"Suara tivi. Ya sudah, aku akan kabari Nirmala. Nanti kuantar dia ke rumah sakit."
"Nggak usah. Kabarin aja. Biar Nirmala diantar sama suaminya."
"Iya, baiklah."
Telfon ditutup. Hans kembali masuk kamar. Kembali berjongkok di depan Nirmala.
"Mas, aku tidak ingin anak ini. Aku harus bagaimana." Isak Nirmala.
"Coba pandang, Mas."
Nirmala mengangkat wajah. Memandang Hans di antara derai air matanya.
"Ayo, kuantar ke rumah sakit."
Mata Nirmala melebar. "Mas, mendukungku?"
"Mendukung apa? Bukan soal itu. Tapi, Papamu dirawat di sana. Kondisinya drop sekarang. Ayo ...."
Nirmala segera berdiri makin terisak. Pikirannya tambah tidak karu-karuan. Ia mengambil baju ganti. Dan Hans keluar kamar. Menunggu di sofa depan.
***L***
"Kamu jangan sekali-kali punya pikiran mau buang anak itu. Dosa tau!" Hans memberi peringatan pada Nirmala saat mereka dalam perjalanan ke rumah sakit.
Wanita itu diam saja. Memperhatikan jalanan dengan pikiran tidak tenang. Kepikiran tentang kondisinya sendiri dan papanya. Harusnya ia bisa bermanja dan mengadukan nasibnya, tapi keadaan tidak mendukungnya kali ini.
"Dengar nggak Mas ngomong."
Nirmala mengangguk dan menjawab pelan, "iya."
"Perbuatan itu tidak hanya membunuh janinmu, tapi juga akan membahayakan nyawamu."
"Mas akan menemui Brian."
"Untuk apa?"
"Memberitahunya."
"Nggak usah. Dia sudah bilang nggak mau anak ini. Jangan kasih tahu dia. Aku tidak ingin mengemis pertanggungjawaban."
Hans menoleh sebentar pada adiknya. Kemudian kembali fokus ke jalanan yang mulai ramai oleh orang yang hendak berangkat kerja dan anak-anak ke sekolah.
"Aku mau resign aja, Mas. Daripada nanti jadi omongan orang."
"Oke, nggak apa-apa."
"Tapi aku harus bagaimana setelah ini. Bagaimana jika Papa tahu. Hidup aku terus gimana? Anak ini ...." Nirmala kembali terisak.
"Jangan khawatir, kan ada Mas, ada keluarga kamu. Nanti pelan-pelan kita kasih tahu mereka. Mungkin tidak sekarang. Untuk sementara kamu tetap tinggal di rumah Mas saja."
Nirmala menunduk. Mamainkan tali hand bag. Walaupun terguncang, ia sedikit tenang karena Hans mendukungnya. Tapi merasa nggak enak hati, karena setelah ini dia pasti merepotkan sepupunya. Memang Hans hidup sendiri setelah kedua orang tuanya meninggal. Apalagi pria itu ada tanggungan cicilan mobil. Apa nanti dia nggak menyusahkan.
"Mas, apa aku nanti nggak merepotkan?"
"Udah, nggak usah mikir kesana dulu."
"Kenapa juga aku harus hamil?" rutuknya sambil menunduk.
"Nggak boleh bilang gitu, Nirmala. Harusnya kamu bersyukur diberi amanah."
"Tapi dia tidak mau anak ini."
"Kalau dia nggak mau dan kamu pun begitu, apa tidak kasihan dengan bayimu. Bayi itu tidak berdosa. Dan kamu jangan menambah dosa dengan membuangnya. Anak itu dari hubungan halal, jadi jangan macam-macam."
Nirmala diam. Pandangannya menyapu bahu jalan. Banyak penjual kaki lima yang mulai menggelar dagangan. Berbagai macam benda di jual disana. Memang Hans mengajaknya lewat pinggiran kota untuk lebih cepat ke rumah sakit dan tidak terjebak macet.
Mereka tidak berbincang lagi, hingga mobil memasuki area halaman rumah sakit. Nirmala melangkah disamping Hans yang berjalan sambil melihat nomer kamar di bagian ruangan VIP. Tadi saat telpon Pandu sudah memberitahu.
"Itu Mbak Neti, Mas." Tunjuk Nirmala pada istri Pandu, wanita berhijab ungu yang duduk di bangku besi depan sebuah kamar.
Hans segera menggandeng Nirmala menuju ke arah wanita yang sibuk dengan ponselnya.
"Mbak," panggil Nirmala pada kakak iparnya.
"Nirmala."
"Bagaimana keadaan Papa?"
"Alhamdulillah udah membaik. Itu Mama ada di dalam. Masuklah, tapi hati-hati. Papa barusan tidur."
Nirmala mengangguk. Kemudian masuk ke dalam diikuti Hans.
Nirmala memeluk Mamanya sambil terisak. Dia menangis untuk dua hal. Untuk papanya dan buat keadaan diri sendiri. Bu Arni memeluk putrinya erat.
"Tenang, Sayang. Papa nggak apa-apa. Sudah ditangani dokter, kok."
"Mana suamimu?"
Nirmala tidak menjawab. Malah terisak makin keras. Saat sadar dengan kondisi papanya, segera ditutup mulutnya dengan telapak tangan.
Hans mendekati Pak Malik. Memegang tangan pria yang ditubuhnya banyak kabel-kabel yang menempel.
"Hans, Nirmala bareng sama kamu, ya?"
"Iya, Tante. Saya yang menjemput ke apartemen. Sekalian jalan tadi."
Bu Arni tidak bertanya lagi. Dibelainya rambut sang putri. Hans segera undur diri sebelum ditanya lagi sama Tantenya.
"Saya berangkat kerja dulu, Tante. Nanti sore saya kesini lagi."
Bu Arni mengangguk. "Hati-hati, ya."
"Iya, Tante."
Hans mencium tangan Tantenya dengan takzim. Ia dan Nirmala saling pandang sejenak. Kemudian segera keluar kamar perawatan. Di depan pintu Hans sempat berbincang sejenak dengan istri sepupunya.
***L***
Dalam perjalanan Hans bimbang, kalau ikutkan hati ingin rasanya menemui Brian dan membuat perhitungan. Ia juga ingat pesan Nirmala. Agar tidak memberitahu pria itu tentang kehamilan sepupunya. Tapi bagaimanapun juga pria itu seharusnya tahu. Hans mengambil jalan memutar, bukan ke arah kantornya.
Next ....