Ketegasan Hans

1246 Kata
"Kenapa ponselnya dimatiin, Nirmala. Tadi Mas telfon berulang kali tapi tidak bisa," tanya Hans pada Nirmala ketika mereka selesai makan malam. Sepulang kerja tadi, Hans membeli nasi padang untuk mereka berdua. "Iya. Aku takut Mama nelfon, Mas. Jika Papa tahu kalau aku ada masalah. Nanti sakit jantung Papa kambuh lagi. Tadi sempat aku aktifkan sebentar pas Diyan nelfon." Diyan ini teman kerja Nirmala. Makanya tadi tahu waktu Hans menemui Brian karena kantor mereka berdekatan. "Tapi masalah ini harus diselesaikan, atau kita selesaikan sendiri baru ngasih tahu Tante." "Jangan sekarang." "Kok jangan sekarang? Memangnya kamu terima dituduh begitu. Atau memang kamu yang menjebaknya waktu itu." Selidik Hans. Nirmala berdecak sebal. "Mas, ini. Ngapain juga aku ngelakuin itu. Kayak nggak laku aja." "Makanya itu, harus diselesaikan." Nirmala diam. Memainkan sisa nasi di piring dengan sendok. Ia pun bingung. Takut tepatnya. Mendadak menikah. Satu bulan hidup bersama penuh dengan tekanan batin. Keduanya saling tuduh tentang siapa yang menjebak, hingga mereka tidur bersama malam itu. Ketika keadaan mulai membaik dan mereka berusaha menerima satu sama lain, justru malam pertama mereka jadi bencana. Keperawanan yang harusnya dibanggakan, malah dipermasalahkan. Namun demikian, Nirmala lega. Karena memang malam naas itu mereka tidak berzina. "Hayo, melamun," tegur Hans sambil mengetuk jemarinya ke meja. Nirmala memandang kakak sepupunya sebentar. Pada saat yang bersamaan terdengar suara mobil memasuki halaman. Sejenak ada suara dua pintu mobil di buka dan tutup. Dan ketukan di pintu depan membuat Hans bangkit berdiri dan melangkah ke depan. Nirmala mengekori di belakang. Dua orang wanita beda usia berdiri di depan pintu. Yulia dan Mamanya. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab Hans. Sementara Nirmala yang semula berlindung di balik punggung lebar sepupunya segera menggeser diri lantas menyalami mertua dan kakak iparnya. "Mari, silakan masuk." Hans mempersilakan ibu dan anak itu. Setelah berbasa-basi hal yang tidak penting, Bu Maya menggeser duduk mendekati menantunya. Mengusap lembut punggung tangan Nirmala. "Mama sudah tahu semuanya. Yulia yang cerita. Untuk itu Mama minta maaf atas kelakuan Brian." Bu Maya bicara. "Mama ingin menjemputmu pulang." Nirmala memandang Hans. Pria itu masih diam memandang adik sepupunya. Sedangkan Yulia lebih banyak memperhatikan pria di depannya yang pernah tiga tahun menjalin kasih dengannya. Tetapi berakhir karena perbedaan prinsip. Yulia yang terbiasa dengan segala kemewahan dan memperjuangkan karirnya, sedangkan Hans adalah pria mandiri, tegas dan tidak suka bertele-tele. "Bagaimana, Nirmala? Ayo kita pulang," Bu Maya mengulang tanya. Nirmala menggeleng, "maaf, Ma. Saya belum bisa." Bu Maya memandang Hans. "Bagaimana, Nak Hans?" "Kalau saya pribadi tidak setuju Nirmala dijemput sama, Tante. Harusnya suami yang menjemput istrinya. Jujur saja saya tidak ingin Nirmala disakiti. Kalau bukan Brian yang menjemput adik saya. Saya tidak akan melepaskannya." Ucapan tegas Hans membuat Yulia memandang pria itu. Inilah yang disukai Yulia dengan sosok Hans. Tapi sejak berpisah, Hans sedikit pun tidak memandangnya lagi. "Saya harap, Tante, memberikan kesempatan pada mereka berdua untuk saling introspeksi diri." Bu Maya menganggukkan kepala. Ia paham. Tapi juga agak kecewa, karena gagal membawa Nirmala pulang. Jauh dilubuk hatinya, wanita itu berharap agar putranya berubah setelah menikah dengan gadis sebaik Nirmala. Dan berhenti berpetualang dengan perempuan-perempuan tidak jelas. "Maaf, Tante. Jika saya yang mengambil keputusan. Karena keluarga Nirmala memang belum tahu dan tidak kami beritahu. Om saya lagi sakit sekarang." Bagaimanapun Hans tetap sopan pada wanita umur enam puluhan itu. Perasaan Yulia bergetar hebat. Ketegasan pria itu yang ia kagumi selama ini. "Dan satu lagi, tidak mungkin Nirmala melakukan apa yang dituduhkan putra, Tante. Nirmala punya kekasih saat itu, jadi untuk apa dia menjebak Brian. Yang Nirmala sendiri tahu bagaimana dia." Nirmala memandang kakak sepupu yang membelanya malam itu. Hans ini berbeda dengan Mas Pandu, yang lebih mengedepankan emosi daripada diskusi. Sedangkan Hans, kalau memang tidak keterlaluan dia tidak akan memakai kekerasan. "Ya, Tante tahu. Tante percaya sama Nirmala." "Jadi untuk sementara biarlah Nir di sini. Selagi Brian belum punya keputusan sendiri. Melanjutkan pernikahan atau mengakhiri." "Mama berharap kalian tidak sampai pisah," ujar Bu Maya sambil mengusap punggung menantunya. "Semua bisa dibicarakan baik-baik, Nirmala." Mbak Yulia menimpali. "Oh, ya, Nir. Buatkan minum untuk Tante dan Yulia," perintah Hans pada Nirmala. Dan adiknya langsung berdiri, tapi dicegah Bu Maya. "Nggak usah. Kami juga mau pamitan. Mama akan bicara dengan Brian." Bu Maya segera berdiri diikuti Yulia. Hans dan Nirmala juga melakukan hal yang sama. Mereka berpamitan, diantar Hans sama Nirmala hingga ke teras depan. Sebelum masuk mobil, Yulia sempat menatap lama mantan kekasihnya. Tapi Hans tidak peduli. Ia segera mengajak Nirmala masuk rumah. "Mas tidak setuju kamu begitu mudah luluh dengan pria yang tidak tahu bagaimana menjaga perasaanmu. Pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan." Hans memberikan pendapatnya setelah mereka duduk di sofa ruang tamu. Nirmala mengangguk. 🌷🌷🌷 Pagi itu Nirmala sudah rapi dengan setelan kerjanya. Kemeja wanita warna putih dan rok span hitam sebawah lutut. Rambutnya di jepit diatas telinga sebelah kanan. Dia nampak segar dan cantik. "Nah, gitu dong. Cantik." Puji Hans saat Nirmala muncul dan duduk di kursi ruang makan. Mereka menikmati sarapan nasi kuning yang dibeli Hans di ujung gang. "Tadi malam Mama nelfon, nggak kujawab, Mas. Aku balas pesan saja." "Tante nggak nanya apa-apa?" Nirmala menggeleng. "Nggak. Cuman ngasih tahu kalau Papa sempat demam kemarin siang. Mas Pandu sama istrinya juga datang." "Terus ...." "Aku bilang ke Mama, kalau longgar sepulang kerja aku kesana." "Naik apa? Mas pulang malam hari ini. Ada kerjaan di luar." "Aku naik grab saja." "Okelah, hati-hati. Ada apapun segera telfon." Nirmala mengangguk. Keduanya menghabiskan sarapan dan teh di gelas. Hans terlebih dulu mengantar Nirmala ke kantornya. Baru dia berbalik arah untuk ke kantornya sendiri. 🌷🌷🌷 Matahari sangat terik siang itu. Nirmala melangkah disamping Diyan untuk makan siang. Kebetulan mereka tidak makan di kantin kantor. Restoran ayam bakar yang berada beberapa meter dari kantor menjadi tujuan mereka. Sesekali Nirmala dan Diyan tersenyum pada rekan yang mendahului. "Kamu tadi diantar Mas Hans, kan?" Nirmala mengangguk. "Kenapa? Kamu ada masalah sama Brian." "Nanti habis makan aku cerita." Nirmala dan Diyan mengambil tempat duduk paling pinggir, yang jauh dari jangkauan kipas angin. Karena hanya tempat itu saja yang masih kosong. Disebelah lain nampak Brian makan dengan asistennya. Tidak sengaja pandangan mereka beradu. Nirmala buru-buru mengalihkan perhatian. Dalam benak kembali terasa nyerinya. Kemudian ia menanggapi omongan Diyan sambil menunggu pesanan datang. Saat asyik ngobrol, dari samping berdiri pria itu. "Boleh bicara sebentar." Tanpa mengiyakan, Nirmala segera berdiri setelah izin dengan Diyan. Brian mengajak istrinya ke mobilnya yang terparkir. "Mau kemana? Aku belum makan siang ini," protes Nirmala. "Ngomong sebentar di mobil." Brian membuka mobil dan menyalakan mesin agar AC berfungsi untuk meredam panas. "Apa yang dibicarakan Mamaku tadi malam?" "Nggak ada." "Jangan bohong. Mama bilang aku harus merayumu untuk pulang, bukan?" "Nggak usah dilakukan. Siapa juga yang sudi kembali pada pria yang tidak bisa menghargai wanita." Brian tersenyum miring. "Kamu pikir, aku akan merayumu kembali? Tidak akan." "Bagus. Aku juga tidak ingin kau rayu untuk kembali. Jadi, abaikan saja permintaan Mamamu." Brian diam. Ia memperhatikan beberapa karyawan yang berjalan pergi dan kembali dari rumah makan. "Bagaimana jika kamu hamil?" Nirmala menoleh sebentar. "Seperti katamu, aku tidak akan memberitahumu, bahkan anak itu juga tidak akan tahu kalau memiliki ayah seperti dirimu. Atau bahkan mungkin ... aku tidak akan melahirkannya. Banyak cara 'kan agar dia tidak lahir?" Setelah berkata demikian, Nirmala membuka pintu mobil. Lantas menghempaskannya kuat-kuat. Brian memperhatikan Nirmala yang berjalan tergesa ke arah rumah makan. Ada perkataan wanita itu yang terngiang di telinganya, "... aku tidak akan melahirkannya. Banyak cara 'kan agar dia tidak lahir?" Entah kenapa kata-kata itu membuatnya merinding. Sebrutal dan seliar apapun dia, tapi belum pernah sekalipun ia bermain-main dengan nyawa. Next ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN