Bab 2. Manusia Plastik

1052 Kata
5 tahun kemudian. “Bos, para calon manajer baru sudah datang. Kini mereka sedang berkumpul di ruang meeting 1,” ucap Irwan. “Hem.” Dion hanya berdehem saja menjawab apa yang disampaikan oleh asisten pribadinya. “Ini daftar orang yang diterima dan juga rencana penempatannya, Pak,” ucap Irwan sambil meletakkan sebuah map di atas meja kerja. Lagi-lagi Dion tidak memedulikannya. Dia tetap fokus pada layar laptop yang ada di depannya. “Ada satu kandidat yang memiliki nilai sempurna saat tes dan dia juga lulusan dari Harvard, Pak. Dia calon kuat di divisi pemasaran.” Irwan memberikan informasi. “Anak baru lulus kuliah tau apa. Omong doang bisanya,” jawab Dion. “Tapi dia memang keliatan bagus da–“ Dion mengangkat pandangan matanya, sehingga Irwan langsung menghentikan kalimatnya. Dion menutup layar laptopnya. “Tunjukkan yang mana orangnya!” ucap Dion. Pria tampan itu segera berdiri dari kursi kerjanya. Dia ingin melihat orang yang sejak tadi dipromosikan oleh asistennya. Selain itu, dia juga ingin melihat kualitas para calon manajer baru yang akan menjalani masa percobaan. Dia tidak ingin kalau nanti perusahaannya akan memperkerjakan orang-orang yang tidak sesuai dengan kualifikasinya. Irwan membuka pintu ruang rapat. Dia masuk lebih dulu untuk memberi jalan pada atasannya yang akan segera masuk. Dion masuk ke dalam ruang rapat itu dan segera duduk di posisinya. Dia menatap sekilas ke arah orang-orang yang sudah sejak tadi menunggunya. Tapi tidak dengan salah seorang calon manajer yang ada di sana. Wanita itu tidak bisa melepas pandangannya dari Dion, bahkan dia sampai ternganga kaget melihat kehadiran Dion di depan matanya. “Dia ... dia Dion kan? Ya ampun, mimpi apa aku semalam bisa ketemu ama dia lagi,” ucap Luna dalam hati saat dia mengenali Dion meski mereka sudah lama berpisah. “s**t! Moga aja dia gak inget sama aku,” umpat Luna yang malas bertemu dengan mantan suami menyebalkannya dulu. Dion masih diam di tempat duduknya sambil mengutak-atik iPad yang ada di tangannya. Dia ingin melihat biodata para calon pegawai baru yang tersedia di sana, sambil mendengarkan Irwan menjelaskan tugas para calon karyawan baru. Tatapan mata Dion terhenti pada sebuah nama yang dia kenal. Luna Embun Rajendra. Nama yang sangat familiar dengan dirinya beberapa tahun silam. “Luna. Ini Luna?” gumam Dion pelan. Dion mengangkat wajahnya dan melihat ke arah pegawai baru. Dia melihat satu persatu, mencoba mencari pada orang yang dia kenal dulu itu sama dengan orang yang saat ini berada satu ruangan dengannya. Tapi tentu saja Dion tidak mengenali Luna lagi. Wanita yang dulu terkenal tomboi di kampus dan sama sekali tidak menarik itu tidak ada di ruangan ini. Luna yang ada di sini adalah Luna yang cantik, dengan polesan dandanan tipis, kulitnya juga putih terawat. Penampilannya yang dulu selalu dihiasi dengan kemeja, kaos oblong dan celana jeans kini berubah sangat feminin. Belum lagi rambutnya yang tergerai sampai di punggungnya, membuat wanita itu tidak lagi dikenali oleh Dion. “Gak ada. Pasti bukan Luna si tomboi,” ucap Dion dalam hati. Tapi karena masih penasaran, Dion pun membaca resume milik Luna untuk lebih memastikan kalau itu bukan Luna yang dia kenal. “Dia dari kampus yang sama. Apa dia beneran Luna?” ucap Dion yang semakin penasaran. “Aluna,” panggil Dion dengan wajah dinginnya, memotong ucapan Irwan yang mengoceh sejak tadi. Luna menoleh. “Iya, Pak,” jawab Luna sambil menatap atasannya. Melihat ada orang yang menjawabnya, tentu saja Dion merasa kaget karena dia mendapati orang dengan penampilan yang sangat berbeda. Dion sangat tidak percaya kalau Luna yang ada di hadapannya saat ini, adalah Luna yang pernah menjadi istrinya. Luna berubah bak seekor angsa putih. Sangat cantik dan juga menarik perhatian kaum lelaki. “Kamu yang lulusan dari Harvard?” tanya Dion basa-basi. “Iya, Pak. Tahun lalu,” jawab Luna dengan nada datar. “Kenapa sekarang kembali ke sini?” “Hah, gimana, Pak? Emang gak boleh ya saya balik ke Jakarta?” tanya Luna balik, tidak mengerti maksud pertanyaan Dion. “Maksud saya, kenapa kamu gak kerja di sana aja?” Dion melihat ke iPad di tangannya. “Bukannya kamu udah kerja di Amerika.” “Disuruh sama ayah pulang, Pak.” “Disuruh ayah ato pacar?” pertanyaan tidak penting meluncur dari mulut Dion. “Dia gak nyuruh sih, Pak. Tapi kalo kelamaan LDR kan gak enak juga.” “Apa?? Luna udah punya pacar? Gak mungkin. Siapa juga yang betah sama cewek nyebelin kayak dia!” gerutu Dion dalam hati. “Jangan pacaran! Kerja yang bener!” tegas Dion dengan nada kesal. Dion langsung membuang muka saat tatapannya bertemu dengan Luna. Entah mengapa ada rasa kesal di hati Dion, saat mendengar wanita yang pernah berbagi hidup dengan tidak tulus dengan dia itu telah memiliki pasangan. Apalagi saat ini penampilan Luna bisa dibilang sangat cantik. Lebih cantik dari semua orang yang ada di ruangan itu. Luna melirik tajam ke arah Dion. Dia menggerak-gerakkan bibirnya, karena sedang kesal dengan pertanyaan Dion yang tidak masuk akal. “Ngapain juga dia nanyain soal pacar. Punya urusan apa dia ama aku. Awas aja kalo dia mempersulit kerjaan aku,” gerutu Luna dalam hati. Luna kembali mendengarkan Irwan yang memberikan petunjuk penempatan bagi dia dan rekan-rekannya. Dia tidak ingin hubungannya dengan Dion di masa lalu mengganggu pekerjaannya. Sialnya hal itu tidak terjadi pada Dion. Pria itu malah jadi penasaran, siapa kekasih Luna saat ini. Apa dia mengenalnya? Mereka kenal di mana? Sejauh mana hubungan mereka? Banyak sekali pertanyaan yang mengusik Dion saat ini. Pria yang sudah beberapa kali dijodohkan itu tetap menolak menikah, karena dia ingin konsentrasi bekerja dulu. Tapi sialnya saat Luna dengan penampilan baru, ternyata mampu mengusik pikirannya. Dion mencuri pandang ke arah Luna yang sedang serius mendengarkan pengarahan. “Sejak kapan dia berubah jadi cantik? Apa dia oplas? Iya ... pasti dia oplas! Dasar manusia plastik!” umpat Dion dalam hati. “Pak Dion, ada yang mau ditambahkan, Pak?” tanya Irwan pada atasannya. Dion mengangkat pandangannya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap satu persatu wajah karyawan barunya. Tapi tentu saja pandangannya terhenti pada Luna. Mata Dion makin menyipit dan menatap tajam pada wanita itu. “Kerja yang benar. Utamakan urusan perusahaan dari pada urusan pribadi terutama percintaan pribadi. Kalo dalam satu bulan kinerja kalian tidak bagus, saya tidak akan segan mencoret nama kalian. Paham!” tegas Dion sambil semakin menajamkan pandangannya pada Luna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN