Jangan Bunuh Dia 1

742 Kata
- Jangan Bunuh Dia Nirmala gelisah duduk di depan layar tivi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi Hans belum juga pulang. Diraihnya ponsel dan mencari kontak kakak sepupunya. "Hallo, Assalamualaikum." Terdengar suara diseberang, bercampur dengan suara bising kendaraan. "Waalaikumsalam. Mas, dimana ini. Jam berapa mau pulang." "Jam sepuluh mungkin sampai rumah. Kamu tidur aja kalau capek. Mas bawa kunci rumah." "Oh gitu, ya. Okelah aku tidur dulu. Aku buatin teh panas di meja makan, ya." "Nggak usah. Kamu tidur saja. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Nirmala segera berdiri untuk mematikan lampu ruang tamu, dan menyalakan lampu malam yang kekuningan. Begitu juga dengan ruang makan. Tinggallah ruangan yang remang-remang. Wanita itu masuk kamar dan merebahkan tubuh. Rasanya sangat lelah. Setelah berkutat di kantor seharian. Apalagi sepulang dari kantor langsung menyambangi Papanya. "Suamimu mana, kok kamu sendirian?" tanya sang Mama tadi. "Brian lembur, Ma," jawabnya bohong. Untungnya Papa dan Mamanya percaya. Setelah itu mereka tidak bertanya apa-apa lagi. ***L*** "Mas, pulang jam berapa tadi malam?" tanya Nirmala sambil meletakkan gelas teh di meja makan. Hans duduk sambil mengancingkan lengan kemeja. "Jam setengah sebelas." "Malam banget." "Mas keluar kota. Perjalanannya yang nyita waktu." Nirmala meletakkan nasi bungkus di atas piring. Kemudian menggesernya tepat di depan Hans. Pagi-pagi sekali ia keluar beli nasi rames di warung depan. "Tante nanya apa aja kemarin?" "Cuman nanya kemana Brian, kok aku datang sendirian. Aku jawab aja Brian sibuk." "Tapi nggak selamanya kamu bisa bohong. Segera diselesaikan, sebelum Tante, Pandu bahkan Om tahu masalahmu." "Aku males ngomong sama dia, Mas. Bahkan aku mau jujur ke Mama. Tapi takut papa dengar." "Ya udah, ntar aja cari waktu yang tepat. Ayo buruan makannya. Mas mau berangkat cepat ini," kata Hans. "Kok buru-buru, sih. Masih pagi juga. Kayak mau kejar setoran aja." Hans menyesap teh hangat di gelas. "Iyalah, harus kerja keras, dong. Biar bisa bikin anak orang senang." "Anak orang? Mas, udah ada gebetan baru ya? Siapa-siapa, ayo ngaku." Nirmala penasaran dengan kalimat kakak sepupunya. Karena sejak putus dengan Yulia, belum pernah Hans dekat lagi dengan perempuan. "Nggak ada. Udah, Cepetan makannya. Kepo ini anak." "Yeay ...," ucap Nirmala dengan bibir mencebik. ***L*** Waktu terus berlalu demikian cepat. Nirmala mulai terbiasa dengan kondisi sekarang. Ia tidak peduli dengan kasak kusuk para rekan yang mempertanyakan hubungannya dengan Brian. Ia memasabodohkan semua. Walaupun di depan orang tua masih harus bersandiwara. Hans juga mulai tenang melihat Nirmala yang baik-baik saja. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai engineering, ia disibukkan dengan proyek baru. Hanya waktu sarapan pagi saja, ia bisa ngobrol dengan Nirmala. Atau sambil mengantar wanita itu berangkat kerja. Namun, pagi itu Hans yang telah rapi dan keluar dari kamar mendengar Nirmala menangis di kamarnya. Segera ia mendekat ke pintu. "Nirmala, ada apa?" teriaknya dari luar kamar. Tidak ada jawaban. Malah tangis itu tambah keras. "Nirmala," panggil Hans lagi. Tetap tidak dijawab. "Nirmala, buka pintu." Hans memutar gagang pintu kamar dan terbuka. Dilihatnya sang adik duduk memeluk lutut di lantai, punggungnya bersandar pada ranjang. "Hey, ada apa?" Hans berjongkok. Diambilnya benda kecil yang tergeletak di lantai tepat depan Nirmala duduk. Sebuah testpack. "Kamu ...." Nirmala mengangguk, tangisnya makin kencang sambil berkata, "Aku tidak mau anak ini. Aku tidak ingin mengandung anaknya, Mas." "Tenangkan diri dulu. Ayo duduk di atas." Hans coba membimbing Nirmala untuk bangkit, tapi wanita itu menolak. "Aku nggak mau anak ini. Aku nggak mau ...," teriak Nirmala lebih histeris sambil menutup wajahnya. Hans ikut bingung juga. Bagaimana menenangkan Nirmala yang benar-benar kalut kali ini. "Brian harus tahu. Nanti Mas yang akan menemui dia." "Jangan. Nggak usah diberitahu. Dia juga nggak akan mau tahu. Brian tak mau anak ini. Aku juga tidak ingin." "Terus mau kau apakan?" "Akan kubuang." "Astaghfirullah." Hans kaget. Disentuhnya pundak Nirmala. Sambil memandang lekat. "Kamu jangan gila. Itu anakmu, kamu ingin jadi pembunuh janinmu sendiri. Jangan lakukan Nirmala." Nirmala masih nangis sesenggukan. Hans bingung mau menenangkan. Dilihatnya kembali benda pipih itu. "Kita ke dokter atau bidan," ajak Hans. Nirmala menggeleng. Hening. Hans melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia pasti telat ke kantor. Tidak mungkin juga meninggalkan Nirmala dalam kondisi seperti ini. Bagaimana jika ia bertindak nekat. Bukankah bahaya juga untuk diri Nirmala sendiri. Dalam kebingungan itu ponsel di sakunya berbunyi. Nama Pandu tertera di layar. "Hallo." "Dimana, Mas?" "Masih di rumah. Ada apa?" "Papa masuk rumah sakit. Kondisinya drop, aku menghubungi Nirmala tidak bisa." Hans berdiri dan menjauh dari Nirmala. "Mas, dengan siapa itu? Aku dengar ada tangis perempuan." Hans keluar kamar. Dan berdiri di balik dinding.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN