Pak Haris menatap datar ke enam orang muridnya yang sedari tadi hanya terdiam.
"Kalian tahu apa akibat perbuatan kalian kemarin? Jasinta terpeleset jatuh di dekat kamar mandi dan dia menderita gegar otak ringan, sekarang sedang di rawat di rumah sakit, orang tua Jasinta menelepon kepala sekolah secara langsung dan Bapak di instruksikan untuk menyidang kalian mencari bukti yang sebenarnya," info Pak Haris membuat keenam murid di depannya ternganga.
"Hah, bagaimana bisa, Pak? Kami tidak melakukan apa-apa, hanya melerai pertengkaran Gaby dan Jasinta. Hanya seperti itu," Reno yang seringkali bisa bertindak cukup dewasa di antara anggota kelompoknya berusaha mengklarifikasi keadaan sebenarnya.
Tatapan Pak Haris memeriksa satu persatu para remaja berseragam putih abu-abu dan terhenti pada sosok Gaby yang terdiam.
"Apakah penjelasan kalian bisa di pertanggung jawabkan? Gaby, kamu biang dari semua ini, sekarang jelaskan kepada Bapak bagaimana kronologis kejadian kemarin," perintah Pak Haris dengan suara sedikit melembut.
Gaby menarik nafas panjang sebelum berbicara. Akhirnya mengalirlah dengan lancar cerita dari bibirnya di bantu dengan tambahan sedikit penjelasan oleh Reno dan teman-temannya setelah Gaby di bawa pergi dari hadapan Jasinta.
"Jadi, intinya kami tidak tahu apapun yang terjadi setelah Jasinta pergi dari kami, Pak. Jika tidak percaya, Bapak bisa kan memeriksa CCTV yang di pasang dekat kantin," bela Gaby pada dirinya dan teman-temannya. Pak Haris sebentar terdiam sambil manggut-manggut tanda mengerti.
"Yakin, hanya seperti itu?" tanya Pak Haris meyakinkan.
"Yakin sekali, Pak. Hanya seperti itu, saya dan teman-teman tidak berbohong," ucap Gaby berusaha benar-benar meyakinkan.
Pak Haris nampak mengetuk-ngetuk jarinya di meja kerja.
"Baiklah, kali ini Bapak berusaha percaya pada kalian. Kalian beruntung karena kemarin Pak Kusno melihat kejadian itu sejak awal. Dan saran Gaby untuk memeriksa CCTV akan saya lakukan. Untuk sesi hari ini anggap Bapak hanya klarifikasi saja," suara Pak Haris kali ini terdengar normal kembali. Pak Kusno yang di sebut oleh Pak Haris tadi adalah bapak penjaga kantin tempat Gaby dan teman-temannya menikmati jam istirahat. Selama ini lelaki berusia lima puluh tahun itu cukup dekat dan akrab dengan banyak siswa di sekolah, dia lelaki yang baik dan jujur.
"Jadi Bapak sekarang bisa mempercayai kami?" tanya Gaby memastikan.
"Saya bilang akan berusaha percaya pada kalian. Kalian ini ingatlah, sebentar lagi ujian semester, lebih baik kalian lebih rajin belajar daripada melakukan hal yang tidak berguna seperti itu. Apalagi kamu, Gaby. Kamu cukup pintar dan kamu memiliki prestasi di bidang olah raga catur. Jangan sampai bentuk kenakalan dan kebandelan seperti ini menutupi kebaikanmu yang lain. Sayanglah pada masa depan kalian yang masih panjang. Ingat, sekali lagi Bapak dengar kalian bikin masalah, maka jangan salahkan sekolah jika membuat kalian tidak naik kelas."
Gaby sedikit tersentak.
Sebuah ketukan menyadarkan lamunannya barusan. Kepala Manda nongol dari pintu yang terbuka sepertiga bagian.
"Mbak, makan dulu, yuk. Mama sama Mbak Asya udah nunggu, tuh," ajak Manda.
"Iya, aku segera menyusul, Man," ujar Gaby dan mulai turun dari ranjang tidurnya menyusul Manda yang sudah berjalan duluan.
Sebelum keluar menuju ruang makan gadis itu terhenti di depan pintu kamar. Sudah terbayang wajah lembut mama yang pasti dengan telaten menyendokkan nasi ke masing-masing piring anaknya dengan sabar. Mama yang sempurna untuk ketiga buah hatinya.
"Gaby janji, Ma. Akan berusaha lebih baik lagi dan tidak akan mengecewakan Mama," janji Gaby dalam hati.
Dengan seulas senyum tipis dan segenap keyakinan untuk menjadi lebih baik gadis itu segera menuju di mana keluarganya menunggu untuk makan malam. Senandung ceria terdengar dari bibir tipisnya.
*****
"Gab, minggu besok kamu beneran ikut pertandingan di Surabaya, kan?" tanya Meta pada Gaby ketika mereka sama-sama berjalan memasuki satu ruangan di mana biasanya anggota klub berkumpul untuk saling berbagi ilmu dan mengasah kemampuan memindahkan pion-pion dari satu kotak ke kotak lain mematikan langkah musuh di papan catur.
"Iya, sepertinya bisa ikut, kok," jawab Gaby santai membuat Meta terlonjak gembira.
"Nah, gitu dong. Kita berangkatnya hari sabtu sore aja, jadi malamnya bisa kongkow sejenak di Taman Bungkul, jalan-jalan di Tunjungan atau di tempat lain yang asyik gitu. Sekali-sekali menikmati weekend di Surabaya asyik juga kayaknya."
"Dih, seperti belum pernah aja. Biasanya juga seperti itu."
"Iya sih, tapi udah beberapa bulan kan kamu nggak ikut kesana bareng kita, Gaby, kangen deh."
"Iya, karena aku nggak segila kamu. Udah tahu sibuk ujian nasional kamu masih suka aja keluyuran ikut tanding di luar kota. Kalau aku nurut dulu sama mama buat nggak ikut lomba-lomba dulu daripada di pingit selamanya nggak di ijinin pergi demi catur. Sumpah bisa mati langkah hidup aku jika seperti itu. Hasilnya, besok aku udah di bolehin buat pergi-pergi lagi."
Meta tertawa kecil sambil merangkul bahu Gaby, teman yang dia kenal di klub catur ini semenjak mereka masih SMP. Yang ternyata begitu SMA mereka justru satu sekolah, meskipun beda kelas.
Baru masuk ke ruangan yang belum terlalu banyak orang suara Rega sudah berteriak memanggil Gaby.
"Gab, sini. Aku mau tunjukin sesuatu sama kamu."
Tanpa banyak bicara Gaby dan Meta segera menuju ke tempat Rega yang sedang duduk sendiri di sebuah bangku. Begitu kedua gadis itu berada di dekatnya, Rega menunjukkan layar ponsel kepada Gaby yang serta merta membuat mata gadis itu terbelalak tak percaya.
Di lihatnya dengan jeli foto Zidane bersama seorang gadis yang bergelayut manja di lengannya. Lebih parahnya lagi, cewek itu tampak berbahagia sambil mencium pipi Zidane.
Zidane adalah pacar Gaby yang baru jadian kira-kira sebulan lalu. Baru jadian sebulan Gaby sudah mendapatkan penampakan seperti itu di wall aplikasi biru itu. Emang sih beberapa waktu terakhir ini dia tidak membuka akun sosmednya sama sekali karena sibuk belajar, jadi meskipun dia berteman dengan Zidane di sosmed tetapi dia nggak tahu kalau ada upload baru gambar itu.
"Gila, ini baru di upload satu jam lalu, Gab," info Rega antusias.
Gaby dan Meta memperhatikan nama pemilik akun sosmed yang baru saja menampilkan foto mesra Zidane dan cewek tadi.
Ternyata bukan akun Zidane, cowok itu hanya di tandai oleh akun cewek tersebut.
"Bukain status hubungan mereka dong, Ga," pinta Gaby. Ada nada emosi yang terasa sekali di tekan oleh gadis itu.
"In relationship dengan Zidane Putra, mulai tanggal hari ini," perjelas Rega.
"Okay, tolong aku kasih screenshoot foto dan tampilan hubungan mereka tadi. Aku mau kirim ke Zidane biar sekalian dia tahu aku lihat pemandangan ini jam berapa."
Rega menuruti permintaan Gaby.
Gabbyella M. : Kita Putus
Pesan itu terkirim via aplikasi w******p mengikuti gambar screenshoot yang Gaby terima dari Rega dan akhirnya dia kirimkan kepada Zidane.
Bip!
Gaby melihat nama Zidane di layar ponselnya dengan sebuah pesan.
Zidane Putra : Gaby, jangan salah paham, Sayang
Zidane Putra : Gab
Zidane Putra : Gab, kamu harus dengar penjelasanku
Gabbyella M. : Tidak perlu. Kita Putus. Titik
Zidane Putra : Please Gab, aku hanya cinta kamu.
Tanpa menghiraukan pesan dari Zidane lagi, Gaby kembali memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas dengan sebelumnya memblokir nomor Zidane.
Meta yang melihat itu dan sudah cukup hafal dengan kelakuan temannya semenjak hampir satu setengah tahun ini hanya bisa menarik nafas pendek dan segera menghembuskannya kembali.
Meta cukup mengenal karakter Gaby mengenai satu hal ini. Masalah hubungan dengan cowok Gaby sepertinya tampak tidak pernah serius. Banyak cowok yang menyukainya meskipun Gaby bukanlah seorang gadis yang sangat cantik bak princess negeri dongeng. Namun, mungkin karena inner beauty yang dia punya sehingga gadis itu tampak sangat menarik di mata cowok.
“Gab, bukankah kamu dulu begitu menunggu Zidane untuk nembak kamu, apakah tak coba kamu dengar dulu penjelasannya?” saran Meta dengan sangat hati-hati.
“Nggak perlu, Met. Aku memang sangat menyukai Zidane, tapi feeling-ku mengatakan bahwa dia ingin bermain- main dengan perasaanku yang mungkin mentang-mentang dia tahu bahwa aku sangat menyukainya. Aku nggak mau jadi hamba Cinta,” tolak Gaby.
"Tapi bisa jadi itu memang bukam sebuah kebenaran, Gab," Meta masih mencoba membuka fikiran Gaby.
"Meski hanya sebuah rekayasa aku nggak mau milik aku di pegang dan di cium-cium sama cewek lain seperti itu. Aku menjaga diri buat dia, seharusnya dia pun melakukan hal yang sama. Zidane pun nampaknya juga nyaman-nyaman saja, pakai di upload di sosmed lagi, jijik aku."
Rega yang diam-diam ikut menyimak pembicaraan Gaby dan Meta hanya mengulas senyum. Gaby memang istimewa. Satu gadis istimewa yang diam-diam menghuni relung hatinya dengan sukses yang mungkin tanpa di ketahui sang empunya. Namun bagi Rega tak mengapa asal dirinya tetap bisa menjadi teman baik gadis itu dan berdekatan dengannya.
Jadi seperti itulah Gaby, begitu ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya dari seorang cowok yang sudah menjadi kekasih atau sekedar gebetannya, maka tanpa perlu mendengar atau mencari penjelasan apapun dia pasti langsung memutuskan dan meninggalkannya. Sampai sekarang tak terhitung lagi banyaknya cowok yang sudah di buat patah hati olehnya.
*****
Di sebuah kafe tak jauh dari markas klub catur Gaby dan Meta tampak asyik makan dan minum bersama anggota yang lain.
"Gab, kapan kamu bakalan insyaf? aku denger barusan tadi kamu putusin Zidane yang cinta mati sama kamu itu, ya?" Gaby menanggapi cuek pertanyaan Robby, salah satu seniornya di klub itu.
"Gaby mah gila, Kak. Udah tahu Zidane cinta mati sama dia gitu malah di putusin, awas aja dia bunuh diri," kali ini Alvin yang bersuara. Sedangkan teman-teman mereka yang lain hanya mengulum senyum.
"Jangan judge aku gitu dong, kalian pasti tahu kan alasan-alasan aku putusin mereka. Kalau nggak bisa komitmen sama aku dengan baik ya lebih baik jangan pacaran sama aku. Terserah mau bunuh diri, mau cari pacar lagi, ya monggo aja," ujar Gaby membela diri.
"Eh, tega kamu Gab, awas aja nanti kamu kena karma jatuh cinta setengah mati. Bisa-bisa terbit novel berjudul ketika seorang player jatuh cinta," cetusan terakhir tadi berasal dari Rega yang di ikuti tawa semua teman-teman Gaby yang ada di tempat itu.
Meskipun kuping agak panas tapi cewek itu diam saja. Tetap cuek sambil menyeruput es jus alpukat kesukaannya.
Begitulah Gaby dan teman-temannya pas lagi kumpul, kadang omongan mereka jika di rasa-rasa emang bisa bikin hati dan perasaan tersinggung. Tapi percuma juga kalau di masukin hati. Semua sudah seperti keluarga, jadi masing-masing sudah kenal sifat orang per orang. Sehingga setiap omongan dan pendapat mereka sebesar 80% boleh di anggap angin lalu saja, sedangkan 20% boleh di anggap serius tergantung kasus.
Dan nyatanya persahabatan mereka begitu akrab, begitu kuat terikat meski di klub mereka itu minim cewek, nyatanya Gaby dan juga Meta bisa hidup dan membaur di antara mereka dengan sangat baik-baik saja.