Hari ini aku berdiri di tengah tempat pemakaman yang ada di bagian tengah Kota Nelayan. Tidak banyak orang yang datang ke pemakaman hari ini, hanya petugas rumah sakit dan Zayn yang menemaniku. Waktu pemakaman Sheera adalah saat di mana aku dapat berkabung dan meneteskan air mata. Aku dapat bertindak selayaknya manusia yang memiliki emosi, tanpa bersikeras menahannya.
Sheera, agen pribadiku yang sekaligus seorang pelayan di Coco Bar, wanita jalanan yang aku temukan bertahun-tahun lalu ketika sama-sama menjadi korban penculikan di Kota Nelayan, harus kehilangan keluarga karena melarikan diri dari sarang penculik, tadi malam telah pergi meninggalkan dunia ini.
Tidak ada kerabat, tidak ada keluarga, bahkan orang-orang dari Coco Bar yang berkata bahwa mereka menganggap Sheera sebagai saudara seperjuangan pun tidak hadir di saat terakhir Sheara meninggalkan dunia. Hidup keras sebagai wanita jalanan, harus menjual tubuhnya untuk bertahan hidup, dan menjadi jembatan antar mafia, menjadikan hidup Sheera penuh dengan musuh. Mungkin orang yang membunuh Sheera adalah salah satu dari orang yang tidak menyukainya. Untuk mengusut pembunuh Sheera, aku harus kembali mengingat apa yang terjadi di kantor polisi dini hari tadi.
Zayn menatapku dengan cemas ketika melihat wajahku menunjukkan kemarahan setelah mendengar cerita lengkap dari Sheera. Antara percaya dan tidak percaya, Alea yang pergi bersama Sheera justru bertindak ceroboh sehingga Sheera tidak dapat diselamatkan. Aku masih belum dapat percaya dengan cerita yang Alea buat, aku masih berharap, apa yang Alea katakan hanya sebatas omong kosong dan sebenarnya Sheera masih hidup di luar sana.
Namun lagi-lagi Alea mengatakan jika semua ceritanya adalah benar. Ia bahkan membawa pisau yang digunakan si pembunuh untuk menusuk Sheera ke kantor polisi sebagai barang bukti. Awalnya, Alea ditetapkan sebagai saksi, namun karena emosi, aku justru membuatnya ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan di kantor polisi.
Ketika itu suasana sedang benar-benar gelap. Alea yang sedang sedih dan berkabung, bertemu denganku yang tidak percaya dan marah atas kejadian yang menimpanya. Saat itu aku masih belum dapat berpikir jernih, pikiran pendekku menuntunku untuk menjadikan Alea, orang yang berada di samping Sheera pada saat-saat terakhirnya, menjadi sasaran balas dendam. Saat itu aku berpikir, jika memang si pembunuh tidak berhasil aku tangkap, maka aku masih memiliki orang lain yang dapat bertanggung jawab menggantikan si pembunuh.
ketika mendengar ucapanku yang mengatakan bahwa Alea dapat menjadi tersangka, penyidik yang duduk di depan Alea justru merasa bingung. Alea adalah orang yang melaporkan kejadian itu kepada polisi, Alea juga membawa barang bukti berupa pisau yang digunakan pelaku untuk membunuh, Alea juga yang meminta polisi untuk menghubungiku. Lantas, kenapa aku justru berniat membuat Alea menjadi tersangka? Penyidik di depanku mengatakan bahwa ia tidak habis pikir dengan apa yang ada di dalam kepalaku. Aku pun menjelaskan apa yang ada di dalam pikiranku kepada penyidik.
“Tuan…” Aku memicingkan mata, berusaha membaca nama yang tercetak di d**a penyidik itu. “A… li, Tuan Ali, Saya mengatakan ini hanya untuk mengamankan posisi anda sebagai penyidik. Saya yakin, pisau yang Alea bawa sebagai barang bukti mengandung banyak sekali sidik jari, salah satunya adalah sidik jari Alea sendiri. Tim forensik akan dapat menggali sidik jari tersebut. Jika anda memasukkan itu ke dalam laporan penyidikan, bukankah itu dapat menguatkan Alea sebagai tersangka?” Penyidik itu terdiam mendengar ucapanku.
“Anda juga dapat menggunakan tiga penjaga penginapan sebagai saksi. Dua di antara mereka melihat langsung bahwa Alea mencabut pisau itu dari perut korban. Anda juga dapat menggunakan kesaksian dari petugas kesehatan yang mengatakan jika korban meninggal karena pendarahan yang diperparah karena kelalaian yang dilakukan oleh Alea. Saya yakin, Alea dapat kita jerat dengan pasal pembunuhan.” Aku kembali menjelaskan kepada penyidik dengan suara bergetar menahan air mata yang tampak akan menetes dari kelopak mataku.
“Tapi, bukankah wanita ini rekan anda?” tanya penyidik.
“Benar, mungkin ia memang rekan saya. Tetapi korban adalah salah satu orang berharga yang ada di hidup saya. Lebih baik mengorbankan satu orang untuk dijadikan tumbal daripada tidak sama sekali,” terangku.
“Kenapa anda jahat sekali, Madame? Apakah anda benar-benar seorang manusia?” Polisi itu masih tidak percaya dengan ucapanku.
“Saya? Jahat? Apakah anda tidak salah berbicara seperti itu? Divisi kriminal adalah salah satu divisi paling kotor di institusi kepolisian. Terkadang divisi anda menangkap siapapun yang dapat ditangkap, lalu membuat mereka bertanggung jawab atas apa yang tidak mereka perbuat. Kenapa sekarang anda bertindak seperti malaikat?” Emosiku mulai tersulut lebih tinggi lagi ketika mendengar penyidik itu berlagak suci di depanku.
“Madame, kenapa anda kurang ajar? Anda sudah menghina institusi penegak hukum di negara ini!” Polisi itu juga tampak tidak dapat menerima ucapanku.
“Saya? Menghina? Ayolah, Tuan. Jika saya merendahkan, mengolok-olok instansi ini tanpa bukti yang kuat, anda dapat mengatakan saya menghina. Tetapi jika saya mengatakan yang sebenarnya, bagian mana yang dapat disebut menghina? Lagipula, apa yang saya katakan tentang divisi anda tidak sepenuhnya salah. Saya sangat mengetahui, jika anda berhasil menyelesaikan sebuah kasus, terutama kasus kriminal besar seperti pembunuhan atau perampokan, bonus yang anda dapatkan dari atasan sangat besar. Saya mengetahui dengan jelas, jika divisi anda diberikan target untuk menyelesaikan kasus dalam jumlah tertentu dan dalam kurun waktu tertentu agar memperoleh bonus dari atasan anda. Saya di sini membantu anda untuk mencapai itu, Tuan.” Penyidik itu tertunduk, ia tidak dapat menjawab dan menyangkal apa yang aku katakan. Aku sudah terlanjur marah, aku benar-benar emosi. Bagaimanapun, aku harus menjadikan seseorang untuk menjadi sasaran kemarahanku saat ini.
“Lilia…” Alea tampak ketakutan di sampingku. Ia tidak menyangka jika aku berani menjadikannya sebagai tumbal.
Akhirnya aku meminta penyidik untuk melengkapi berita acara pemeriksaan untuk kasus yang menimpa Sheera. Tersangka sudah menyerahkan diri, korban sudah jatuh, saksi dan bukti sudah lengkap. Tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi untuk melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Namun sebelum aku meninggalkan ruang penyidikan, aku meminta kepada penyidik untuk mengosongi tanggal pada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan sehingga nantinya surat itu dapat dimanipulasi.
Seakan mengatur jalannya penyidikan, aku meminta penyidik untuk memburu pelaku aslinya sementara membiarkan Alea mendekam di penjara sebagai jaminan. Penyidik itu menyetujui ucapanku. Bahkan penyidik itu tersenyum sinis kepadaku, tidak percaya jika aku ternyata mengetahui kebusukan dari divisi kriminal kepolisian.
“Bagaimana bisa anda sangat paham dengan permainan divisi kriminal? Siapa anda sebenarnya, Madame?” tanya penyidik itu.
“Anggap saja aku seorang warga negara yang patuh,” jawabku asal.
Badan Alea semakin gemetar, ia tidak menyangka jika aku tidak menyelamatkannya kali ini. Aku justru membuatnya masuk ke dalam penjara. Sekarang aku hanya harus mengurus sisanya. Sial, pertama kali aku datang ke kantor polisi ini, perasaanku sedikit baik karena melihat Alea tertimpa masalah. Tetapi saat aku mengetahui apa yang terjadi, rasa senang yang aku rasakan seakan berbalik kepadaku. Apakah ini karma karena senang melihat Zayn dan bawahannya menderita? Tapi tidak, perbuatan mereka kepada Max jauh lebih kejam lagi.
Aku keluar dari ruang penyidik dengan mata merah dan wajah penuh kemarahan. Zayn langsung bangkit dari tempatnya duduk setelah melihatku keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Zayn yang juga tampak panik.
“Alea dicurigai sebagai dalang dari pembunuhan.” jawabku lesu.
“Pembunuhan? Alea? Bagaimana bisa?” Zayn semakin menggebu-gebu, ia sepertinya tidak ingin sel*r pribadinya mendekam di penjara.
“Sheera, Alea dicurigai membunuh Sheera,” jawabku penuh kemarahan.
Zayn juga tidak kalah terkejut mendengar berita itu, ia tidak percaya jika Sheera, orang yang mengenalkanku padanya, harus meregang nyawa di tangan sel*r pribadinya. “Tidak, ini tidak mungkin, Aku tahu mereka berteman, Alea tidak mungkin membunuh Sheera!” Zayn menjadi semakin panik. Namun dari kalimat yang ia ucapkan, terlihat jelas jika Zayn hanya peduli pada nasib Alea tanpa peduli dengan nyawa Sheera yang telah melayang.
“Polisi masih berusaha menyelidiki kasus ini. Kita hanya berharap, polisi segera menangkap pelaku sebenarnya dan membebaskan Alea. Sekarang kita harus pulang, Tuan. Alea tidak dapat pulang malam ini.” Aku menuntun langkah Zayn yang lemas karena tidak dapat membawa pulang sel*r kesayangannya. Aku dan Zayn menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Alea ketika melangkah keluar dari kantor polisi. Alea yang berada di ruang penyidik melihat ke arahku dan Zayn dengan tatapan pasrah dan sedih.
Zayn mengantarku pulang selepas acara pemakaman Sheera selesai pagi ini. Aku tidak melihat raut wajah kesedihan sama sekali yang tercetak di wajah Zayn atas kematian Sheera, hanya ada perasaan peduli dan sedikit simpati terhadapku. Mungkin ia menganggap aku sebagai bagian dari Hook, tetapi tidak dengan Sheera yang merupakan orang luar baginya. Zayn menemaniku mendatangi pemakaman Sheera, karena ia tahu bahwa aku sangat peduli pada gadis itu.
Di tengah perjalanan, kilasan ingatan tentang Sheera kembali bangkit. Sheera, seorang gadis yang polos, gadis yang awalnya selalu dilanda kesedihan, memiliki nasib yang tidak beruntung, berubah menjadi gadis yang selalu ceria. Canda tawa tidak pernah lepas dari wajahnya. Aku yakin, siapapun orang yang mengenal Sheera pasti akan merasa nyaman jika ada gadis itu di sampingnya. Ia selalu memberikan keceriaan, membuat suasana hati menjadi senang. “Sheera, aku akan memastikan kematianmu akan terbalas,” batinku ketika berada dalam perjalanan pulang ke apartemen. Zayn mengantarku pulang hingga ke depan apartemen, lalu ia segera melaju meninggalkanku di sini. Setelah Zayn tidak terlihat lagi, aku segera memanggil taksi dan memulai pembalasan dendamku atas kematian Sheera.