Nirmala diam. Ah, sebenarnya dia sadar hanya menyusahkan kakak sepupunya. Tapi dia merasa nyaman tinggal disitu. Dia juga kasihan sebenarnya sama Hans. Beberapa waktu yang lalu, Hans sempat didatangi Pak RT komplek perumahan. Mengenai mereka yang tinggal serumah. Karena Hans bisa meyakinkan mereka, makanya Nirmala masih bisa tinggal di sana.
"Nggak mau tinggal sementara di rumah Pandu?"
Nirmala menggeleng.
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau. Mas nggak akan maksa. Tapi kamu jaga diri baik-baik. Jangan neko-neko yang bisa membahayakan kamu dan bayimu."
Wanita itu tersenyum lega dan mengangguk.
"Terima kasih. Aku selalu nyusahin, Mas, saja. Sampai nggak ada waktu untuk, Mas, kencan."
"Kencan dengan siapa?"
Nirmala mengangkat bahunya. "Dengan pacar, Mas-lah."
Hans tersenyum hambar, "udah, ayo sarapan. Anakmu sudah lapar tuh!"
"Iya. Pagi-pagi kalau nggak segera diisi pasti salto sana, tendang sini." Nirmala tertawa geli sambil mengusap perutnya.
"Nah, gitu dong. Anak harus di sayang."
Nirmala tersenyum, kemudian keduanya sarapan. Tumis sawi sama ayam goreng. Menu sederhana karena kemarin Nirmala tidak sempat belanja.
Selesai makan Hans segera berdiri dan mengambil kunci mobil di meja kecil pojok ruangan.
"Mas berangkat kerja dulu. Nanti pulang Mas beliin roti. Bisa kamu makan sewaktu-waktu."
Nirmala mengangguk.
Beberapa saat setelah Hans pergi, sebuah mobil memasuki pekarangan. Nirmala bergegas membuka pintu, dipikirnya Hans yang putar balik. Mungkin ada sesuatu yang ketinggalan. Tapi rupanya bukan. Dia tercekat melihat Brian yang sudah berdiri disamping mobilnya. Berpakaian rapi hendak berangkat kerja.
Nirmala melangkah duduk di kursi teras. Brian mendekat.
"Maaf, jika kedatanganku mengganggumu." Brian berkata sambil berdiri di tangga teras.
"Duduklah! Ada apa? Surat cerai kita sudah beres 'kan?"
Brian duduk di kursi teras. Berhadapan dengan Nirmala.
"Ya, aku sudah menerimanya."
"Berarti urusan kita sudah selesai. Terus ada perlu apa kemari?"
Brian menunduk, dia kebingungan mau bicara apa.
"Aku melihatmu tadi di kafe mall. Aku baru tahu kalau kamu mengandung. Usianya sudah tujuh bulan lebih kan?"
"Untuk apa tahu. Bukankah kamu sudah bilang nggak mau tahu apapun tentang aku setelah malam itu."
Brian diam.
"Jangan khawatir dengan anak ini. Sampai kapan pun dia tidak akan tahu siapa ayah kandungnya."
Dada pria itu bagai ditusuk belati. Nyerinya terasa disepanjang denyut nadi. Sesak.
"Pergilah. Tidak usah memperingatkan aku lagi. Aku sudah paham dengan apa yang kamu inginkan saat pagi itu kamu mengusirku."
Setelah berkata demikian, Nirmala segera masuk rumah. Dan menutup pintu dengan pelan. Kemudian melangkah gontai menuju belakang. Dia ingin menghibur diri dengan memasak. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bahagia. Biar bisa melahirkan dengan lancar.
Sedangkan Brian melangkah gontai ke arah mobilnya. Gagal sudah rencananya. Dari tadi malam dia datang menemui Nirmala karena ingin minta maaf. Tapi dia kalah karena salah sangka wanita itu. Padahal dia datang, bukan seperti dugaan Nirmala. Mungkin ini pantas untuk Brian terima. Nirmala menghindar sebelum mendengar maksud tujuannya datang.
Brian masuk mobil. Lantas pergi dengan kekecewaan.
🌷🌷🌷
Pukul tujuh malam, Hans baru pulang. Nirmala membukakan pintu. Kemudian menyiapkan teh hangat untuk sepupunya.
Nirmala menyiapkan makan malam, lalu menunggu Hans di ruang makan.
Wanita itu tidak bercerita tentang kedatangan Brian pagi tadi. Dia malah bilang kalau tadi Papanya nelfon dan ingin Nirmala kembali pulang ke rumah.
"Terserah, Nirmala, aja. Senyamannya kamu. Kamu butuh tenang untuk persiapan persalinan. Mas tetap mempersilahkan kalau kamu nyaman tinggal disini." Hans memberikan pendapatnya.
"Aku pulang saja, Mas. Nanti disini tambah merepotkan, Mas Hans. Ntar malah nggak ada cewek yang mau deketin, karena dipikir kita ini suami istri."
Hans tertawa. "Bisa aja kamu."
"Aku sudah berkemas-kemas. Besok, Mas, antar aku pulang."
Pria itu mengangguk. "Kalau butuh apa-apa jangan sungkan nelfon Mas."
"Iya."
🌷🌷🌷
Sepulang kerja, Hans duduk merenung di ruang keluarga. Seminggu setelah Nirmala pulang ke rumah orangtuanya. Rumah terasa sunyi bagi Hans. Biasa pulang kerja rumah bersih dan ada wanita yang membukakan pintu dengan perut buncitnya. Sekarang tidak ada. Atau suara beradu perabot dapur sehabis subuh disertai aroma masakan penggugah selera di awal pagi, sekarang pun sepi dan hambar. Dia kembali pada kebiasaan semula. Sarapan mie instan, roti, atau beli di warung depan.
Hans meletakkan ponsel yang tadi dipengangnya di meja. Kemudian rebah di sofa panjang tempat dia duduk. Tatapannya jatuh pada sofa tunggal di depannya. Biasa disitu Nirmala duduk sambil nonton tivi. Sambil memegang toples isi cemilan. Toples itu akan nangkring di atas perutnya.
Sekarang toples di meja masih utuh isinya, tidak tersentuh.
"Mas, ganti dong chanelnya. Ganti kartun, biar anakku nonton juga."
Hans akan tertawa ngakak dengan permintaan Nirmala. Bagaimana mungkin, anak di dalam perut bisa nonton tivi.
"Mas, ntar pulang kerja beliin piza, ya. Ini uangnya."
Sekalipun uangnya sering ditolak. Tapi Nirmala tetap saja menghulurkan uang jika dia ingin dibelikan sesuatu.
Tiap seminggu sekali, Pandu atau orang tuanya selalu mengirim uang jajan buat Nirmala. Biar tidak merepotkan Hans.
"Kalau aku nggak ada, Mas, jangan males bersihin rumah. Seprei jangan lupa diganti. Jangan sampai dekil gitu." Nirmala masih sempat cerewet saat diantarnya pulang.
Hans merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Ketika yang ada hanya kenangan tentang Nirmala.
Next ....