Bab 3 Ke Surabaya

1348 Kata
Gaby yang sudah berdiri beberapa saat di depan almari hanya menatap pintu dan memegang handle nya tanpa segera membuka. Akhirnya dengan sedikit enggan di bukanya perlahan. Mengambil dua kaos santai, satu setel baju untuk tidur dan satu celana jeans. Di tumpuknya rapi di atas kasur tempat tidurnya kemudian berlanjut menuju meja belajar yang jika boleh di sebut sekaligus merangkap meja riasnya meski hanya ada empat barang di situ yaitu bedak, lipgloss, body mist spray dan sisir. Dua barang adalah hasil buruan dan hibah dari Mbak Asya, sudah pasti adalah bedak dan lipgloss warna merah muda lucu, kalau body mist spray dan sisir adalah harta benda pribadinya karena merasa wajib pakai tiap hari. Gaby menimang benda-benda itu sebentar, memikirkan apakah bedak dan lipgloss perlu di bawa juga kali ini. Dan akhirnya gadis itu memutuskan memasukkan perlengkapan perang khas cewek itu ke dalam tas ranselnya, tak lupa charger handphone dan perlengkapan mandinya. “Mbak, abis ini jadi berangkat ke Surabaya?” tanya Manda yang tumbenan tidak langsung kabur bermain ke rumah temannya sepulang sekolah tadi. Gaby menoleh ke arah adik satu-satunya tersebut kemudian tersenyum dan mengangguk, “kenapa?” tanya Gaby akhirnya. “Kalau Mbak Gaby menang, aku minta di belikan oleh-oleh ya, Mbak.” “Kamu kepengin apa, sih?” “Bandeng asap kesukaan mama, Mbak.” Gaby tertawa kemudian mengacak gemas rambut adiknya. “Itu bukan oleh-oleh khas Surabaya, Manda, itu oleh-oleh khas Gresik seperti yang biasanya Bunda beli, kan?” tanya Gaby. Bunda yang di maksud di sini sebenarnya adalah tante mereka yang bertempat tinggal di Surabaya namun sangat sering pulang ke Malang. Manda mengangguk polos. “Kata Bunda itu bisa di beli di Surabaya, kok. Ada pusat oleh-oleh yang jual Bandeng seperti itu.” “Iya-iya, meski nggak menang nanti aku usahakan beli deh buat kamu dan mama. Nanti aku telepon Bunda tanya tempat belinya di mana.” Wajah Manda segera berbinar cerah mendengar kalimat kakaknya. “Kok kamu mintanya oleh-oleh buat mama? kamu sendiri pengin apa?” tanya Gaby selanjutnya yang mendapat jawab gelengan kepala dari Manda. “Mbak Gaby bawain oleh-oleh buat mama aja, biar mama hatinya seneng dan nggak suka marah-marah sama Mbak Gaby yang bandel ini.” Gaby menghentikan sejenak aktifitasnya, Senyum terukir di bibirnya karena merasa terharu dengan permintaan Manda. Didikan keras mama selama ini sepertinya membuat anak-anak beliau tumbuh dewasa dengan cepat tak perduli mereka sekarang baru di usia berapa. “Makasih ya, Man, udah ingatin Mbak Gaby. Nanti kalau Mbak menang, Mbak bawain oleh-oleh sendiri buat kamu. Doain, ya?” Manda tersenyum, berucap "oke" kemudian tanpa kata apa-apa lagi segera keluar dari kamar kakaknya. Sedangkan Gaby yang di kamar sendiri hanya bisa tersenyum penuh haru memandang bingkai foto berisi empat perempuan berwajah mirip penuh senyum bahagia menghiasi dinding kamarnya. “Gaby janji akan menjadi anak kebanggaan keluarga,” bisik hati kecil Gaby. … Jam dinding menunjuk angka empat sore lebih lima belas menit. "Ma, Gaby berangkat dulu, ya. Doakan Gaby menang," pamit Gaby pada mama yang mengantar sampai depan rumah. Mencium tangan dan memeluk sesaat wanita berusia pertengahan empat puluh tahun itu yang segera mengelus sayang kepala putri tengahnya sambil mengangguk dan tersenyum manis. Setelah mendapat restu dari mama, gadis itu segera keluar rumah menuju mobil Robby yang menunggu. Sebelum masuk mobil Gaby menyempatkan menoleh lagi dan melihat sebentar ke arah Manda dan Mbak Asya yang berdiri di depan pintu sedang melambaikan tangan ke arahnya di iringi senyuman keduanya. Gaby membalas senyum dan lambaian kedua saudaranya. Sebelum masuk mobil Robby ikut berpamitan pada Mama Gaby dengan sapaan sopan dan melambaikan tangan yang di balas dengan lambaian tangan perempuan yang sudah cukup mengenalnya. Pada akhirnya mobil segera melaju meninggalkan kediaman Gaby dan keluarganya. "Kira-kira macet apa enggak ya, Kak? trus bisa sampai Surabaya jam berapa, ya?" tanya Gaby pada Robby yang duduk di sampingnya sambil mengemudi.Tak lupa Gaby melirik teman-temannya dari kaca spion tengah. Ternyata adat belum berubah, setiap kali mereka berangkat bersama-sama, anggota lain yang semobil dengannya pasti menikmati perjalanan dengan tidur nyenyak. Mungkin sebelum berangkat tadi mereka terlalu capek dengan sekolah, kuliah atau kegiatan lainnya, sehingga begitu di dalam mobil mereka jadi susah melek. Termasuk Meta yang tampak tertidur pulas dengan bersandar di bahu Rega yang duduk di sampingnya. Robby melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjuk angka lima sore. "Biasanya weekend gini yang macet arah masuk ke Malang, di Singosari sama Lawang. Kalau arah keluar Malang harusnya lancar, sih. Kita lewat tol aja lebih cepat, mungkin nggak sampai jam tujuh malam kita udah masuk Surabaya. Justru nanti di jalan A.Yani Surabaya lah yang bakal padat merayap karena banyak yang menikmati malam minggu ke pusat kota," jelas Robby yang hampir satu bulan sekali OTW Malang-Surabaya PP dengan segala keperluan, karena kebetulan keluarganya memiliki satu rumah juga di Surabaya. "Ternyata lama juga aku nggak ikut ke Surabaya ya, Kak. Jadi merasa seperti orang baru lagi, ada yang berubah nggak, sih dengan Surabaya?" ucap Gaby yang mendapat sahutan tawa dari cowok di sampingnya. Seorang senior yang berusia empat tahun lebih tua dari Gaby yang masih menimba ilmu di salah satu universitas negeri di Malang. “Masih tetap semua, ikan Suro sama Boyo yang di depan bonbin itu masih di situ juga belum nyebur ke Kali Jagir,” kelakar Robby. Gaby tertawa, bonbin adalah singkatan sederhana untuk kebon binatang sedangkan nama kali Jagir juga sangat tak asing baginya, satu sungai besar yang membelah Kota Surabaya. Gaby ingat ketika di Surabaya dirinya dan teman-temannya suka kongkow di satu warkop besar atau kafe di pinggir sungai itu yang hampir tiap hari ramai apalagi jika malam minggu seperti sekarang. "Kita mau kongkow di mana dulu nih?" tanya Robby setelah terdiam beberapa saat. Setiap kali Gaby berada satu rombongan dengan mobilnya, cowok itu selalu meminta Gaby duduk di sampingnya. Alasannya klasik, karena yang lain pada doyan molor sedangkan Gaby pasti dengan setia akan menemaninya ngobrol sepanjang perjalanan. "Ke Taman Bungkul sepertinya oke deh, Kak. Ramai. Pasti asyik duduk-duduk santai sambil menikmati pentol cilok atau batagor." Lagi-lagi Robby tertawa mendengar usulan Gaby. "Nasib deh kalau perginya sama abg-abg ingusan gini." "Yah, emangnya kalau sama abg yang nggak ingusan Kakak kongkow dimana?" "Ya cari yang asyik dong, bilyard sambil di temenin cewek cantik dan seksi, ke diskotik, panti pijat, ya pokoknya tempat yang asyik-asyik deh." "Duh, rusak nih rusak, parah ... parah ... “ teriak Gaby sambil menoyor bahu samping Robby dengan gemas karena sadar sedang di kerjain. Robby kembali tertawa. Dia paling suka menggoda salah satu juniornya di klub ini yang meskipun tampak tomboi tapi hidupnya masih lurus-lurus aja dan malah terkesan anak mama. Cuaca Surabaya cerah ceria. Malam menunjuk pukul sebelas malam. Suasana Taman Bungkul yang berada di Jalan Raya Darmo itu semakin semarak dengan muda mudi yang menikmati malam minggu mereka. Gaby dan teman-temannya asyik menikmati jajanan khas Suroboyo yang banyak di jual oleh PKL di sekitar Taman Bungkul yang berjajar rapi. Mereka tinggal pilih saja. Mau lontong balap, rujak cingur khas Suroboyo, semanggi Suroboyo, sampai penjual pentol cilok dan batagor impian Gaby semenjak tadi siap memanjakan lidah dan perut yang memang sudah minta di isi. Minuman wedang ronde menghangatkan tubuh mereka yang terkena hembusan sepoi angin malam di salah satu taman yang terletak tepat di pinggir salah satu jalan utama kota Surabaya ini. "Dari mana, Gab?" tanya Meta yang sepertinya sudah menahan kantuk luar biasa. "Habis lihat pertandingan skateboard di sebelah sana," jawab Gaby sambil menempatkan tubuhnya di samping Meta. Beberapa menit lalu dia memang menghilang sebentar untuk menikmati permainan skateboard di salah satu area khusus yang di sediakan di Taman Bungkul itu. "Kak, balik yuk. Ngantuk banget, nih," ajak Meta pada Robby yang duduk tidak jauh dari dirinya yang terduduk lunglai dengan mata yang meleknya kurang dari lima watt. "Ya ayo deh, kita butuh istirahat biar besok fikiran jernih dan bisa fokus mematikan langkah lawan," jawab Robby yang mengiyakan ajakan Meta, ternyata semua sepakat beranjak dan segera berkemas. Selanjutnya perjalanan di lanjutkan dengan menuju ke rumah Robby yang hanya merupakan rumah singgah setiap kali dia atau keluarganya sedang berada di Surabaya. Seperti yang sudah menjadi jadwal rutin setiap ada keperluan atau pertandingan di Surabaya, mereka pasti menginap di rumah itu. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN