Chapter 01
Steven Gutomo, lelaki berusia 32 tahun itu, baru mendarat di Jakarta setelah lima tahun berada di Prancis mengurus perusahaannya di sana. Dengan satu koper besar dan tas selempang hitam di pundak, Steven melangkah keluar dari area kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, lalu memasuki mobil yang telah disiapkan oleh sopir pribadi keluarga Gutomo. Ia bersandar di kursi belakang, menatap jalanan kota Jakarta dari balik kaca mobil yang sedikit buram karena embun pendingin udara. Sorot matanya tajam dan wajahnya tenang, tapi pikirannya tak berhenti bergerak.
Selama lima tahun terakhir, hidup Steven berputar pada pekerjaan, ekspansi bisnis, dan strategi pasar. Tidak ada ruang untuk keluarga, apalagi urusan pribadi. Ia selalu menjadi sosok ambisius yang menuntut kesempurnaan. Namun kini, setelah semuanya stabil di Prancis, ada kekosongan yang ia rasakan. Ia rindu suasana rumah, rindu Indonesia, rindu keluarganya—terutama adiknya, Vernon.
Vernon Gutomo, adiknya yang lebih muda empat tahun darinya, adalah sosok yang lebih santai dan ramah dibandingkan Steven. Saat Steven membangun bisnis di luar negeri, Vernon menetap di Jakarta dan mengelola bagian lokal perusahaan keluarga. Mereka jarang bertemu, hanya sesekali berbicara lewat video call. Yang membuat Steven merasa bersalah adalah fakta bahwa ia tak hadir saat Vernon menikah, satu momen penting yang dilewatkannya.
Perjalanan dari bandara menuju rumah Vernon tak memakan waktu lama. Dalam perjalanan, Steven membuka galeri ponselnya, melihat ulang foto-foto pernikahan Vernon yang dikirim ibunya. Salah satu foto menampilkan Vernon tersenyum lebar dalam balutan jas, berdiri berdampingan dengan seorang wanita muda dalam gaun pengantin putih. Mata wanita itu bersinar cerah, senyum lembut terukir di wajahnya. Clara Moriana. Istri Vernon.
Tanpa sadar, Steven memandangi foto itu lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu pada senyum Clara yang membekas dalam pikirannya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan gejolak yang muncul begitu saja. Ia datang untuk menyapa adiknya. Itu saja. Tidak lebih.
Mobil berhenti di depan rumah besar milik Vernon. Rumah dua lantai dengan gaya arsitektur modern itu berdiri megah di kawasan elit Jakarta Selatan. Steven turun dari mobil dan menyeret kopernya menuju pintu utama. Ia menekan bel, lalu menarik napas dalam.
Tak butuh waktu lama, pintu besar berwarna putih itu terbuka. Seorang wanita muda muncul di ambang pintu. Rambut panjang bergelombangnya tergerai indah, kulitnya bersih dan cerah, wajahnya manis tanpa riasan berlebihan. Ia mengenakan pakaian santai rumah, tapi tetap terlihat anggun.
"Mas Steven?" Suaranya lembut. Matanya membulat kecil saat mengenali sosok yang berdiri di depannya. "Selamat datang. Saya Clara."
Steven sempat terdiam, matanya menatap wanita itu dalam-dalam. Bukan hanya cantik, Clara memiliki aura hangat yang langsung menyentuh hati. Senyumnya lembut, dan ada kedamaian dalam cara ia berdiri dan berbicara. Steven menelan ludah dan cepat mengendalikan dirinya.
"Iya, saya Steven. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."
Clara mengangguk dan mempersilakannya masuk. "Ayo masuk, Mas. Vernon masih di kantor, tapi biasanya dia pulang sore."
Steven melangkah masuk. Rumah itu terasa nyaman dan bersih, dengan nuansa warna krem dan cokelat kayu yang menenangkan. Clara mempersilakannya duduk di ruang tamu, lalu berjalan ke dapur. Steven menatap sekeliling, memandangi lukisan, rak buku, dan detail interior yang tampak mencerminkan kepribadian yang tenang dan rapi. Tak lama kemudian, Clara datang dengan dua cangkir teh hangat.
"Saya buatkan teh. Semoga suka," katanya sambil menyodorkan cangkir itu.
Steven menerimanya dengan senyum. "Terima kasih."
Mereka duduk berhadapan, obrolan dimulai dari topik ringan. Clara bertanya tentang kehidupan di Prancis, cuaca, makanan, hingga cerita tentang perusahaan. Steven menjawab semua pertanyaan dengan sopan dan antusias, namun sebagian pikirannya terus memperhatikan cara Clara berbicara. Ia tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan tenang. Setiap gerakan dan ucapannya terasa menyenangkan.
Saat Clara tertawa kecil, Steven merasa dadanya bergemuruh. Ia tak pernah menyangka bahwa ia bisa merasakan hal seperti ini—perasaan yang asing, muncul secara tiba-tiba hanya karena senyum seorang wanita. Tapi wanita ini... istri dari adiknya sendiri.
Dan... entah kenapa, Steven merasakan keinginan kuat untuk memiliki Clara. Bahkan hanya untuk memeluknya pun ia ingin. Oh, sialan. Perasaan macam apa ini?
Ia mencoba mengalihkan pandangan, tapi bayangan Clara tetap menempel di pelupuk mata. Ia tahu perasaan itu salah. Salah besar. Tapi rasa itu seperti api kecil yang mulai menyala dan menghanguskan akalnya.
Beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar dari luar. Clara berdiri dan tersenyum. "Vernon pulang."
Steven berdiri dan menata wajahnya agar terlihat netral. Vernon masuk, wajahnya sumringah melihat sang kakak.
"Steven! Akhirnya pulang juga!" seru Vernon sambil memeluknya erat.
"Maaf telat datang. Urusan di sana baru selesai."
"Yang penting sekarang kamu di sini. Kamu harus nginap, nggak boleh nolak."
Clara hanya tersenyum, menatap kedua pria itu dengan hangat.
Malam itu, mereka makan malam bersama. Clara memasak sendiri, dan masakannya membuat Steven diam-diam kagum. Ia mengamati Clara dari seberang meja, menyaksikan bagaimana wanita itu tertawa saat Vernon bercerita, bagaimana ia menyendok makanan dengan gerakan anggun. Semua tentang Clara terasa menarik bagi Steven.
Setelah makan malam, Steven menuju kamar tamu di lantai dua. Ia berbaring, menatap langit-langit sambil mencoba mengusir wajah Clara dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha, semakin dalam wajah itu tertanam.
Ia berdiri dan membuka pintu balkon. Udara malam Jakarta menyapa kulitnya. Di sebelah kanan, ia melihat balkon kamar utama. Dan di sana, berdiri Clara, mengenakan daster putih tipis, rambutnya tergerai bebas. Ia memeluk tubuhnya sendiri, memandangi langit malam.
Steven terdiam, jantungnya berdetak kencang. Ia tahu, malam ini, ia tidak bisa tidur.
Dan dalam dirinya, ia sedang memikirkan tentang Clara. Oh sialan! Kenapa bagian bawahnya tiba-tiba… akh! Tidak. Steven tidak boleh menaruh hal itu pada Clara.