“Hai, Nona Lilia,” sapa Zayn ketika melihatku masuk ke ruangannya di Atlantic Harvest. Ketika melangkah, seketika mataku tertuju pada tangan kanannya yang masih terbalut perban. Aku harus menyembunyikan senyum yang hampir tercetak di wajahku kala melihat Zayn yang tampak lebih menderita dari sebelumnya. Wajahnya terlihat pucat dan badannya sedikit lebih kurus dari biasanya.
“Halo, Tuan Zayn. Sudah merasa lebih baik?” sahutku ketika mengambil tempat duduk di seberang meja kerjanya. Alea yang kembali pada tempatnya di belakang Zayn hanya melihatku tanpa menyapa. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tentangku saat ini.
“Seperti yang kau lihat, Nona Lilia,” jawab Zayn sambil menunjukkan tangannya yang terbungkus perban. Sejujurnya aku benar-benar puas melihat Zayn menderita saat ini. Meski memang ini bukan balasan yang setimpal dari kematian Max, tapi aku akan memastikan setelah ini Zayn akan menerima sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. Aku, Madame Lilia, agen yang terkenal dengan permainan kotor, akan memberikan siksaan perlahan namun menyakitkan untuk Zayn, lihat saja! Namun untuk saat ini, aku harus benar-benar bersembunyi, jangan sampai ada anggota Hook yang mengungkap identitasku.
“Ada apa kau memanggilku, Tuan? Apakah ada pekerjaan untukku?” tanyaku tanpa basa basi.
“Tidak, Nona Lilia. Aku hanya ingin tahu kabarmu, karena Alea berkata jika setelah kejadian di Kota Industri, kau selalu menyendiri. Mungkin memang kau tidak terbiasa melihat pemandangan berdarah di depanmu.” Aku membaca ada niat basa basi dari Zayn, hal itu benar-benar tampak nyata dari kalimatnya yang penuh retorika.
“Kau bisa lihat sendiri, Tuan, aku baik-baik saja.” Aku sedikit merentangkan tangan sambil mengangkat bahu, tidak begitu peduli dengan ucapan basa basi dari Zayn.
“Hahhh… kau memang bukan orang yang suka basa basi rupanya ya, Nona Lilia. Padahal aku sudah berusaha bersikap ramah padamu. Baiklah, bagaimana jika kita berjalan-jalan mengelilingi kota?” Aku terkejut dengan ajakan Zayn. Aku masih belum dapat percaya dengan pria berwajah timur tengah ini, tatapan mataku yang penuh dengan rasa curiga ini ditangkap jelas oleh Zayn yang seketika langsung melempar senyum kepadaku. “Tenanglah, aku tidak memiliki niat apapun. Aku justru ingin berterima kasih padamu karena telah memperingatkan tentang mata-mata pemerintah itu pada Hook. Berkat kau, operasi ‘pengumpulan koleksi’ di Kota Industri dapat berjalan lebih aman.” Zayn bangkit dari duduknya, lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya. Alea mengikuti langkahnya dari belakang. Ketika melewatiku, Alea melirik dan memberikan isyarat mata agar aku mengikuti langkahnya. Dari sini aku dapat menyimpulkan jika Alea sudah lebih bersahabat dibanding sebelumnya. Mungkin faktor ia mengikutiku ke Pusat Kota kemarin yang menjadikan wanita ini bersikap baik, namun aku tidak memiliki niat untuk membalas sikap bersahabat yang ia tunjukkan.
Tepat di depan pintu masuk pabrik pengolahan ikan ini, telah terparkir dengan rapi mobil sedan kesayangan Zayn yang selama ini menemaninya ke mana pun ia pergi lengkap dengan sopir yang telah bersiap di belakang roda kemudi. Kondisi tangan Zayn tidak memungkinkan ia untuk mengendarai mobil sendiri, sehingga sekarang ia bergantung pada sopir jika ingin pergi ke suatu tempat.
Alea dengan sigap membuka pintu belakang untuk Zayn. Aku yang berniat ingin membuka pintu depan sebelah kiri, dihentikan oleh Alea. Ia berkata, “kali ini kau duduk di belakang bersama Tuan Zayn, biar aku yang duduk di kursi depan.” Aku terkejut dengan apa yang ia katakan. “Sejak kapan ia mempersilakanku duduk di samping tuannya?” pikirku. Namun aku tidak menolak permintaan Alea dan tetap duduk di kursi belakang bersama Zayn.
Mobil pun melaju entah ke mana, aku tidak tahu akan dibawa ke mana oleh Zayn. Beruntung aku masih menggunakan jam tangan khusus milik The Barista sehingga jika suatu saat aku berada dalam keadaan kritis, aku dapat mengirimkan sinyal S.O.S dan The Barista akan mengetahui jika aku dalam bahaya. Meski memang akhirnya aku tidak terselamatkan, setidaknya berita kematianku sampai kepada The Barsita. Seperti yang aku katakan berkenaan dengan kematian Max, seorang agen intelijen adalah orang yang ketika sukses ia dimaki, ketika mati ia tidak dihargai dan ketika hilang ia tidak dicari.
“Kau tahu, Madame, sejujurnya aku ingin kau mengenalku lebih dalam lagi. Aku yakin ke depannya kita akan ber-partner dengan baik.” Aku terbelalak mendengar ucapan Zayn. “Madame? Zayn memanggilku Madame?” pikiranku langsung terfokus kepada cara Zayn memanggilku yang berbeda. Sejak mengenalku, baru kali ini pria ini memanggilku “Madame.”
Aku menoleh ke arah Zayn, fokus melihat ke wajahnya, mengabaikan latar belakang Kota Nelayan yang bergerak ke belakang berlawanan dengan arah laju mobil. Zayn yang menyadari rasa terkejutku kembali mengukir senyum. Aku justru merasa aneh, Zayn yang selama ini tidak pernah bersikap selembut ini tiba-tiba berubah ketika di depanku. Apa jangan-jangan sisi liar yang selama ini ada padanya ikut hilang bersama tangannya yang terputus?
“Apakah aneh jika aku memanggilmu dengan panggilan seperti itu?” Benar, Zayn menangkap tatapan aneh dari mataku.
“Tidak, hanya saja aku merasa baru kali ini kau memanggilku dengan benar, Tuan,” jawabku asal. Aku melihat ke arah kaca spion yang ada di tengah kursi depan dan menyadari jika Alea sedang melihat ke arahku. Meski memang aku hanya dapat melihat matanya, namun tatapannya padaku mengisyaratkan bahwa ia sedang tersenyum kepadaku. Aneh, benar-benar aneh. Aku seperti tengah berada di dunia lain. Benarkah ini Zayn dan Alea yang selama ini aku kenal?
“Kau tahu, Madame? Aku lahir dan besar di kota ini. Sejak kecil, hidupku selalu diatur dan dikekang oleh kedua orang tuaku.” Dalam perjalanan berkeliling inilah, cerita tentang orang yang paling aku benci di dunia ini dimulai.
Zayn kecil adalah anak yang dibesarkan oleh keluarga pengusaha yang menuntut anaknya untuk jadi penerus karena Zayn adalah pewaris tunggal di keluarganya. Tumbuh dari didikan keras seorang ayah yang merupakan pemilik sebuah perusahaan multinasional, Zayn tumbuh menjadi seorang anak yang penurut di luar, namun menaruh dendam yang besar di dalam pikirannya.
Zayn kecil selalu diisolasi dari lingkungan sekitar. Meski ketika menginjak sekolah dasar ia belajar di sekolah negeri seperti warga lain, namun status sosial dan ekonomi Zayn membuatnya tidak memiliki teman. Banyak anak-anak yang rendah diri untuk mendekat ke arah Zayn. Sebagian lain sengaja memanfaatkan Zayn untuk menambah uang jajan mereka. Aku sama sekali tidak bersimpati ketika mendengar cerita masa kecil Zayn, karena apa yang menimpa Zayn kecil memang sebuah kenyataan di masyarakat yang cukup sulit untuk diterima. Satu sisi, anak-anak selain Zayn pasti mendongak ke atas ketika melihat seorang anak yang bersinar di ketinggian seperti Zayn. Sisi lain, mereka pasti iri dengan kehidupan Zayn yang terlihat mewah dan sempurna di antara anak-anak lain yang memiliki kehidupan biasa saja, atau bahkan di bawah rata-rata. Sayangnya Zayn kecil yang tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran teman-temannya justru menganggap ia dirundung dan dikucilkan.
Cerita berlanjut ketika Zayn menginjak sekolah menengah. Zayn yang sudah beranjak remaja, bersekolah di sekolah internasional yang berisi anak-anak konglomerat dari segala penjuru kota. Beberapa anak pengusaha ternama dan juga anak mafia mengenyam pendidikan di tempat itu. Ah aku tidak tahu dari mana Zayn mengetahui jika beberapa teman sekolahnya adalah anak mafia, apakah memang sekolah tersebut secara legal mengizinkan anak mafia untuk bersekolah di sana, atau memang anak-anak itu saling membongkar identitas mereka seiring berjalannya waktu. Di sinilah, Zayn remaja yang awalnya polos mulai mengenal dunia luar yang ternyata lebih menyenangkan dari apa yang ada di dalam benaknya.
Zayn bercerita kepadaku jika di masa SMA, ia memiliki sebuah geng yang berisi anak-anak dengan finansial jauh di atas rata-rata siswa sekolah itu, yang salah satunya adalah Zayn. Geng tersebut berhasil menguasai sekolah karena salah satu anggotanya adalah seorang anak mafia yang pandai bertarung. Bermodal kekuatan fisik dan uang, Zayn dan gengnya merundung dan bertindak semena-mena terhadap siswa sekolahnya yang kebanyakan adalah siswa kutu buku. Zayn yang awalnya juga merupakan kutu buku, mulai belajar bertarung sambil terus memupuk dendam kepada orang tuanya yang ia nilai tidak becus dalam mendidiknya sejak kecil.
Di luar jam sekolah, Zayn sering berkumpul dengan teman satu gengnya di sebuah club yang dimiliki oleh salah satu anggota geng. Orang tua Zayn yang mendengar hal itu tidak suka dengan sikap Zayn yang dinilai melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat. Namun Zayn berdalih jika ia sedang membangun relasi di masa depan karena teman satu gengnya rata-rata merupakan pewaris perusahaan orang tuanya ketika dewasa nanti. Meski sempat tidak setuju, namun akhirnya orang tua Zayn luluh dengan perkataan Zayn yang sudah mulai pandai berbicara sejak berkumpul dengan geng konglomerat di sekolahnya. Dari sini, kehidupan Zayn yang awalnya hanya berputar di rumah dan sekolah, mulai masuk ke dunia baru yang sangat candu dan menyenangkan, yaitu dunia penguasa jalanan.
Perjalanan Zayn di sekolah itu tidak berhenti hanya bermain dan berkumpul di klub malam. di tahun kedua ia sekolah di SMA, salah satu teman satu geng Zayn membawa sebuah bungkusan kecil berisi serbuk putih ketika mereka sedang berkumpul di markas geng yang ada di sekolah. Zayn yang saat itu tidak mengetahui benda tersebut, hanya hanya ikut mengonsumsi ketika salah satu temannya menggunakan benda tersebut. Dari sinilah, Zayn remaja akhirnya mulai candu dengan narkoba dan mulai terlihat perubahan fisiknya. Mulai dari penurunan berat yang signifikan dan tatapan matanya yang sering kosong. Temperamen Zayn juga perlahan tapi pasti mulai tidak stabil dan mudah marah meski hanya karena hal sepele.
Karena narkoba itu juga, perundungan yang terjadi di sekolah yang seharusnya memiliki lingkungan kondusif menjadi semakin tidak terkendali. Pihak guru tidak dapat bertindak apapun karena anggota geng Zayn adalah para donatur mayor di sekolah tersebut sehingga jika mereka ditindak maka sekolah itu terancam kehilangan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Hal itu membuat Zayn dan gengnya bertindak semakin semena-mena di sekolah.
Masuk ke tahun ketiga, perundungan yang ia lakukan di sekolah semakin parah, terutama kepada siswa tahun pertama yang terlihat masih polos. Jika ada seorang siswa yang memiliki pakaian terbaru yang berpotensi dapat bersinar lebih terang dibanding Zayn dan gengnya, maka anggota geng tidak segan untuk merobek pakaian itu di depan korban, bahkan pernah satu atau dua kali, Zayn dan gengnya membuat seorang siswa pulang dengan keadaan hampir telanjang. Meski dengan kenyataan seperti itu, orang tua korban tidak memindahkan anaknya ke sekolah lain karena reputasi sekolah internasional ini yang terkenal elit dan bagus serta memiliki gengsi yang tinggi.
Aku mendapatkan kalimat yang bagus ketika mendengar cerita masa remaja Zayn. Pria yang saat ini duduk di sampingku berkata, “ketika remaja, aku benci diperlakukan sebagai alat pemuas ego oleh orang tuaku, sehingga membuatku bertindak liar dan memberontak. Pilihan ada pada diriku saat itu, apakah aku akan tumbuh sebagai robot tidak berperasaan yang hanya tunduk kepada keinginan orang tua dan selalu menjadi alat untuk mewujudkan impian orang tuaku yang tidak tercapai, atau tumbuh besar sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas dan memilih jalan hidupnya sendiri. Berada di dalam geng mengajarkanku hidup sebagai manusia yang memiliki perasaan. Di sana, aku dilihat karena kapabilitasku, bukan hanya karena uang dan latar belakang orang tuaku.” Begitulah kalimat dari orang yang memilih untuk bertindak semaunya sendiri demi mencari jati diri. Mungkin jika aku berdiri di depan Zayn ketika ia remaja, aku akan menganggap apa yang Zayn lakukan adalah salah karena ia merugikan banyak orang. Tetapi berdasarkan banyak hal yang aku alami, aku dapat mengerti jika apa yang Zayn lakukan di masa remaja adalah bentuk protes dari rasa tidak suka akan perlakuan kedua orang tua padanya. Lalu cerita Zayn berlanjut ketika...