9. Pony dan Kuda

1448 Kata
Menakutkan, bagaimana kebohongan meleleh dengan mudahnya dari mulutku. Seperti mentega di wajan yang panas. Asapnya berputar di sekelilingku, membuatku susah bernafas. *** Suara telapak kaki terdengar semakin mendekat dengan munculnya Giana yang membelalak. “Apa katamu?!” tanyanya pada Alex. “Ini Elena.” Tunjuk Alex kearahku yang sedikit mengerenyit setiap mendengar nama palsuku disebut. Giana memberiku sebuah pelukan hangat sebelum menarikku masuk dan memulai interogasinya. “Sudah berapa lama kalian berkencan? Bagaimana kalian bertemu?” “Uhmm belum lama, seminggu kurasa.” “Seminggu?!? Ian pernah berkencan dengan seorang wanita selama setahun dan tidak ada diantara kami yang sadar karena dirinya tidak pernah menceritakan apa apa. Bayangkan..Setahun! Betapa kagetnya kami ketika akhirnya Ana menceritakannya pada ku.” Giana melirik kakaknya. “Ana? Anabelle?” tanyaku penasaran. “Kau kenal?” tanya Gianna balik. “Ohh..baru saja aku bertemu dengannya. Semalam.” jawabku melirik ke arah Ian dengan mata menyipit. “Hanya saja aku tidak tahu kalau wanita itu adalah mantan Ian.” Tapi pria itu tampaknya tidak sadar akan sindiranku. “Mungkin aku tidak ingin kau menakuti pacarku seperti yang kau lakukan sekarang.” Jawab Ian ke arah adiknya. “Ohya.. lalu mengapa kau bawa Elena kemari?” pancing Giana. “Aku punya feeling Elena tidak mudah untuk ditakut takuti.” Jawab Ian tersenyum tipis ke arahku. “Lagi pula dia sudah datang penuh persiapan.” Kusikut perut Ian yang langsung tergelak melihatku melotot ketika dirinya menyinggung aksi ku memata matai Giana tadi pagi. “Apa maksudnya?” tanya Giana bingung. “Sudahlah. Siapkan makanan. Aku lapar. Kau tinggal terlalu jauh dari kota, aku merasa sudah melakukan perjalanan berjam jam untuk tiba di sini.” sela Ian menepuk pundak Alex. Kami berjalan melewati ruangan demi ruangan rumah peternakan Alex yang terbuka. Sinar matahari dan angin segar masuk melewati keempat sisi rumah yang berjendela besar. Sebuah bangunan besar di sisi kanan rumah menarik perhatianku. “Itu kandang kuda milik kami.” jelas Alex ketika mendapatiku memandangi gedung itu dari jendela. “Apakah kau bisa menunggangi kuda, Elena?” Beberapa kilasan masa kecilku terlintas di benakku. “Dulu sekali, tetanggaku ada yang memiliki kuda pony. Tapi mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya.” jawabku sambil kembali melangkah masuk mengikuti Ian dan Giana yang sudah ada di belakang. “Jangan khawatir. Naik kuda sama seperti naik sepeda. Sekali kau bisa, selamanya akan ingat.” Alex berjalan mengikutiku. “Mungkin setelah makan kita bisa berkuda jika hari tidak terlalu panas.” Kutatap Alex, matanya terlihat bersemangat dengan ide berkudanya. Tampak jelas bagi Alex, kuda-kudanya adalah sebuah kebanggaan. Melihat banyaknya dekorasi kuda yang kulihat sepanjang perjalananku masuk. “Hm..entahlah. Aku tidak yakin aku masih ingat. Bagaimana bila aku melukai kuda kudamu?” Alex tertawa lepas mendengar ucapanku. Lantang tapi terdengar seperti orang tercekik di saat yang bersamaan. Jenis tawa yang membuatmu ingin ikut tersenyum mendengarnya. “Bagaimana mungkin kau bisa melukai binatang sebesar itu, yang ada justru mereka yang mungkin mencenderaimu.” “Oh.. well.. kalau begitu. Tidak ada alasan untuk menolak. Jika Ian dan Giana tidak keberatan.” “Keberatan apa?” tanya Ian mendengar sepotong pembicaraan kami ketika kami tiba menyusulnya di teras belakang. Dirinya sudah membuka jaket  kulitnya yang di letakkan di samping kursinya.  Terlihat beragam makanan disajikan diatas meja panjang. Orang orang kaya memang suka sekali makan, pikirku melepaskan jaketku dan duduk di sebelah Ian. Anehnya tidak ada diantara mereka yang gendut. “Berkuda. Sesudah brunch.” jawab Alex duduk di hadapan Ian “Apa kah kau bisa?” tanya Ian melirik ke arahku yang tersenyum. Giana muncul diikuti asisten rumah tangganya sambil membawa semangkuk besar salad. “Ide bagus, Elena. Kami berdua tidak bisa berkuda, jadi Alex tidak ada yang bisa menemani.” ucap Giana menunjuk dirinya dan Ian. “Ok ayo duduklah semuanya mari makan.” lanjutnya kepada kami semua. Aku sudah khawatir Giana dan Alex akan mencercaku dengan berbagai pertanyaan. Tapi untunglah hal itu tidak terjadi. Mereka banyak membicarakan tentang stresnya persiapan pesta resepsi pernikahan mereka yang hanya tinggal satu bulan lagi. “Jujur saja kalau bukan karena keinginan ibuku, aku lebih memilih untuk mengadakan kawin tamasya.” ucap Giana. “Oh Babe, aku bersedia menikahimu di depan kandang kuda sekalipun.” ucap Alex mengelus lengan Giana yang duduk di sebelahnya. Aku melirik ke arah mereka sambil tersenyum. Kusuapkan potongan roti ke mulutku ketika ku tangkap lirikan Ian yang sedang menatapku dengan pandangan aneh. Aku tatap balik pria itu dengan mata lebar seolah hendak menanyakan arti pandangannya padaku. Tapi Ian hanya membalas dengan senyuman sambil menggelengkan kepalanya. “Well ok, Aku sudah kenyang” ucap Alex mengumumkan. “Aku juga. Belum pernah aku makan sebanyak ini.” imbuhku sambil berdiri membantu merapikan meja. Kuangkat piring piring kotor dan membawanya ke belakang mengikuti langkah Gianna. “Kakakku terlihat berbeda dari biasanya.” ucapnya sambil menyerahkan tumpukan piring kepada asisten rumah tangganya. “Oh? Maksudmu?” tanyaku. “Tidak menguburkan wajahnya di handphone nya, hari ini dia terlihat lebih.. entahlah.. hadir?” “Hadir?” “Ian adalah pria terpintar yang pernah kutemui. Dari kecil, dia hidup di dalam kepalanya sendiri. Tidak banyak yang bisa memahami cara pikirnya karena kurasa otaknya tidak bekerja seperti kebanyakan orang normal. Baru kali ini aku melihatnya terlihat santai seperti itu.” “Hm.. kurasa yang diberitakan media tentang kebiasaannya yang workaholic tidak salah.” “Workalohic bahkan bukan ungkapan yang pas untuk menggambarkan kakakku yang hidup demi Neocyber. Dia membangun perusahaannya seorang diri walaupun dengan tentangan dari ayah ibuku yang sebenarnya mengharap kan dirinya mengambil alih usaha keluarga kami. Untung saja semua berjalan lebih bagus dari rencana kedua orang tuaku. Neocyber menjadi seperti sekarang semua adalah usaha Ian dari nol.” Pembicaraan terputus oleh masuknya Ian dan Alex ke dalam rumah sambil membawa sisa sisa makanan.  Ian memiringkan kepalanya mengisyaratkan ingin mengajakku keluar kembali ke teras sementara Giana dan Alex bercakap cakap di dapur. “Apa kau yakin ingin berkuda dengan Alex?” tanya Ian duduk diatas tembok rendah pembatas teras dan kebun belakang. “Akan seru sepertinya.”jawabku nyengir. Tapi Ian tidak ikut tertawa, pria itu menyipitkan matanya khawatir. “Aku tidak tahu kau bisa berkuda.” “Tetanggaku dulu di kampung memiliki beberapa ekor kuda pony. Pria yang baik.” Kenangku. “Aku dan adikku sering diijinkan untuk menunggangi kuda kuda miliknya.” “Aku tidak tahu kau punya adik.” Aku tersenyum kecil. Oh Ian, banyak hal yang kau tidak tahu tentang ku. Tangannya menarik lenganku. Aku berjalan mendekat, menyelipkan pahaku diantara kakinya. Kuelus rambut pendeknya dengan jariku. Ian memejamkan matanya tampak menikmati belaianku. Kutelusuri kerutan halus di sisi matanya yang tampak jelas ketika pria itu sedang tersenyum. Menuju celah diantara alisnya yang suka menyatu bila marah. Kucium keningnya membuat pria itu membuka matanya dan menarik wajahku turun menemui bibirnya. Mendaratkan sebuah ciuman ke bibirku ringan, tapi cukup membuatku kehilangan nafas. “Oopss.” ucap Alex muncul, membuat kami berhenti berciuman. “Maaf mengganggu.” Aku cuma tersenyum simpul melirik Ian yang masih memandangi wajahku. “Tidak juga.” jawabku membalikkan badan. “Siap untuk menunggang kuda, Alex?” “Yuk!” Kuda kuda milik Alex jauh berbeda dengan kuda Pony Pak Tris, tetanggaku. Sebagai kuda balap, binatang itu memiliki tinggi 2 kali lipat tinggi badanku dan terlihat sangat mengintimidasi. Alex menyiapkan sebuah kuda coklat untukku yang menurutnya kuda terjinak yang dimilikinya. Aku memanjat naik dengan susah payah sementara seorang pekerja memegangi tali kendali kuda agar tidak bergerak. Mengenakan celana jeans ketat membuatku sedikit kesulitan untuk mengalingkarkan pahaku ke binatang itu. Setelah 3 kalinya mencoba, barulah aku berhasil duduk diatas kuda jantan bernama Titus itu. Pekerja kandang kuda menyerahkan tali kekang kembali kepadaku sementara Alex menghampiriku diatas kudanya. “Bagaimana?” tanyanya. “Seperti mengendarai sepeda katamu?” aku tertawa gugup. “Aku tidak ingat kuda pony yang kunaiki sebesar ini, Alex.” “Pfshh… bukannya ukuran bukanlah masalah.” tawanya lebar. Senyuman di wajahnya membuatku ikut tertawa. “Pelan pelan saja, dan biarkan Titus menuntunmu. Kita keliling lapangan latihan beberapa kali sampai kau terbiasa sebelum kuajak kau ke bukit tak jauh dari sini.” “Apa? Bukit? Sesuatu yang bisa membuatku menggelundung jatuh ke bawah bersama Titus?” Alex terbahak. “Kau lucu Elena. Pantas saja Ian menyukaimu. Tenanglah, semua akan baik baik saja. Tidak akan kubiarkan apapun terjadi padamu.” ucapnya sambil memacu kudanya keluar kandang menuju lapangan. “Ikuti aku.” perintahnya. “Ok Titus, hyah.” ucapku menggerakkan kakiku sedikit membuat kuda itu berjalan keluar mengikuti Alex. Ternyata benar kata Alex, tidak butuh waktu lama  untuk Titus terbiasa dengan perintah yang kuberikan padanya lewat tali kekangnya. “Hebat Elena!” jerit Alex kearahku melihat aku mengelilingi lapangan bersama Titus yang mulai berlari. Aku pasti tersenyum selebar Alex saat menunggangi Titus sementara Ian dan Giana menatapku dari teras rumah. “Kau siap?” teriak Alex mengisyaratkanku mengikutinya keluar dari area lapangan. Aku mengangguk dan memacu Titus mengejar kuda pria itu ke naik ke arah perbukitan. Perasaan kebebasan kembali kepadaku saat berada di punggung Titus yang berlari mengikuti tiupan angin. Alex menghentikan kudanya di atas bukit rumput sementara aku menyusul dari belakang dan menghentikan Titus di sebelahnya. Kami berdua terdiam memandangi pemandangan di bawah bukit yang tidak lain adalah kota tempat tinggalku. Terlihat padat dan berdesak desakan dibandingkan peternakan Alex. “Sungguh berbeda sekali suasananya dengan di bawah sana.” ucapku. Alex mengangguk. “Kau dan Giana juga terlihat sangat berbeda. Tapi belum pernah kulihat pasangan yang sebahagia kalian.” “Mungkin karena kami sangat berbeda makanya kami bisa saling melengkapi. Tapi terus terang hubungan kami tidaklah tanpa halangan. Kau belum bertemu orang tua Gianna dan Ian, terutama ibu mereka. Sempat tidak setuju dengan hubungan Giana denganku yang hanyalah peternak kuda, wanita itu bahkan sengaja menyekolahkan Giana keluar negeri hanya untuk alasan bisa memisahkan kami.” Hubunganku dan Ian tidak akan sampai sejauh itu, pikirku. Karena hari itu, diatas bukit yang menaungi kotaku,  aku sudah memutuskan. Untuk mengakhiri semua ini sebelum membuat siapapun terluka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN