12

1624 Kata
Sejak kemarin aku nggak nafsu makan. Segalanya berubah ketika nama itu kembali tersebut. Padahal bertahun-tahun aku mencoba melupakannya, mencoba move on dan meyakinkan diriku bahwa dia sudah bahagia di sana dengan cowok pilihannya. Terlebih, dia memang tidak pernah menganggapku lebih dari seorang teman. Hari ini, aku kembali ke kebiasaan lamaku. Datang jam lima pagi ke sekolah di jam olahraga. Jam olahragaku di mulai jam set enam tetapi aku memang terbiasa datang pagi. Sekedar pemanasan di lapangan bola belakang sekolah. Udaranya juga sejuk dan dengan berlari, sedikit walau hanya sedikit, aku bisa melupakannya. Menganggapnya sebagai masa lalu, sebuah angan dan sebuah kenangan. Karena bagaiamanapun aku berusaha, di masa lalu nggak ada kata 'seandainya'. Aku mulai berlari-lari kecil, menikmati angin pagi yang menelusup di sela-sela traning olahragaku. Nggak ada orang sepi dan aku suka itu. Kesunyian ini mengajarkan aku betapa indahnya waktu kesendirian yang bisa kunikmati sendiri. Ini bukan proses melarikan diri, hanya sebuah perenungan hati. Reiny Kinanti, cewek berpostur tinggi ramping dengan rambut panjang sebahu yang sering digerai lurus. Bibirnya tipis, matanya sedikit sipit, bukan keturunan oriental tetapi entah kenapa wajahnya seperti dari kalangan itu. Senyumnya menawan, suaranya lembut dan yang pasti dia adalah cewek tercantik yang pernah kutemui di dunia ini. Cewek itu adalah cinta pertama sekaligus patah hati pertamaku. Sejak kelas X, aku sudah membuangnya. Nggak! Sebenarnya hanya menyembunyikannya dalam endapan ingatan. Dimana ingatan itu seketika muncul ke permukaan dalam satu hentakan. Entah itu kebetulan atau bukan, tetapi nama Redha dan namanya memiliki persamaan. Nggak, cewek itu nggak dipanggil Reiny. Dulu saat SMP, kami biasa memanggilnya Kinan dan khusus untukku, yang ia labeli sahabat, memanggilnya Kiki. Kiki adalah cewek yang supel sehingga mudah dekat dengan siapapun. Dia ramah, baik hati dan selalu tersenyum kepada setiap orang. Sikap baiknya telah membuatku menyukainya dan bagaiamanapun aku mencoba menepis perasaanku, aku semakin menyukainya. Bahkan bisa dibilang, aku jatuh cinta padanya di pandangan pertama saat kami baru tahu kalau kami adalah teman sekelas di kelas 7. "Baal, Baal, Iqbaal!" dia selalu memanggil namaku lalu tersenyum, setiap hari, setiap ketemu dan dimana saja. Lama-kelamaan suara lembutnya menjadi sesuatu yang kurindukan hingga terbawa mimpi. Dia membuatku jadi ingin terus mendengar suaranya, bertemu dengan wajah cantiknya dan mengobrol dengannya bicara tentang apapun. Apa saja, asal aku bisa melihat dan mendengar suaranya. Kiki juga selalu menghubungiku, sekadar chat atau call sebentar untuk mengingatkan aku untuk makan, sholat atau membahas mengenai tugas atau jadwal pelajaran. Semua menjadi suatu kebiasaan, kenyamanan yang pada akhirnya membuatku lupa bahwa aku belum pernah mengatakan perasaanku padanya. Aku belum pernah mengaku bahwa aku mencintainya. Karena kupikir saat itu kami hanyalah murid SMP yang baru puber. Hingga suatu malam, aku merasakan patah hati di usia 13 tahun. "Baal, Bintang nembak aku!" soraknya dengan girang. Aku terdiam, hanya bisa menahan sesak yang mulai bertahta di relung hati. "Baal, Iqbaal denger nggak? Hello? Iqbaal?" ocehnya dari seberang sana. "Ah," seruku lalu berdehem sebentar. "Selamat ya," kataku dengan senyum miris yang untungnya nggak bisa dia lihat. "Trus?" kutanya yang langsung kusesali karena sudah menanyakan hal yang sudah pasti akan membuatku semakin meradang. "Ya, aku terima Baal! Secara dia kan ganteng, baik hati, femes, trus idaman banget!! Kyaa," Kiki mulai mencak-mencak. Aku nggak bisa lihat langsung tapi dari nada suaranya aku tahu kalau dia sangat bahagia bisa jadian dengan Bintang, teman seangkatan kami yang berada di level yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan diriku. "Kamu bahagia, Ki?" tanyaku. "Banget, Baal!" jawabnya cepat dan tanpa ragu sehingga semakin mengiris hatiku yang sudah hancur. "Karena aku udah punya pacar, aku nggak bisa sering-sering nelpon Iqbaal lagi," katanya. "Iqbaal nggak marah kan?" Aku terdiam, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang nggak bisa dilihat tetapi terasa banget sakitnya. "Baal, jangan marah ya? Kita masih sahabat kan?" tanyanya. "Iya, Ki!" jawabku yang segera mendekap mulutku agar Kiki nggak tahu bahwa seorang Iqbaal kini sedang berupaya melawan sesak karena patah hati. "Syukur, deh! Aku nggak mau kehilangan sahabat sepertimu, Baal!" katanya. "Karena kamu teman pertama di SMP dan sahabat keduaku setelah Marin," Aku menggigit bibirku kuat, mataku sudah terasa panas. Sebentar lagi aku rasa genangan air di pelupuk mataku akan segera jatuh. "Aku sayang Iqbaal," kata Kiki. "Sebagai sahabat," lanjutnya. Air mataku akhirnya jatuh juga. "Selamanya," imbuhnya yang membuatku langsung memasukkan tanganku ke mulutku, menggigitnya kuat agar aku tidak menangis histeris. Setelah malam itu, entah sejak kapan, perlahan, aku merasa ada jarak di antara aku dan Kiki. Dia mulai jarang menelpon, chat, dan setiap bertemu denganku dia hanya tersenyum tanpa meneriakkan namaku. Terkadang, dia bahkan berpura-pura nggak melihatku. Sungguh ini adalah patah hati paling menyedihkan. Karena aku harus membuang perasaan bahkan sebelum kuutarakan. Walau begitu, aku tetap menanti Kiki, melihatnya dari jauh dan diam-diam berdoa bahwa suatu saat Kiki dan Bintang akan putus. Dengan begitu, mungkin akan datang suatu kesempatan bagi seorang Iqbaal untuk bisa dekat dan berjuang lagi untuk seorang Kiki. Naasnya, sampai lulus SMP Kiki dan Bintang nggak putus. Kudengar, mereka bahkan bersekolah di SMA yang sama. Setelah itu, aku benar-benar menutup mata dan telinga tentang apapun berkaitan dengannya. Aku menghentikan lariku, memandang lapangan yang kini mulai cerah karena matahari sudah mulai meninggi. Napasku terengah, keringatku bercucuran, entah sudah berapa putaran aku lari. Kakiku kini terasa capek. Aku duduk selonjor di tepi lapangan, mencoba mendinginkan tubuhku setelah olahraga fisik. Apa kamu baik-baik saja Ki? Apa kamu dan Bintang masih jadian? Apa kamu pernah merindukan aku walau sekali? Dan, apa mungkin, meski sedetik kamu pernah berpikir untuk menyukaiku sebagai seorang cowok? Pertanyaan-pertanyaan itu yang selama ini ingin kutanyakan, sayangnya aku hanya seorang pecundang yang takut untuk bersaing. Aku hanya pejuang yang menunggu kesempatan untuk bisa maju. Walau mungkin, sebenarnya aku tahu sejak dulu kalau kesempatan nggak akan pernah ada untuk seseorang yang bahkan nggak mau menciptakan peluang untuk itu. Aku mencintaimu Kiki. Pengakuan itu, belum pernah terungkap dan karenanya semuanya menjadi seperti ini. Aku bahkan takut membuka hatiku untuk cewek setelah patah hati dengan Kiki hingga pada akhirnya aku malah berakhir menyedihkan dengan Redha yang mungkin menganggapku sekadar sebagai peliharaan. Walau dia selalu mengatakan bahwa dia sayang padaku. Rasa sayangnya, hanya sebatas majikan pada peliharaan. "Aw, dingin!" seruku ketika sesuatu yang dingin menempel di pipiku. Aku menengadahkan kepalaku hingga kami berpandangan saat dia menunduk dengan senyum yang terkembang. Saat ini aku duduk selonjoran sedangkan dia berdiri dengan tangan memegang es krim yang sengaja ditempelkan ke pipiku. "Pagi, Iqbaal!" sapanya ramah. "Redha?" pekikku kaget. Redha tersenyum. "Pegang sendiri dong! Pegel nih!" keluhnya sambil mengedikkan kepalanya ke arah es krim yang ia tempelkan di pipiku. "Ah," kataku lalu memegang sendiri es krim itu. Redha tersenyum lalu berjalan ke sampingku. Ia pun duduk di sampingku dengan kaki yang sengaja disejajarkan dengan kakiku. "Tinggian Iqbaal!" katanya sambil membandingkan kakiku yang lebih panjang dari kakinya. "Iyalah, kan kamu boncel!" kataku. Redha terbahak. "Dih, Iqbaal aja jerapah!" balasnya. "Cowok 171 cm di usia 16 tahun itu wajar, Re. Lah Redha usia 16 tahun masih aja 157 cm, telat tumbuh?" ledekku. Redha mengerucutkan bibirnya. "Nggak ya, Redha cuma malas olahraga!" sanggahnya. "Lagian Redha bukan 157 cm lagi tauk!" katanya. "Iya? Udah berapa? Perasaan Redha bilangnya waktu itu 157 cm," kataku mencoba mengingat-ngingat saat kami telponan dan Redha memberitahuku bahwa tingginya segitu. "Udah 158 cm," katanya bangga. "Dih, cuma naik 1 cm aja sombong!" sahutku. "Hehe, makan gih! Lari 9 putaran pasti capek kan?" katanya. Aku terdiam. "Kok tahu?" tanyaku. "Apa?" "Aku lari 9 putaran," tanyaku lagi. "Oh." Redha hanya senyum lalu mengambil es krim di tanganku dan membukanya. "Makan!" katanya sambil memasukkan es krim itu ke mulutku. "Duh, dingin Re!" pekikku sambil mengambil alih es krim dari tangan Redha. "Hehe, rasain!" kata Redha lalu mendongakkan kepalanya ke atas. "Iqbaal kenapa?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. "Kenapa apanya?" tanyaku. "Kok aneh, wajahnya sedih gitu!" jawab Redha masih sambil mendongakkan kepalanya ke langit. "Nggak apa-apa, kok!" elakku. "Kok datang pagi buat lari lagi? Padahal sejak kelas XI, nggak pernah lari sendirian lagi. Kenapa?" tanyanya. Aku mengerutkan dahi. "Kok tahu?" Redha menoleh ke arahku, memandangku lekat "Iqbaal nggak bahagia sama Redha?" tanyanya yang seketika membuatku merasa aneh. Ada sebuah aura kecanggungan di antara kami seolah Redha tengah mengadiliku di sebuah pengadilan kejujuran. Jika boleh jujur, aku nggak pernah memikirkan akan punya pacar selain Kiki. Aku masih mencintai Kiki dan jika kupikir lagi menembak Redha hanya karena taruhan adalah sebuah kesalahan yanh mungkin nggak akan pernah bisa dia maafin. "Re," panggilku. "Hm?" "Maafin aku," kataku. "Untuk apa?" tanyanya. "Aku nembak Redha bukan karena sayang, tetapi taruhan!" jawabku. Akhirnya pengakuan itu terlontar. Redha hanya berwajah datar, nggak ada tanda-tanda dia terkejut. Seolah dia sudah tahu dan sengaja berpura-pura nggak tahu. "Re," "Sebaiknya kita pu-," "Redha sayang Iqbaal!" potongnya cepat. "Sebagai cowok," imbuhnya. Aku ternganga hingga es krimku jatuh saking shocknya. "Tapi aku nggak, Re!" kataku. "Bukan nggak tapi belum!" bantahnya. "Re, aku beneran masih," "Iqbaal akan sayang Redha!" teriaknya dengan suara parau. "Re, kita baru kenal. Redha pasti salah mengartikan perasaan. Redha cantik, Redha pasti akan menemukan cowok yang lebih baik dari Iqbaal," kataku mencoba menjelaskan kemungkinan Redha nggak benar-benar sayang padaku. "Kata siapa?" kata Redha dengan mata berkaca-kaca. "Eh?" "Kata siapa kita baru kenal Baal? Iqbaal aja yang baru kenal Redha," elaknya. "Redha sayang Iqbaal!" ucapnya lalu tersenyum dengan airmata yang bercucuran. "Udah setengah enam, Redha piket dulu Baal! Dadah!" katanya lalu buru-buru pergi meninggalkan aku. Aku terdiam, merasa gagal menjadi cowok. Kata mama, kalau aku membuat cewek menangis maka aku juga sudah membuat mama menangis. Mama juga bilang cowok yang membuat cewek menangis sudah gagal menjadi cowok gentleman. Dan nggak ada yang lebih diutamakan selain harus minta maaf pada cewek yang dibuat nangis sebagai langkah awal dari penebusan dosa. Cuma, sekarang aku jadi bingung. Aku harus meminta maaf pada Redha atau mama? Atau dua-duanya? Terlebih, apa maksud perkataan Redha tadi bahwa aku saja yang baru mengenalnya? Apa itu artinya, dia sudah mengenalku sebelum aku mengajaknya pacaran?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN