10. Waktu Yang Dipinjam

1652 Kata
Kuda-kuda Alex mengingatkanku akan Pak Tris tetanggaku. Tanpa memiliki anak, Pak Tris hidup sendirian di rumahnya setelah istrinya meninggal bertahun tahun sebelumnya. Mengurusi kuda ponynya yang disewakan untuk ditunggangi anak-anak di alun alun.  Pak Tris mengingatkanku akan sosok seorang kakek yang tidak pernah kumiliki. Ketika kecil aku sering bermain ke rumahnya, membantunya membersihkan pekarangan, atau kandang kuda dengan imbalan uang atau kesempatan untuk menunggangi pony nya.  Kadang Riri ikut bersamaku ketika aku mengungsi ke rumah Pak Tris untuk menghindari cacian dan makian Ibu tiriku. Seperti ketika ibuku mengusirku keluar dari rumah seharian karena kedapatan memecahkan celengan Riri untuk membeli mainan. Riri menemaniku di rumah Pak Tris dan menolak pulang hingga ibu mengijinkanku ikut pulang. Hariku bersama Ian menyadarkanku bahwa berada di dekat pria itu semakin lama semakin membuatku takut. Karena, caranya memandangku, caranya memperlakukanku, caranya membuatku merasa penting, seolah aku berhak atas semua yang diberikannya. Padahal aku sebenarnya tidak layak atas perlakuannya. Aku hanyalah seorang penipu. *** Kupencet tombol save menyimpan jurnal harian yang baru kuketik ke dalam laptopku. Folder berjudul “Dongeng” itu terselip diantara judul judul novel lain yang pernah kutulis. Baru saja, Ian mengantarku pulang dari peternakan Alex. Pria itu berjanji untuk menemuiku secepatnya dia ada waktu luang. Ian menyebutkan bahwa dirinya sedang mengerjakan sesuatu yang baru untuk Neocyber dan sedang dalam tahap penyempurnaan sebelum menyerahkannya ke pihak legal untuk mematenkan produknya. Sesuatu yang mungkin diinginkan oleh Ken melalui diriku. Aku sedang menunggu laptopku mati ketika tiba tiba muncul percikan listrik dari kabel charger laptopku dan layar berkedip beberapa saat. Mataku terbelalak melihatnya, panik akan kehilangan semua dataku bila laptopku meledak, kuraih tasku mencari USB milik Ken. Kutancapkan benda berwarna biru itu ke colokan USB yang ada di laptop dan buru buru kupindahkan semua folder berisi tulisanku ke dalamnya mengabaikan folder bertuliskan “Virus”  yang sudah ada di dalam USB itu. Benar saja, tak lama kemudian sebuah percikan disusul asap hitam muncul diiringi matinya layar laptopku. Kupencet tombol start beberapa kali tanpa hasil. Dasar laptop butut! Umpatku dalam hati berharap semua file sudah terpindahkan ke USB. Kucabut benda biru itu dan kuselipkan kembali ke dalam tas. Besok sebaiknya aku pergi memperbaiki laptopku dulu sebelum bertemu Ken untuk mengembalikan USB miliknya. Aku merangkak ke atas kasur dan menutup mata langsung terbawa ke alam mimpi penuh oleh Pony dan Unicorn. Keesokan harinya pria yang bekerja di tempat servis laptop memberiku berita buruk. Butuh paling tidak seminggu untuk mereka memperbaiki laptop itu. Dengan biaya yang mungkin hampir mirip dengan membeli laptop baru. Aku memutuskan untuk memperbaiki laptopku mengingat budgetku yang terbatas. Aku berjalan keluar dari toko dan memutuskan untuk mengubah rencanaku menemui Ken hari itu berhubung USB yang akan kukembalikan kini penuh berisi oleh novel dan buku harianku. Aku berjalan menuju sebuah toko buku yang terletak tidak jauh dari situ. Bau wangi kertas yang baru dicetak memenuhi hidungku ketika aku membuka pintu depan toko buku. Aku langsung berjalan menuju bagian fiksi dan mulai membaca sampul-sampul buku yang terpajang di rak.  Aku sedang asik membaca rangkuman sebuah novel pembunuhan karya penulis Jepang ketika seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan melihat wanita yang kukenali sebagai teman kencan Ian dari The Bunker Sabtu malam lalu. “Ah..ternyata benar ini kamu, teman Ian kan? Kita bertemu Sabtu kemarin di The bunker?!” sapanya mengulurkan tangannya yang terlihat terawat dengan kuku mengkilap. Mengenakan setelan dress suit dan blazer , wanita itu terlihat sangat profesional dan dewasa. Berbeda terbalik dengan penampilanku yang terlihat lusuh hanya memakai kaos kedodoran dan legging. Kuraih tangannya yang terjulur menyalaminya. “Oh..Hai..Ya, aku ingat. Maaf aku membuat sedikit keributan malam Sabtu kemarin. Terlalu banyak Gin dan kurangnya Tonic.” candaku berusaha menutupi kekagetanku. Wanita itu tertawa dengan mengeluarkan suara tawa seperti dibuat buat dengan tangan terangkat menutupi mulutnya. “Ah..Jangan khawatir soal itu. Kenalkan aku Anabelle.” “Ky..mm.. Elena!” jawabku hampir menyebutkan nama asliku. “Kemana kau dan Ian pergi malam itu?” “Dia hanya mengantarku pulang.” Hmm.. penasaran sekali wanita ini dengan urusanku? “Oh..memangnya apa hubunganmu dengan Ian?” Aku mulai merasa terganggu dengan pertanyaannya. “Memangnya apa hubunganMU dengan Ian?” tanyaku balik. Wanita itu tampak kaget dengan pertanyaan balik ku. Tangannya langsung disilangkan di depan dadanya. “Ian adalah salah satu teman terlama ku. Keluarga kami sudah saling kenal sejak kami masih kecil. Dan bila kau ingin tahu lebih jauh, kami sempat berpacaran ketika masih kuliah.” Tidak perlu wanita itu menyebutkan, aku ingat betul bahwa dirinya adalah mantan Ian. “Hm.. aneh karena Ian tidak pernah bercerita tentangmu.” Balasku iseng, sengaja memancing kemarahannya. “Ohya? Ian juga tidak pernah bercerita tentangmu. Padahal kita sering bertemu.” Aku mengangkat bahu, “Masuk akal sih kita baru bertemu paling juga 2 minggu yang lalu.” Perlombaan kami akan siapa yang lebih mengenal Ian terputus oleh suara handphone ku yang berbunyi. Aku mengaduk tas selempang yang kubawa mencari benda yang masih berbunyi itu. Kupegang handphone dihadapanku membaca nama siapa yang muncul di layar. Tampak jelas tulisan “IAN R” di layarku, kulirik Annabelle yang jelas mengintip dan ikut membaca nama itu. Wanita itu tampak tertegun melihat nama yang tertulis. “Sorry, Aku harus mengangkat teleponku. Senang jumpa denganmu Ana.” jawabku sambil membalikkan badan dan berjalan menjauh dari wanita yang kini menatapku dengan tatapan penuh kecemburuan. “Ian?” tanyaku ketika mengangkat sambungan telepon. “Hei! Dimana kau?” “Toko Buku di jalan Taurus. Kenapa?” “Jam berapa kau harus kembali ke sekolahan?” Oh sialan, aku lupa kalau aku adalah seorang guru di matanya. “Oh aku selesai lebih cepat kalau Senin. Ini aku sudah mau pulang.” Sebuah kebohongan dengan mudahnya meluncur dari mulutku. “Tunggulah disana, 10 menit. Ku Jemput makan siang.” “A..apa? Sekarang?” “Apakah kau ada acara lain?” Suaranya terdengar sedikit kecewa. Kulirik pakaianku yang jelas jelas tidak menampakan baju seorang guru. “Uhmm.. bagaimana kalau kau temui aku di apartemen? Karena aku sudah ada diatas bus sekarang.” Kebohongan lagi. “Baiklah. Sampai jumpa di apartemen.” Aku langsung berlari keluar toko dan buru buru mencari taksi pulang ke apartemen, tanpa sadar sepasang mata yang memandangiku penuh kecurigaan. Aku tiba di rumah beberapa menit sebelum Ian muncul, memberiku waktu untuk berganti baju dengan celana panjang dan kemeja. Kusanggul rambutku ke atas agar terlihat lebih rapi. Seseorang mengetuk pintu apartemenku tepat ketika aku sedang menyelipkan sepatu berujung lancip yang terlihat paling mirip sepatu seorang pekerja. Ian memandangiku dari pintu yang terbuka lebar, mungkin terkejut melihat penampilanku. “Kenapa?” tanyaku merasa takut ada yang aneh dari pilihan “kostum”ku. Tapi pria itu hanya menggeleng sambil tersenyum, “Hanya tidak terbiasa melihatmu berpakaian seperti ini. Kau tampak..uhm...rapi.” “Jadi maksudmu, aku biasanya berantakan?” Ian tertawa melihat wajahku yang tersinggung. Ditariknya tanganku sehingga badanku mendekat kearahnya. Tangannya menarik kunciran sanggulku hingga rambutku kembali terurai. Wajahnya makin mendekat ke telingaku membuatku salah tingkah. “Untungnya aku lebih suka melihatmu berantakan.” bisiknya. Tersenyum berhasil membuat pipiku memerah, Ian mundur selangkah sebelum mengajakku turun karena hendak membawaku makan siang. Cafe yang kami tuju memiliki suasana casual yang ramai oleh orang orang perkantoran yang sedang makan siang. Beberapa orang mengenali Ian dan terlihat berbisik bisik satu sama lain membuatku was was ada yang mengenaliku. “Kau terlihat agak tegang.” ucap Ian mengamati ku yang menoleh ke sekeliling ruangan setiap 5 menit. “Banyak orang yang mengamati kita. Aku agak tidak terbiasa dengan semua perhatian ini.” “Aku tahu. Karenanya aku lebih suka berada di rumah atau di kantor. Sorry.” Wajahnya terlihat agak kecewa karena aku tidak menikmati makan siangku membuatku merasa bersalah. “Bukan salahmu, Ian. Aku hanya tidak terbiasa berkencan dengan seorang selebriti.” Ian nyengir mendengar alasanku. “Tahu kah kau siapa yang kutemui tadi siang di toko buku?” tanyaku kepadanya sambil mengangkat burger yang kupesan. “Anabelle.” “Oh?” jawabnya singkat tampak tidak peduli. “Sepertinya aku memenangkan ronde pertama.” “Hah? Apa?” Ian tampak kebingungan dengan ucapanku. “Tidak sadarkah kamu kalau Anabelle masih menginginkanmu?” Ian menggelengkan kepalanya, “Kami sekarang hanya teman. Keluarga kami sudah kenal sejak lama. Bahkan Neocyber selalu menggunakan kantor ayahnya untuk mewakili semua masalah hukum kami.” “Boleh kutahu kenapa kalian putus?” tanyaku. “Entahlah..Kurasa kami hanya terlalu berbeda. Dia mempunyai ekspektasi lain dari hubungan kami. Lagipula, kami sudah putus lama. Tidak mungkin Ana masih menyimpan perasaan untukku.” Giliranku yang menggelengkan kepala, “Tidak mungkin aku salah. Anabelle masih berharap untuk bisa kembali denganmu. Percayalah padaku, aku lumayan pintar dalam hal menebak keinginan seseorang dari wajah mereka.” Trik yang aku master dari menebak nebak isi hati ibu tiriku yang berubah bagaikan lautan didalam naungan Dewa Poseidon. “Benarkah?” tanyanya. “Tahukah kamu apa yang kuinginkan?” Ian menatapku serius dengan tatapan mata gelapnya. Rahangnya yang kuat terkatup rapat memberikan definisi di wajahnya yang tampan, membuat jantungku berdenyut lebih laju. “Hah? Sorry, aku tidak bisa berkonsentrasi menatap wajah tampanmu.” gombalku membuat pria itu kembali nyengir memutuskan kontak matanya yang membuatku tidak bisa bernafas. “Alex terkesan sekali dengan kemampuanmu berkuda. Mereka mengundang kita untuk menginap di peternakan mereka weekend ini. Bagaimana menurutmu?” tanyanya setelah senyumannya mereda. “Benarkah? Aku juga menikmati waktuku bersama mereka.” “Ada banyak kamar di rumah mereka, jadi kau tidak perlu takut tentang pengaturan tempat tidur.” Kupandangi wajah Ian yang serius menanggapi ucapanku yang mengatakan bahwa aku ingin menyimpan kesucianku untuk suamiku kelak. Kebohongan demi kebohongan yang mengalir dari mulutku bagaikan aliran air. Takut aku membayangkan apa yang akan dilakukannya, bila dirinya tahu kebenaranku. Tentang aku yang bukan siapa siapa. Tentang aku yang hanyalah seorang pela*cur. Satu minggu lagi, janjiku pada diriku sendiri.   Setelah aku bisa mengembalikan USB milik Ken. Setelah laptopku selesai diperbaiki. Setelah itu aku harus mengakhiri cerita ini. Satu minggu lagi aku bisa memilikinya, karenanya aku mengangguk menerima tawarannya. “Ok” jawabku, “Sepertinya akan menyenangkan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN