Enam bulan kemudian. “Mas. Kamu gak risih dengan aku yang selalu ngerepotin kamu?” Kinanti menatap Brandon yang duduk di samping bed pasien dimana dirinya terbaring sakit di kamar presiden suite sebuah rumah sakit di Singapura, karena kelelahan. “Makanya, kamu itu buruan sembuh, kasian Dimas.” Brandon menggenggam jemari tangan wanita yang selama ini mengisi relung hatinya. ”Mas, kalau aku jawab pernyataan kamu enam bulan lalu, apakah masih bisa?” Kinanti menatap redup ke arah Brandon. Sepertinya dia sudah tidak sanggup menghadapi semuanya sendiri. ”Pernyataan aku?” Brandon terlihat bingung. Dia tidak mengingat apa yang telah dia ucapkan enam bulan yang lalu, ada resah menyelimuti. ”Mas, aku bersedia menjadi menantu ibumu.” Kinanti menatap lekat ke arah Brandon yang terdiam mematung,

