisa buat bayar listrik, TV kabel atau lainnya. Wait, papaku masih hidup. Aku belum jadi jatim piatu, apalagi jatim bank. Belum. Papa termasuk papa yang serba santai kecuali saat mengetahui kalau pas kelas X ada sistem degradasi di akhir semester dua. Jadi degradasi itu semacam tangga buat anak reguler yang mau jadi unggulan atau neraka bagi anak unggulan dengan nilai lima terbawah dimana mereka harus di tes lagi dengan para pesaing untuk bertahan di unggulan. Untungnya, aku nggak harus ikut degradasi karena peringkatku yang aman dari lima terbawah. Walau begitu, tahun lalu 10 temanku kena dan delapan di antara mereka tersingkir. Aku mengenal cukup baik ke delapan temanku dan ikut berduka saat mereka diberitahu akan turun pangkat ke reguler. Banyak yang nangis karena semuanya perempuan. Namun aku hanya bisa berkaca-kaca, aku cowok jadi menangis karena itu rasanya terlalu memalukan. Untunglah, tahun ini nggak ada degradasi karena aku sudah kelas XI. Aku baru saja mau menyerang ketika sebuah panggilan masuk ngebuat aku berhenti. Itu dari Redha, pacarku. "Halo?" suara seberang sana terdengar beberapa saat setelah aku menekan tombol hijau. "Iya, Re!" sahutku mencoba ramah walau sebenarnya keganggu banget karena dia nelpon di saat yang nggak tepat. "Baal, lagi main game ya?" tanyanya.   Aku terdiam bentar lalu celingak-celinguk memastikan dia nggak ada di kamar. Sungguh mengherankan dia bisa tahu. "Maunya sih tapi nggak jadi, kenapa?" tanyaku. "Redha sendirian nih!" jawabnya rada manja. Agak ngeri dia bernada begitu. "Ooh," sahutku malas. "Yang lain kemana?" tanyaku sok peduli padahal bodo amatlah. "Ayah dan ibu ke rumah nenek, Dani sedang kencan," jawab Redha detail. "Dani kencan? Dia punya pacar?" tanyaku, heran, baru kelas X udah pacaran dan bahkan kencan. "Iya," jawab Redha sembari menghela napas. "Kamu nggak mau ngajak aku kencan, Baal?" Mati. "Nggak ada uang, Re!" klise, alasan konyol bahkan. Aku mengutuk diriku sendiri karena alasan yang kuberikan udah kayak alasan cowok kere. "Aku kan nggak minta dibeliin, Baal. Cuma pengen diajak jalan," Redha terdengar kesal. "Yah, tapi masak jalan tapi anak orang nggak dikasih makan dan minum," sanggahku, berusaha bersikap rasional. "Iqbaal ih!" jengkel, nada suara Redha terdengar begitu bahkan ia juga menggertakkan giginya. "Lah, salah Re?" tanyaku bingung. "Salahlah!" jawabnya cepat. "Salahnya dimana?" tanyaku lagi. "Yang peliharaan kan kamu, Baal. Ya akulah yang harus kasih makan," sahutnya santai yang langsung ngebuat aku pengen banget nampol dia secara tidak langsung dan diam-diam. Nggak berani kalau langsung atau beneran, terlebih dia cewek. "Dimana-mana, cowok yang ngasih makan cewek, Re!" kataku pelan. "Iyah nanti, kalau Iqbaal udah banyak uang," sahutnya dengan napas pelan. "Iyadah, ngomong-ngomong Gan kemana?" tanyaku, baru ingat kalau Redha punya dua adik. "Gan nginep rumah nenek," sahut Redha. "Itu beneran namanya gitu?" tanyaku, kurang percaya aja namanya satu kata. "Iya," kata Redha mengiyakan. "Emang nama panjangnya siapa?" tanyaku, penasaran. "Ganteng Ramadhansyah," jawab Redha yang langsung ngebuat aku kehilangan kesadaran seperempat detik. "Beneran?" tanyaku nggak percaya. "Iya, kenapa?" "Nggak apa-apa," sahutku. "Oh," Hening. Tiga detik. "Oh iya, ngapain nelpon Re?" tanyaku. "Mau gangguin Iqbaal, haha!" jawab Redha yang langsung ngebuat aku BT. "Kangen aku, Baal!" tambahnya yang langsung ngebuat pipiku merona, GR. "Kangeen nyiksa," sambungnya lalu ngakak. Aku hanya berwajah datar. Pengen ngumpat tapi nggak berani. Hening lagi, nggak ada percakapan yang terjadi. "Re," panggilku. "Apa?" sahutnya. "Nggak ada topik," kataku. Redha terdengar menghembuskan napas pelan. "Iya," singkat ia menjawabku. "Nyanyi dong!" suruhnya tiba-tiba. "Nya...nyi," kataku sambil bernada. "Bah, Iqbaal ngelawak, haha." Redha cekikikan. "Lah, kan bener, Re!" kataku rada BT. "Iya dah, iya," katanya malas berdebat. "Nyanyi balonku Baal tapi pake huruf U semua," suruh Redha lagi. "Oke," kataku. "Uuu uu uu, uuuu uuu uu uu uuu uu uu u uu, uuu uu uu u... Uuu uu uu, uuu uu uu uuu uuuu," kataku nyanyi balonku sambil mengap-mengap karena harus pake huruf U semua. Bener-bener deh si Redha konslet. "Hahahahahahahha." Redha ngakak. Daritadi kudengar dia nggak berhenti-henti ketawa sejak aku nyanyi. Emang ada yang lucu? Aneh emang dia. "Baal, Iqbaal somplak," gerutu Redha yang langsung ngebuat aku ngeflat. "Udah Re, jangan ngakak mulu ntar kesambet," sindirku. "Tenang, Baal!" katanya. "Setan mah takut sama aku," imbuhnya. Aku diem. Setelah kupikir iya juga, si Redha kan serem. Setan aja takut  apalagi aku. Tapi tiap manusia pasti punya kelemahan kan? Dan aku masih nyari, kelemahan Redha itu apaan. Eh, Redha manusia? "Baal!" Aku terperanjat kaget. "Ya?" kataku setelah cukup lama mengumpulkan kesadaran yang mendadak minggat. "Kok diem?" tanyanya. "Nggak apa-apa," jawabku. "Besok minggu, Baal!" kata si Redha. "Iya, besoknya Senin," sambungku. "Iya, trus Selasa." "Rabu." "Kamis." "Jumat, Sabtu, Minggu.” "Itu nama-nama hari," kata Redha mendadak nyanyi. Aku tersenyum geli. "Bisa aja," pujiku. "Bisa, dong. Namanya juga Redha ismatul Khairany," katanya rada songong. "Oh iya, Re. Boleh kutanya?" katanya agak segan. "Boleh, Baal. Nanya apa?" tanyanya. "Cowok yang kemarin kamu usir, itu siapa?" tanyaku rada takut Redha kesinggung. "Oh, sampah," jawabnya rada jutek. "Sampah?" alisku tertaut. Bingung. "Iya, mantan yang terbuang disebut sampah. Nah sampah yang nggak bisa didaur ulang namanya nggak guna," cerocos Redha, entah kenapa ada rasa emosi dicaranya bicara. "Segitunya Re?" tanyaku walau nggak paham yang kumaksud apa. "Huum, cowok tukang selingkuh, udah kayak muntahan gorilla," makinya lagi. Beneran emosi. "Kok bisa? Padahal kamu kan se-," aku langsung nutup mulut. "Hah? Se- apa Baal?" tanya Redha penasaran. Aku memukul-mukul mulutku pelan. Nyaris keceplosan bilang dia serem. Bisa digantung aku kalau sampai aku bilang gitu sama dia. Nyaris. Nyaris aja aku kehilangan kepala. "Aku apa, Baal?" desak Redha. "Semanis gula, Re!" jawabku spontan. "Bah, Iqbaalku alay!" pekik Redha yang langsung ngakak setelahnya. Iqbaalku katanya? "Aku nggak alay, Re!" desisku. "Iya dah makasih, Iqbaal juga ganteng, kok!" katanya balas memuji. "Makasih, Re." kataku. "Iya, sama-sama. Meski gantengan Iqbaal Ramadhan sih," katanya cekikikan. Baperku pergi. Ya, kalau dibandingin sama Iqbaal itu, aku nggak akan menang walau cuma selipatan b****g. "Tapi meski Iqbaal itu naksir aku, aku nggak bakalan mau, Baal!" katanya. "Kenapa, Re?" tanyaku penasaran. "Hm." Redha terdengar ragu buat ngejawab. "Karena dia aktor yang banyak fansnya?" tebakku. "Nggak," sanggah Redha. "Karena dia terlalu ganteng?" tebakku lagi. "Nggak juga," kata Redha. "Terus kenapa?" tanyaku penasaran akut. "Soalnya nggak bisa senurut kamu, Baal. Susah kalau harus ngelatih poochy baru," jawab Redha yang langsung ngebuat aku meradang. "Kampretlah," dengusku kesal. "Hah?" "Eh, anu," Tut.. Tut.. Tut .. Handphone milikku low bat. "Asyik....." pekikku girang. Aku cium-cium handphoneku. "Handphone pinter!" pujiku sambil ngelus-ngelus handphoneku. Aku pun menghempaskan tubuhku ke kasur. Lega, akhirnya bisa ngumpat si cewek mengerikan itu. "Baal, Iqbaal!" seru mamaku. Aku pun segera beranjak dari kasur, menuju mama. "Ya, Ma?" sahutku sambil keluar menuju mama. "Nih, ada temannya nelpon!" kata mama sambil ngasih ponselnya. "Siapa?" tanyaku heran. "Siapa dah, cewek!" kata mama. Aku menautkan alisku. Setahuku teman sekelasku nggak ada yang tahu nomer mamaku. Satu-satunya yang tahu cuma Fahmi dan Farid. "Nih, cepetan!" kata mama karena aku nggak segera ngambil ponselnya. Aku pun segera ngambil ponsel yang mama sodorkan. "Halo?" "Heh, Iqbaal push-up 1000 kali! Kalau nggak aku datengin rumahmu trus kubakar!" katanya lalu telpon diakhiri. "Siapa, Baal?" kata mama karena aku hanya menganga sesaat setelah ponsel mama kutaruh di telinga. "Bukan siapa-siapa, Ma!" kataku lalu ngasih ponsel mama. Aku segera pergi ke kamar lalu mulai push- up. Sepertinya malam mingguku bukan ngegame sampai subuh tapi bakalan gempor karena push-up 1000 kali. Tuhan, itu si Redha serem amat. Ampuni dosa hamba dan tolong hamba dari pacar yang terl*ckn*t. Disensor takut Redha denger. Hiks.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN