Kesunyian 1

832 Kata
Brian mengehentikan mobil tepat di depan rumah mewah bercat putih dua lantai. Suasana nampak sepi siang itu. Pagar rumah juga tertutup rapat. Saat ia turun dari mobil, seorang satpam menghampiri. "Pak Rudy di rumah, nggak, Pak?" tanya Brian. "Oh, ada, Mas. Mari masuk." Tampaknya mereka sudah kenal baik. Rudy Haryadi adalah pengacara langganan keluarga Brian. Istri Pak Rudy adalah seorang notaris, yang mengurus banyak hal tentang perusahaan keluarga pria itu. Brian dipersilahkan duduk di kursi teras samping. Sedangkan satpam setengah baya itu masuk ke dalam rumah lewat pintu yang terhubung langsung dengan teras. Tidak lama kemudian muncul Pak Rudy. Pria seumuran Papanya Brian tersenyum sambil menjabat tangannya. "Mas Brian. Tumben, biasanya nelfon dulu." "Ya, tadi memang sengaja mau kemari. Saya hanya mau nanya. Sampai mana urusan perceraian saya." "Loh, apa Bu Maya belum ngasih tahu ke, Mas Bri?" Brian bingung. "Ngasih tau apa, ya, Pak?" "Kan, kemarin siang saya ngantar surat cerai, Mas Bri, ke rumah. Semua sudah beres, Mas." Brian terkejut. Matanya menyipit, hingga membuat dahi pria tampan itu berkerut. "Kenapa, Pak Rudy, nggak nelpon saya dulu." "Saya 'kan ngikut dengan apa yang, Mas Brian, bilang. Katanya semua biar saya yang ngurus. Mas, nggak mau tahu. Yang penting beres. Nah, sekarang sudah beres. Bahkan lebih cepat dari biasanya." Brian mengusap kasar wajahnya. Kini dia menjadi gusar. Dia segera bangkit berdiri. "Baiklah, Pak. Terima kasih, ya. Saya permisi dulu." Setelah bersalaman, Brian berjalan cepat menuju mobilnya. Kemudian mobil Mercedes keluaran terbaru itu melaju cepat menuju sebuah tempat. Yaitu rumah Mamanya. Pikirannya kalut. Bayangan Nirmala dengan perut buncitnya sangat mengganggu pikiran. Yang lebih menyedihkan, wanita itu tidak memberitahu atau bahkan mencarinya. Dia melakukan persis seperti apa yang pernah diucapkan sebagai ancaman waktu itu. Bahwa Brian tidak mau tahu jika pada akhirnya Nirmala mengandung. Mobil memasuki halaman rumah Mamanya. Dan berhenti tepat di depan garasi. Pada saat yang bersamaan, Mbak Yulia keluar rumah. "Hai, darimana kamu?" tanya kakaknya yang hendak pergi. Di tangannya ada hand bag dan kunci mobil. "Mama mana, Mbak?" Bukannya menjawab, Brian malah bertanya. "Ada di dalam." Brian masuk rumah dan terus menuju ruang keluarga. Kemudian naik tangga ke lantai atas. Saat itu Mamanya keluar dari kamar. "Bri, ada apa?' tanya sang Mama heran. "Mama sudah terima surat perceraianku dari Pak Rudy?" "Ya, puas sekarang kamu. Itu kan yang kamu inginkan?" Bu Maya menguraikan geramnya pada putra bungsunya. Menatap Brian dengan kekesalan. Sedangkan Brian menghela nafas panjang. Tidak berani bertentang mata dengan Mamanya. "Nirmala mengandung, Ma," ucap lirih Brian. Tapi sukses membuat Mamanya terkejut. "Apa katamu?" "Nirmala hamil." "Astaga, Brian. Kenapa kalian cerai kalau Nirmala hamil?" "Aku nggak tahu, Ma." "Bagus kalau sampai kamu tidak tahu. Egomu telah membuat anak orang sengsara. Papanya Nirmala hingga parah sakitnya." Brian memandang jauh keluar lewat jendela kaca yang ada di ruangan itu. Dia juga tahu. Sekarang papanya Nirmala tambah drop setelah mengetahui kondisi anak bungsunya. Sepandai apapun mereka menutupi, akhirnya terbongkar juga. Omelan Bu Maya makin memanjang pada Brian siang itu. Untung Mbak Yulia keluar, kalau tidak, alamat kupingnya panas mendengar kemarahan dua wanita penting dalam hidupnya. 🌷🌷🌷 Malam itu Brian gelisah. Bayangan Nirmala dan perut besarnya sangat mengganggu pikirannya. Tanpa dia tahu, seorang bayi akan lahir dari malam pertama yang mereka lalui. Brian juga ingat kata-kata kejam yang dia lontarkan pada Nirmala. Semua seperti menghujam dalam d**a. Brian kini merasakan sakitnya. "Kamu temui Nirmala atau keluarganya. Tunjukkan kalau kamu pria yang punya tanggungjawab." Itu yang dikatakan Mamanya siang tadi. Brian menghela nafas panjang. Pandangannya lurus pada langit-langit kamar. Kilas balik segala yang terjadi sebelum pernikahan, menghantuinya kini. Sepak terjangnya sebagai pria sukses dan charming membuatnya digilai banyak wanita. Bahkan mereka suka rela bersenang-senang tanpa tuntutan pernikahan. Bertahun berpetualang, baru dengan Nirmala dia mendapatkan perawan. Harusnya dia bersyukur, seburuk apapun kelakuannya, tapi beruntung masih mendapatkan istri yang masih suci. Bukan malah mengamuk seperti pagi itu. Andai Nirmala memaafkan, belum tentu keluarganya terima. Brian juga ingat bagaimana Hans dan Pandu menemuinya. Kedua pria itu marah bukan main. Itu sudah menandakan kalau riwayatnya sebagai suami adik mereka sudah tamat saat itu juga. Pikiran Brian terus mengembara hingga terlelap karena kelelahan. 🌷🌷🌷 Pagi itu Nirmala baru selesai mandi dan ganti baju. Dia segera keluar kamar. Di ruang makan Hans sudah menunggunya untuk sarapan. Habis subuh saat Nirmala masak tadi kakak sepupunya bilang mau ada yang ingin dibicarakan. "Duduklah, Nirmala, ayo sarapan," ucap Hans saat Nirmala datang dan mematung sebentar di dekatnya. "Ada apa, Mas?" "Mas ada kerjaan di luar kota kira-kira hampir semingguan. Daripada kamu sendirian, apa nggak sebaiknya untuk sementara tinggal dulu di rumah Mama kamu. Mas khawatir ninggalin kamu sendiri di sini." Nirmala menunduk. Jika tinggal di rumah orang tuanya. Dia hanya akan menambah kesedihan papanya saja. Nirmala tidak tega. Pak Malik sebenarnya juga tahu kalau Nirmala tinggal di rumah Hans. Bahkan beliau juga sempat meminta Nirmala untuk pulang, tapi pernah di coba hampir seminggu, yang ada malah membuat papanya terpuruk. Kalau dia menjauh, papanya berfikir Nirmala baik-baik saja. "Aku sendirian saja disini, Mas." "Jangan, kalau ada apa-apa gimana?" "Aku akan baik-baik saja." "Mas khawatir."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN