Entah pukul berapa, aku terbangun saat mendengar suara dering ponsel milikku. Aku masih mengantuk karena baru tidur sekitar jam 11 malam karena belajar geografi untuk ulangan besok. Dengan posisi masih telungkup, kusapu tanganku kesana-kemari mencari ponselku dan menemukannya di antara dua kakiku. Dengan kesadaran yang belum kembali sepenuhnya, kutenggerkan ponselku ke telingaku.
"Halo? Selamat malam, ini Iqbaal ada yang perlu dibanting?" ocehku.
"Hihi," terdengar suara cekikikan yang sontak membuatku membuka kelopak mataku.
Itu suara Redha bukan mbak kunti. Walau rada mirip tapi lebih ngeri kalau Redha yang ketawa. Entah kenapa, mungkin karena aku belum denger suara mbak kunti secara langsung, cuma tahu tiruannya dari acara tv. Tapi aku nggak ngarep ketemu juga sih. Bahaya. Walau lebih bahaya ketemu Redha yang lagi PMS.
"Baal," panggilnya membuat lamunanku buyar.
"Redha nih?" tanyaku ragu-ragu walau sebenarnya sangat yakin itu dia.
"Iyalah, emang dikira siapa?" tanyanya heran.
"Nggak apa-apa, tumben aja nelpon jam segini." kataku beralasan.
Redha cekikikan lagi setelah mendengar apa yang aku katakan, padahal menurutku kata-kataku barusan nggak ada yang lucu sama sekali.
"Iqbaal, udah tidur ya?" tanyanya dengan nada bicara polos tanpa dosa.
Aku bangun dari tidurku, duduk tegak lalu melirik jam dinding di kamarku. Jam 02.00 wib. Dia gila? Jelas ajalah aku udah tidur.
"Iya, tapi bangun pas Redha nelpon!" jawabku jujur.
"Oh." Ada jeda sebentar. "Maaf ya," kata Redha merasa nggak enak.
"Nggak apa-apa, Re!" kataku.
"Beneran?" tanya Redha memastikan.
"Iya, beneran. Btw ada apa Re nelpon malam-malam gini?" tanyaku penasaran.
"Redha nggak bisa tidur, Baal!" jawabnya dengan nada yang entah kenapa terkesan malu-malu.
Redha malu-malu? Nggak mungkin! Cewek mengerikan itu nggak akan gitu. Ini pasti khayalanku.
"Coba baca buku, Re biar ngantuk," saranku.
"Udah, Baal tapi malah makin nggak bisa tidur," rajuknya manja.
"Emang baca buku apa?" tanyaku lalu menyandarkan diriku ke sandaran kasur, mencari posisi terbaik untuk bisa mengobrol sama Redha. Kayaknya obrolan kami bakal panjang.
"Buku novel, hehe." jawabnya sambil tertawa ringan.
"Yaelah, malah baca gituan. Baca buku pelajaran dijamin ampuh buat ngantuk, Re!" kataku menasehati.
"Buku pelajaranku nggak ada, Baal," sahutnya.
"Emang kemana?" tanyaku heran.
"Di kolong meja, males yang mau bawa pulang," jawabnya yang langsung ngebuat aku memasang wajah datar.
"Trus kalau ulangan gimana, Re?" tanyaku.
"Ya nggak gimana-gimana," sahutnya santai.
"Nggak belajar?" tanyaku lagi.
"Nggak, ngapain belajar Baal nggak akan ngebuat aku dapat nilai tinggi!" jawabnya.
"Huh?" seruku heran yang kemudian disambut tawa cekikikan oleh Redha. Sepertinya dia memang tipe cewek yang masa bodoh sama nilai. Beda banget sama kelasku yang harus bersaing nilai agar nggak tergeser dari unggulan.
"Baal," panggilnya yang ngebuat aku fokus lagi sama Redha.
"Apa, Re?" tanyaku.
"Aku sayang Iqbaal," jawabnya yang seketika membuatku melebarkan pupil mataku.
"Kok suka bilang gitu sekarang, Re? Aku jadi nggak nyaman," kataku.
"Kenapa? Kan kita pacaran," sahutnya santai.
"Iya sih, cuma ya, kita pacarannya kan bukan karena saling sayang," gumamku.
"Lho? Trus Iqbaal nembak Redha duluan kenapa kalau nggak sayang?" tanyanya yang langsung membuatku memukul mulutku yang suka nggak kekontrol kalau ngomong.
"Ah, itu," kataku kelagapan.
Mati. Besok aku pasti dikubur di bawah beton.
"Ah, Iqbaal," pekiknya tiba-tiba.
"Redha tahu, Iqbaal pasti jatuh cinta pada pandangan pertama sama Redha ya?" tebaknya kepedean.
"Hm," gumamku.
"Kalau bukan itu, aku akan membunuhmu, Baal." katanya dengan dingin.
"Iya, gitu Re," sahutku cepat.
"Ih, so sweet," soraknya girang.
Maksa amat dah ni cewek.
"Baal, sebelum sama Redha pacaran sama siapa?" tanyanya yang mendadak jadi serius.
"Nggak ada, Re," jawabku.
"Wah, Redha yang pertama, dong?" soraknya girang.
"Iya," sahutku singkat. "Kalau Redha sebelum sama aku pacaran sama siapa?" tanyaku.
Redha nggak ngejawab, yang bisa aku dengar cuma suara napasnya saja.
"Re? Nggak mau jawab ya? Yaudah nggak apa-apa," kataku mencoba untuk tidak memaksa.
"Bukan gitu, Baal," elaknya.
"Trus kok nggak dijawab?" tanyaku heran.
"Kebanyakan, Redha lupa," jawabnya terlalu jujur.
"Kebanyakan? Emang Redha udah pacaran berapa kali?" tanyaku penasaran.
"Dua puluh enam kali, Baal," jawabnya pelan.
"Huh? Dua puluh enam?" tanyaku memastikan pendengaranku.
"Iya, Baal!" kata Redha pelan seolah takut kalau aku akan mengejeknya.
"Emang kenapa kok putus, Re?" tanyaku heran.
"Macem-macem alasannya, Baal," jawab Redha.
"Apa aja?" tanyaku pengen tahu.
"Diselingkuhi, bosen, pelit, nggak suka lagi atau alasan lain yang aku sendiri lupa kok bisa putus, Baal!" jawabnya tanpa rasa malu.
"Diselingkuhi?" tanyaku sedikit nggak percaya kalau ada cowok yang berani selingkuh dari cewek mengerikan macam Redha.
"Iya, contohnya cowok gembel limbah itu yang ngajak aku balikan depan kelas," sungutnya emosi.
Aku diam, loading bentar buat mengingat siapa yang Redha maksud.
"Ah, Ricky," tebakku.
"Ho'oh," jawab Redha sambil mendesah.
"Makanya Baal setelah dia, aku nggak mau pacaran lagi rencananya," cerita Redha.
"Lho? Kok nerima aku kalau gitu?" tanyaku penasaran.
"Kasihan Baal, mukamu kayak wajah Banasku," jawabnya.
"Banas?" Otakku auto mengingat siapa si Banas yang Redha maksud. "Anjingmu itu?"
"Yuhu," jawab Redha yang seketika membuatku meradang.
Wajahku disamakin sama anjing. Dia waras? Perasaan aku ini ganteng pake banget.
"Tapi ya, Redha sayang Iqbaal," katanya menimpali.
"Kok bisa?" tanyaku.
"Ya bisa, Iqbaal aja nggak pernah ketemu Redha langsung nembak, ajaib kan?" katanya penuh semangat.
Bukan ajaib Re, aku kalah taruhan makanya nembak kamu yang kebetulan lewat.
"Iqbaal setia kan?" tanyanya serius.
"Menurutmu?" tanyaku balik.
"Setialah, soalnya kalau nggak, aku udah belajar 1001 cara ngebunuh pacar yang selingkuh!" jawabnya lalu ketawa ala mbak kunti lagi.
Sumpah, sepertinya aku salah pilih pacar.
"Tapi ya Baal, Redha setia lho!" katanya promo diri sendiri.
"Iya, percaya!" sahutku.
"Hehe, Iqbaal dabes," pujinya.
Aku mengernyitkan kening.
"Dabes?" tanyaku bingung. "Bahasa mana tuh, Re?"
"The best, Baal! Dibaca lurus-lurusan jadi dabes," jelasnya.
"Emang ada Re?" tanyaku heran.
"Ada, dong! Kan anak IPS gitu, keren!" pujinya pada diri sendiri.
"Iya dah," kataku sekenanya.
"Baal."
"Hm?"
"Iqbaal sayang Redha?" tanyanya.
"Kenapa emang?" tanyaku balik.
"Pengen tahu," jawabnya.
"Buat apa?" tanyaku lagi.
"Buat siap-siap daftarin Iqbaal santet online kalau Iqbaal jawab nggak," katanya lalu terkekeh.
Sumpah, dia nyeremin.
"Jadi?" tanya Redha lagi.
"Iya, Iqbaal juga," jawabku
"Juga apa?"
"Maunya apa?"
"Sayang Redha juga."
"Yaudah."
"Yaudah apa?"
"Gitu pokoknya."
"Dih," dengusnya kesal.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nggak apa-apa," jawabnya dengan nada ketus.
"Yaudah," sahutku sekenanya.
"Percaya, Baal?" sindirnya.
"Apanya?"
"Kalau aku nggak apa-apa? Iqbaal nggak pernah belajar ya, kalau cewek ngomong nggak apa-apa, itu artinya kenapa-kenapa!" omel Redha.
"Gitu ya?"
"Iya."
"Maaf, deh. Iqbaal juga sayang Redha, kok."
"Nais," katanya lalu ketawa.
"Nais?" tanyaku heran.
"Nice," jawab Redha.
"Bahasa Inggris lurus-lurusan juga?" tanyaku.
"Huum, Iqbaal pinter!" pujinya.
"Hehe," kataku senyum karena dipuji walau sebenarnya nggak faedah juga.
Hening lagi. Nggak ada percakapan.
"Baal, coba nyanyi Baal!" suruhnya tiba-tiba.
"Huh? Nyanyi apa Re? Balonku lagi?" tanyaku.
"Nggak," katanya lalu mendesah pelan. "Nyanyi yang lain,"
"Yang mana? Aku nggak tahu nyanyi Re!" kataku jujur.
"Dih Iqbaal, open your rice, dong!" ketusnya.
"Huh? Rice?"
"Plesetan itu Baal," katanya ngasih tahu.
"Plesetan? Sejak kapan mind jadi rice, Re?" tanyaku bingung.
"Daripada mind jadi mine? Susah dibedain, jadi nggak lucu deh!" jawab Redha menjelaskan. "Btw, barusan aku ngelawak Baal!" katanya lagi.
"Huh?"
"Nggak lucu ya?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
"Iya."
Hening. Nggak ada percakapan yang terjadi lagi. Lama-lama percakapanku sama dia udah mirip basa-basi yang nggak kelar-kelar. Akhirnya aku biarkan aja hingga lima menit berlalu.
"Re."
Nggak ada jawaban.
"Re?"
Masih nggak ada jawaban lalu kemudian kudengar suara dengkuran. Cewek mengerikan itu tidur.
"Tidur ya?"
Zzz... Zzz... Zzz..
"Yaudah met tidur Re. Nite."
Aku mengakhiri panggilan telpon kami lalu menyelipkan handphoneku di bawah bantal. Setelahnya aku memjamkan mata, mau tidur lagi buat ngelanjutin mimpiku yang sepat terjeda.
***
Paginya, aku telat bangun sehingga nggak sempat sarapan. Kepalaku juga pusing karena kurang tidur, entah bagaimana nasib ulangan Geografiku. Rasanya apa yang kupelajari sebelum tidur tadi malam hilang semua. Kalau aku Remidi, sepertinya aku harus nyalahin Redha. Walau aku nggak mungkin berani nyalahin dia. Terlebih setelah tahu betapa ngenesnya kisah percintaan dari cewek mengerikan itu. Mungkin, yang membuatnya menjadi seperti itu adalah kisahnya yang tragis itu.
Selama di kelas, aku kebanyakan nguap sehingga sempet izin buat ke kamar mandi dua kali buat cuci muka. Fares yang melihatku begitu jadi kepo tetapi nggak kutanggepin. Aku males ngejawab pertanyaan dia. Karena cowok terngenes zaman now itu kalau satu pertanyaannya dijawab, dia akan melanjutkan ke pertanyaan kedua, ketiga dan seterusnya sampai bibirnya dower. Emang dower dari dulu sih.
Saat Istirahat, saah satu teman Redha nyamperin aku di kelas. Dia bilang ada titipan dari Redha. Saat kulihat isinya sebotol minuman kopi dan juga biskuit. Di dalamnya juga ada sepucuk kertas.
Baal, makasih ya buat yang tadi malam.
Redha jadi bisa tidur.
Kalau Redha nggak bisa tidur lagi, Redha call Iqbaal lagi ya.
Salam manis dari yang manis,
Reiny
Deg!
Aku menelan ludah. Nama singkatan di akhir, aku tahu itu maksudnya Redha Ismiatul Khairany, tetapi Re.. Seharusnya kamu nggak nulis singkatan itu. Karena nama itu..
"Lho? Kok Reiny?" tanya Fares yang mengambil kertas yang sedang aku pegang tanpa izin.
Aku mengambil paksa kertas yang dipegang Fares lalu meremasnya kuat. Aku pun memasukkannya ke kantong celanaku.
"Kamu masih berhubungan sama dia, Baal?" tanya Fahmi.
Aku menggeleng cepat.
"Siapa sih?" tanya Fares.
"Bukan siapa-siapa," jawabku cepat.
Fares menatap Fahmi, begitu sebaliknya.
"Iqbaal sensitif," bisik Fares.
"Ho'oh, lagi PMS!" bisik Fahmi juga.
"Aku denger kalian ngomong!" dengusku kesal yang membuat Fares dan Fahmi cekikikan.
"Kenapa dia?" tanya Anton heran.
"Biasa, CLBK!" jawab Fahmi.
"Huh?"
"Cerita Lama Belum Kelar!" jawab Fahmi dengan nada mengejek.
"Diam deh!" hardikku kesal lalu meminum kopi yang Redha berikan padaku dengan sekali teguk.
"Ih serem," ejek Fares tapi aku sudah nggak peduli.
Reiny..
Nama itu...
Nama cewek yang selalu kutaksir sampai sekarang, Re ..
Harusnya kamu nggak nulis nama itu.