Suara dering ponsel yang menggema di dalam ruangan ini seolah menyadarkanku atas apa yang tengah kami berdua lakukan. Restu menghentikan aktifitasnya dengan disertai geraman kesal karena kesenangannya telah diganggu. Sementara aku, wajahku merah padam karena malu. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati semua yang Restu lakukan. Malu luar biasa jika mengingatnya. Terlebih saat aku tahu bahwa Restu berniat mengabaikan dering ponselnya demi tak mau lepas dariku. Justru yang ia lakukan sekarang adalah mengusap pipiku yang pasti sudah bersemu merah. "Jawab saja panggilan teleponmu. Siapa tahu penting," ucapku dengan nada serak. Buru-buru kurapikan bajuku dan turun dari atas pangkuannya. Duduk di atas sofa sembari menenangkan jantung berdebar yang sangat menggila. "Tunggu sebentar." Restu be