Senin ini badanku masih pegal dan linu di beberapa bagian. Sudah nyaris menyamai orang yang kena asam urat saja. Ini semua karen Redh. Dua hari yang lalu dia menyuruhku untuk push up 1000 kali. Alhasil aku yang jarang push up ini tepar bahkan mati rasa karena ulah cewek mengerikan itu. Aku selalu s**l setiap kali ada dia, adku harap hari ini aku nggak ketemu dia.
“Baal.”
Panggilan itu membuatku yang lagi berdoa merasa terganggu. Aku menoleh pada Fares yang langsung menunjuk ke pintu kelas. Di sana cewek mengerikan itu sudah berdiri sambil melambaikan tangan.
Oke, aku rasa Tuhan masih belum menggolongkan aku sebagai orang yang teraniaya sehingga doaku mental.
Redha pun berjalan mendekat, masuk ke kelasku tanpa sungkan dan dalam sekejap sudah berdiri di depanku.
"Baal," sapanya lagi dengan senyuman lebar.
"Ya?" sahutku.
"Kantin, yuk!" ajaknya.
Aku menggeleng cepat.
"Sorry, Re, aku belum ngerjain tugas, jadi nggak ke kantin!" jawabku.
Redha menautkan alisnya.
"Masak unggulan nggak ngerjain tugas?" tanyanya nggak percaya.
"Iya, beneran! Nih, aku lagi mau nyontek sama Farid," kataku mencoba meyakinkannya.
"Bener?" tanya Redha pada Farid.
Farid yang ditanya hanya menatapku dan aku harus mengirim sinyal mata diam-diam ke arahnya. Kode biar dia mau kerjasama.
"Kagak," kata Farid tanpa mikir dulu. Entah dia itu kelewat pintar atau justru oon tapi samar.
Aku ngeflat. Sepertinya si Farid harus belajar ilmu peka atau setidaknya bahasa isyarat. Entah bagaimana bisa cowok setidak peka dirinya bisa taken. Aku rasa pacarnya itu sudah nggak waras karena mau pacaran sama dia atau memang mereka itu pasangan yang sama-sama nggak waras. Ah, udahlah.
"Ih Iqbaal, bohong ih!" rajuk Redha dengan nada manja.
Aku yang melihatnya bertingkah sok imut gitu, beneran, merasa mual dan pengen muntah. Tapi nggak mungkin aku gitu, bisa-bisa Redha meninjuku sehingga sarapanku tadi pagi keluar semua. Ngeri! Terlebih, dia lagi PMS. So danger!
"Baal, ayo ke kantin! Kantin! Kantin!" rengek Redha.
"Iya, iya," sahutku pasrah lalu bangun dari dudukku.
"Yeay," soraknya girang.
Kami berdua pun jalan ke kantin bareng. Selama perjalanan menuju kantin hari ini, Redha nggak megang tanganku sama sekali. Aku juga nggak berharap, cuma jadi ngerasa dia agak beda. Meski penasaran, aku nggak mau bertanya. Nanti dia salah paham dan lagi-lagi aku yang kena kalau dia marah. Tobat aku kepo sama dia. Ngeri!
Kami tiba di kantin dan Redha langsung duduk manis sementara aku pergi memesan. Udah biasa sih kayak gini, jadi aku nggak marah. Setelah lama antre, aku balik lagi ke dia.
"Nih!" kataku sambil meletakkan mie ayam di depannya.
"Redha nggak mau, Baal!" kata Redha sambil memasang wajah cemberut.
"Huh?" seruku heran. Sedikit kesal juga sih.
"Redha lagi diet sekarang, cuma mau minum aja!" kata si Redha ngasih alasan.
"Trus mie ayamnya gimana nih?" tanyaku.
"Makan Iqbaal aja," jawab Redha.
"Beneran?" tanyaku.
Redha mengangguk.
"Yaudah, aku beliin minum dulu. Redha mau apa?" tanyaku.
"Air putih aja, Baal," jawab Redha.
"Yakin?" tanyaku memastikan.
Redha mengangguk yakin.
Aku pun pergi membelikan minuman untuk Redha. Setelah itu, aku kembali duduk di samping Redha. Redha mengucapkan terimakasih saat aku memberinya sebotol air mineral. Bahkan sudah kubuka tutupnya lalu memasangnya agar dia mudah kalau mau minum. Gini-gini, aku termasuk cowok perhatian. Walau dikit banget yang sadar aku gitu.
Aku pun duduk, mengambil garpu dan sendok lalu mulai mengaduk-aduk mie ayam yang sudah kuberi saos, kecap dan sambal. Taburan ayam dan juga potongan sawi di mie ayam itu sungguh menggoda. Aku mengambil sesuap lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Aku kunyah perlahan, bahkan kuseruput agar sensasi makan mie ayamnya kerasa. Terakhir aku menelan mie itu dan tak lupa menyendok beberapa sendok kuahnya. Nikmat!
Sumpah enak banget.
Aku mendongakkan kepalaku, ngecek keadaan Redha. Kulihat pacarku yang mengerikan itu tengah melihatku sambil menelan ludah. Dia memasang wajah yang sungguh seperti ingin mengunyah mie ayam yang sedang kumakan.
"Mau, Re?" tanyaku.
Redha nggak menjawab, matanya nggak bisa lepas dari mie ayamku.
"Mau nyicip?" tawarku.
Redha menelan ludah sekali lagi.
"Takut gendut," katanya dengan bimbang.
"Cuma sesuap nggak akan gendut," bujukku.
Redha terlihat bimbang.
"Nih, makan aja," kataku sambil memberikan garpuku padanya.
“Ayam bikin gemuk, Baal,” katanya.
“Trus?”
“Iqbaal makan duluan ayam dan sawinya, nanti aku nyicip mienya!” kata Redha.
“Nyicip sesuap aja dulu, Re,” bujukku.
Redha mengembungkan kedua pipinya.
“Iya, iya!”
Aku mengalah. Aku dengan hati-hati memakan ayam dan sawi yang ada di mie ayam itu sampai nggak ada yang tersisa. Setelah itu, aku sodorkan ke Redha mangkok dan garpunya.
“Nih, ayam dan sawinya udah nggak ada. Coba cicipi,” suruhku sambil memberikan garpu padanya.
Redha mengagguk lalu mengambil garpu yang aku sodorkan.
"Satu suapan aja deh!" katanya lalu mulai mengambil mie dengan garpu.
"Hup."
Dia memakan mie yang baru ke mulutny itu dengan mata yang terlihat makin lebar. Sepertinya dia baru saja merasakan bertapa nikmatny mie ayam itu.
"Baal!!" pekiknya tiba-tiba.
"Apa?"
"Enak banget!!!" katanya sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Emang,"
Redha pun mulai menyeruput mienya, sekali, dua kali lalu mulai menggeser mangkok mienya lebih dekat bahkan nyaris dia dekap. Redha mulai memakan mie ayam itu. Bukan sesuap, semuanya.
Ini namanya bukan nyicip, ngabisin.
"Ah, kenyang," desahnya penuh kenikmatan.
Aku hanya diam, pengen negur tapi percuma. Mie ayamnya sudah terlanjur masuk lambung tidak akan bisa dikeluarkan lagi. Lagipula meski bisa dikeluarkan, jijik juga kalau harus memakannya lagi. Aku belum kena bulimia, Redha juga. Jadi makanan yang sudah dimakan, tidak bisa dikembalikan lagi. Cuma dikeluarkan lewat proses sekresi.
Redha mengelap mulutnya setelah meminum kuah mie ayam terakhirnya. Dia tiba-tiba tersadar dan memalingkan wajahnya ke arahku dengan marah.
"Baal, Redha makan semua nih," katanya.
"Ya, nggak apa-apa, Re," sahutku.
"Idih, jahat," katanya lalu memukul lenganku.
"Aduh, sakit Re! Jahat apanya?" tanyaku bingung.
"Gimana nih? Kalau Redha tambah gendut gimana?" katanya sambil manyun.
"Makan mie ayam semangkok nggak akan bikin gendut, Re," hiburku.
"Nggak mau tahu, Iqbaal harus tanggungjawab," putusnya.
"Huh? Tanggungjawab apaan?"
"Pulang sekolah Iqbaal harus nemenin Redha lari lapangan basket."
"Huh?"
"Udah, gitu aja. Jangan kabur, awas!" ancam Redha lalu pergi.
Aku hanya menghela napas, memandang mangkok mie ayamku yang sudah kosong. Dan lagi, itu beli mie ayam pake uangku. Tragisnya, aku bahkan belum minum.
Pulang sekolah, Redha langsung menemuiku. Dia bener-bener serius ngajakin lari di bawah sinar matahari yang begitu terik. Sepertinya dia lebih takut gendut dibanding hitam. Padahal, kebanyakan cewek lebih takut hitam dibanding gendut. Contohnya si Anis, teman sekelasku yang bakal nangis kalau tangannya lebih putih dari wajahnya.
"Berapa putaran dah?" tanya Redha saat kami sudah berlari kecil mengelilingi lapangan basket bersama.
"Baru dua, Re," jawabku.
"Oh, kurang 13 lagi," gumamnya.
"Hah? Banyak amat, Re?" protesku.
"Lah, kalori semangkok mie ayam itu sebanding dengan kehilangan kalori kalau lari 15 putaran, Baal," kata Redha.
"Ck," decakku kesal.
"Emang kau pikir kalori mie ayam setara sama tiga gelas s**u?" sindir Redha.
Aku hanya diam. Malas berdebat dengannya.
Kami terus berlari dan di putaran ke-7 aku sudah lelah. Langkahku terasa makin lelah dan napas sudah ngos-ngosan. Aku menyerah. Duduk terkapar di lapangan. Bodo amat meski panas.
"Baal, berdiri dong! Kurang 8!"
"Capek aku, Re."
"Capeknya ntar ilang, kok! Kalau berhenti nanti tubuhmu makin capek, Baal."
"Lagian yang makan kan kamu, kok aku juga harus ikutan lari?" tanyaku heran.
"Cinta kan butuh pengorbanan, masak kau tega biarin aku lari sendirian?" tanya Redha.
Aku hanya mengambil napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan.
Pengorbanan apaan, kamu aja makan mie ayam sendirian. Bilang sesuap malah aku yang makan sesuap. Kesel.
"Baal," panggil Redha yang ngebuat aku tersentak.
"Apa?"
"Nggak ada orang nih!" katanya sambil celingak-celinguk mengamati sekolah yang memang sudah sepi.
"Iya, udah pulang semua!" kataku.
"Baal,"
"Ho?"
"Bikin moment so sweet, yuk!" usulnya.
"Huh?"
"Kayak gimana maksudnya?" tanyaku tidak mengerti.
Tiba-tiba Redha berjongkok hingga wajahnya sejajar sama wajahku. Dia tersenyum lalu mulai bergerak mendekat padaku.
Redha mendekatkan wajahnya, makin dekat hingga jarak wajahnya dan wajahku kini hanya sebatas bola pingpong. Aku menelan ludah, menatap mata bulatnya yang menatapku dengan tajam. Ia tersenyum, menikmati waktu yang terus berlalu dengan pose seperti ini. Aku sangat gugup, debaran jantungku bahkan bisa didengar dengan jelas. Ia mendekat, lagi dan lagi sehingga membuatku semakin berkeringat dingin.
Apa yang harus aku lakukan?
"Re."
"Hm?"
"Aku masih polos."
Redha menautkan alisnya.
"Huh?"
"Mukamu kedeketan," kataku lalu mendorong tubuhnya menjauh dengan kedua tanganku.
Redha mendecih pelan.
"Dih Iqbaal, gagal deh moment romantisnya," katanya lalu manyun.
"Nggak usah gituan, Re!" kataku lalu duduk lemas, kayak baru selamat dari maut.
"Gituan? Emang kamu pikir aku mau ngapain?" tanya Redha heran.
"Masak aku bilangin? Malu," sanggahku.
"Huh?" Redha menautkan alisnya.
"Oh, kamu pikir aku mau menciummu, Baal?" tanyanya dengan wajah polos.
Aku mengangguk pelan.
"Iya, emang nggak?" tanyaku bingung.
"Nggak," katanya.
"Trus ngapain deketin wajahmu ke wajahku?" tanyaku.
Redha menyeringai.
"Tadinya mau jedokin kepalaku ke kepala Iqbaal, tapi Iqbaalnya malah mikir yang nggak-nggak. Polosnya Iqbaal," kata Redha sedikit menyindir.
"Aku emang polos tauk! Semua orang yang di situasi kayak tadi pasti mikirnya gitu," elakku.
Redha kembali berdiri.
"Iqbaal Viktor!" katanya.
"Huh?"
"Vikiran kotor, haha," kata Redha lalu ngakak.
"Aih, nggak!! Aku polos!" bantahku.
"Dih, tadi itu mikir yang nggak-nggak!"
"Kamu sih nggak jelas gitu, makanya aku gitu!"
"Gitu, gitu, gitu gimana? Haha." Redha terus mengejekku, membuatku sebal.
"Tauk ah! Aku pulang!" aku bangun dari dudukku lalu berjalan sambil mendengus kesal.
Redha menyusulku, menggandeng tanganku lalu mendaratkan ciuman di pipiku dalam sekejap membuatku hanya menoleh kepadanya dengan ekspresi kaget yang pasti jelek banget.
"Redha sayang Iqbaal," katanya dan entah kenapa kali ini aku hanya mengiyakan.
"Iya, tahu!"
"Haha."
"Udah jangan ketawa!"
"Haha."
"Aih dibilangin jangan ketawa juga!"
"Redha sayang Iqbaal!!" teriaknya lagi.
"Diam aku bilang!"
"Diam!"
"Nggak usah ngomong!"
"Oke."
"Huft."
"Haha."
Aku pandangi langit di atasku dan bayangan Redha tergambar samar padahal dia sekarang berada sampingku.
Oke. Sepertinya aku mulai gila karenanya.