11. Dinasti Roshan

1506 Kata
Sudah enam hari aku tidak menulis diary di folder “Dongeng”ku karena laptopku yang masih di perbaiki. Hari-hari kuhabiskan dengan membaca ulang koleksi buku yang kumiliki. Ian mengirimkan beberapa novel baru yang di belinya untukku membuatku makin merasa bersalah telah memanfaatkan kebaikkannya. Hanya sampai senin, janjiku. Setelah laptopku pulih, aku bisa memindahkan file ku dan mengembalikan USB milik Ken. Bobby meneleponku hari kamis memberitahuku kalau Ken menanyakan diriku beberapa kali hendak menjadwalkan pertemuan denganku. “Aku bisa minggu depan, Bob. Justru aku perlu bertemu dengannya tentang masalah Ian.” jawabku. “Masalah apa?” tanya Bobby di ujung saluran. “Kurasa kau benar. Semua ini terlalu berbahaya untukku. Aku berniat untuk mengembalikan USB berisi virus itu padanya.” Bobby terdiam beberapa saat sebelum menarik nafas. “Baguslah kalau begitu, Ky. Nanti coba kujadwalkan untuk minggu depan.” Aku berterima kasih dan menekan tombol merah di handphone ku. Sabtu akhirnya tiba dengan sangat lambat. Kumasukkan barang barang yang kubutuhkan untuk menginap semalam di peternakan Alex Garret ke dalam tas jinjingku. Ian datang menjemput dengan mobil hitamnya ditemani Kelly dan Yanni. “Wow..full team hari ini?” tanyaku melihat kedua bodyguard Ian yang sedang memasukkan tasku ke dalam bagasi. Ian tertawa membukakan pintu untukku. “Kau tidak tahu berapa banyak orang yang mengincarku. Terlebih kini aku sedang mengerjakan proyek baru.” Jawaban Ian serasa menampar wajahku. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.” ucapnya ketika kami sudah di dalam mobil. Kulirik Kelly dan Yanni yang duduk di kursi depan. Tidak terlihat reaksi apapun di kedua orang itu. Mungkin sudah terlatih untuk tidak mengacuhkan percakapan bosnya. “Aku juga memikirkanmu setiap saat, Ian.” bisikku pelan. Ian tertawa. “Kenapa kau berbisik bisik?” “Aku tidak ingin percakapan kita terdengar Kelly dan Yanni.” bisikku. “Ah..” Ian menekan sebuah tombol di dekat jendela dan sebuah kaca hitam yang berfungsi sebagai pembatas antara kami dan kedua bodyguard Ian, berjalan naik. Aku menatap kaca pembatas dengan mata melotot. “Kenapa tidak pernah kau gunakan sebelumnya? Aku selalu merasa canggung bermesraan di hadapan mereka.” Ian mengelus pinggangku. “Baiklah. Sekarang kau boleh melakukannya,” ucapnya sambil menarik lenganku agar wajah kami berhadapan. Dielusnya sisi wajahku menyibakkan rambut panjangku yang jatuh di depan wajahku, kemudian dikecupnya bibirku ringan. Sekujur badan ku dengan segera merespons sentuhan dan ciumannya. Bisa kurasakan detak jantungku yang berdetak kencang, dan wajahku yang mulai memanas. Tangannya menekan tengkukku, mengelus rambut halus di belakang leherku dengan jarinya yang terasa hangat. Nafasku terengah ketika lidahnya menyapu lidahku dengan lembut, hanya sesaat sebelum pria itu melepaskanku. Menjauhkan wajahnya dari wajahku. “Kenapa kau berhenti?” tanyaku ketika seluruh sel di tubuhku masih berusaha menjangkaunya. Ian tersenyum simpul sambil menyandarkan punggungnya ke belakang, “Jika tidak, aku tidak akan bisa menghentikan diriku nanti.” Sial dengan janji suci bohong yang tidak seharusnya kuucapkan!, jerit otakku ketika satu satunya yang kuinginkan saat ini adalah merobek pakaian pria ini dan menjadikannya milikku walau hanya sesaat. Aku memejamkan mata dan menarik nafas panjang berusaha menenangkan gejolak biologis yang berteriak tak karuan di dalam diriku. Tahan, Ky! Tidak akan ada hal yang baik keluar dari hubungan ku dan Ian. s*x hanya akan memperkeruh kondisi. Kubuka mataku dan kulihat Ian sedang menatapku dengan seksama membuatku salah tingkah. “Sorry, bukan maksudku membuatmu tidak nyaman.” ucapnya tersenyum. “Aku hanya tidak bisa menebak apa yang ada di dalam isi kepalamu, ketika kau merenung seperti itu. Sepertinya ada banyak hal yang terkunci di dalamnya.” Ucapannya membuatku terdiam. Oh Ian, tidak ada orang yang berminat untuk melihat dalamnya kepala ini. Hanya kepahitan dan derita yang tersimpan. Sesuatu yang sudah kugembok rapat rapat. Percayalah, bahkan aku sendiripun tidak ingin membukanya. Aku tertawa menutupi kesedihanku. “Oh Ian,percayalah jika kubilang isi kepalaku jauh lebih sederhana dan simpel bila dibandingkan dengan isi kepalamu. Di dalamnya cuma terisi hal hal yang mendasar seperti makanan, atau betapa beruntungnya aku bisa menggaet seorang bilioner.” Kutarik lengan nya yang kekar dan mendaratkan ciuman ke bibirnya berusaha mengakhiri pembicaraan kami. Untunglah usahaku berhasil karena sepanjang perjalanan kami lewati dengan sedikit perkataan dan lebih banyak desahan. Gianna dan Alex sudah berdiri di depan peternakan ketika kami tiba. Wajah mereka terlihat sedikit gelisah.  Gianna memberiku sebuah pelukan hangat sebelum menoleh ke kakaknya dan langsung berkata, “Ian aku mempunyai berita buruk.” Alis Ian berkerut, “Apa?” tanyanya. “Aku tidak sengaja mengucapkan bahwa kau akan menginap di sini semalam bersama kekasihmu ke Mami.” Gianna berhenti sejenak menunggu reaksi Ian. “Ok. Aku tidak peduli.” “Tunggu sampai aku selesai cerita karena itu bukan berita buruknya. Malam ini ibu akan ikut menginap di sini bersama ayah… dan mereka mengajak Anabelle.” APA!!? Jerit otakku panik. Berbeda dengan Ian. Pria itu hanya mengangkat bahunya seakan tidak peduli akan perubahan rencana itu. “Huh..” Dengus Gianna bingung, “Kukira kau akan lebih marah dari ini.” “Kenapa aku harus marah?” “Sebagai seseorang yang dianggap genius, kadang aku heran betapa bebalnya dirimu akan perasaan orang. Jelas jelas Mami ingin memata matai Elena. Dan mungkin membandingkannya dengan Anabelle. Tidak sadarkah kau bagaimana ibu kita berusaha menjodohkan kalian sejak dulu?” Gianna menatap wajah Ian yang balik memelototinya. “Aku tidak peduli. Elena? Apakah kau keberatan dengan perubahan rencana ini?” tanya Ian sambil menoleh padaku. TENTU SAJA AKU KEBERATAN!!, jeritku dalam hati. “Uhm…” Aku memutar otak mencari alasan untuk menolak. Tanpa mengecewakan Ian. Setelah beberapa detik berlalu dan semua orang menatapku, menunggu penuh suspens, akhirnya aku menarik nafas dan menjawab, “Tentu saja tidak.” SIALAN!! Umpatku. Kini bagaimana menjaga hubungan ini agar tidak menjadi rumit ketika berakhir. Sambil menantikan kedatangan kedua orang tua mereka, Melissa dan Alan Roshan, aku menghabiskan waktu berbincang bincang dengan Gianna. Sedikit mengorek informasi tentang orang tua mereka. Kami sedang duduk di teras belakang, ketika Gianna menceritakan padaku bagaimana ibunya sempat menentang hubungannya dengan Alex. Hanya karena Alex dianggapnya kurang mapan dibanding dirinya yang mewarisi sebuah pabrik tekstil. Bayangkan, Alex yang mempunyai sebuah peternakan kuda balap yang cukup besar, sebuah rumah besar walau di pinggiran kota, seorang pembantu dan beberapa pekerja peternakan, masih dianggap kurang mapan oleh ibu mereka. Bagaimana dengan diriku yang hanya seorang…. Bulu kuduk ku merinding membayangkannya. “Tapi tenang saja. Ian memiliki penghasilan melebihi keluarga kami. Tidak ada yang bisa Mami gunakan untuk mengancamnya. Berbeda dengan diriku yang sempat akan di coret dari daftar ahli waris jika berkeras untuk menikahi Alex.” Sambung Gianna sepertinya bisa menebak pikiranku. “Lalu bagaimana akhirnya kau berhasil mengubah pendapat ibumu?” tanyaku. “Dengan Alex menghamiliku.” Gianna berbisik sambil nyengir. “Jika ada yang lebih di benci ibuku dari status sosial, adalah jika anaknya hamil diluar nikah.” “Kau hamil..? Selamat Gianna!” Aku memeluk wanita itu. “Berapa bulan?” “Baru 2 bulan. Karenanya pesta kami diadakan mendadak dengan persiapan serba kilat. Ibu ku tidak ingin ada yang mengetahui bahwa aku sudah hamil sebelum resepsi.” Alex muncul memotong pembicaraan kami untuk memberitahukan bahwa rombongan yang dinantikan sudah datang. Gianna melompat berdiri dan menggandengku keluar. Ian sedang menyapa dan memeluk ayahnya, Alan Roshan, ketika Mellisa Roshan turun dari mobil dibantu oleh pegangan tangan dari wanita yang diinginkannya sebagai menantu, Anabelle. Aku berdiri dengan jantung berdebar tidak karuan di samping Gianna yang menyambut ibunya. “Mi..Pi.. Ini Elena. Kekasihku.” Ian menggenggam tanganku sambil memperkenalkanku pada orang tuanya. Ayah Ian langsung membuka tangannya lebar lebar untuk memelukku sambil tertawa hangat. “Kemana saja Ian menyembunyikanmu selama ini, dear?!” Aku tersenyum kearah Alan sedikit lega dengan keterbukaannya menyambutku. Setelah lepas dari pelukan Alan, kujulurkan tanganku ke arah Mellisa Roshan yang memandangiku sejenak dengan tatapan terdingin yang pernah kurasakan sebelum menyambut salamku dengan dengusan pelan. “Elena, apa kabar. Tidak kusangka akan berjumpa denganmu lagi hari ini.” Potong Annabelle sambil memelukku dengan sebuah senyuman paling palsu yang pernah kulihat. “Hai Annabelle, mungkin kita bisa melanjutkan percakapan kita kapan hari. “ ucapku menghapus senyuman di wajahnya yang terpoles rapi oleh makeup. Stop, Ky. Jangan membuat suasana menjadi semakin keruh, teriak otakku. Jangan singgung wanita yang terkenal sebagai salah satu pengacara terbaik di kota ini. Gianna mengajak semua orang untuk masuk ke dalam dan beristirahat sambil menunggu makan malam. Ian mengangguk mengijinkanku untuk menyelinap pergi dari keluarganya ketika Alex mengajakku untuk berkuda. “Kau cukup tenang untuk orang yang baru pertama kalinya bertemu dengan keluarga kekasihmu.” Alex berkomentar. Aku tertawa, “Mungkin dari luarnya, tapi di dalam otakku, keringat dingin mengalir kemana mana.” Alex tertawa mendengar jawabanku. “Mellisa Roshan tampak nya akan menjadi ibu mertua yang menyenangkan.” Imbuhku. “Aku menikahi anak perempuannya satu satunya. Kurasa dia hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya.” “Kau benar benar bisa melihat kebaikan semua orang huh, Alex?” jawabku terkesan akan cara pikirnya yang positif. Sesuatu yang jarang kutemui dalam hidupku. Kami menghabiskan sore itu di lapangan mengajak kuda kuda Alex yang berjumlah 8 ekor berkeliling untuk melatih kelenturan otot mereka. Aku sedang menyisir bulu Titus ketika Ian berjalan masuk ke dalam kandang. “Gianna mencarimu. Makan malam sudah hampir siap.” Ucapnya kearah Alex sembari mengelus punggungku. “Oh..ok. Elena, aku sebaiknya masuk ke dalam. Gianna pasti mengomeliku jika tidak membantunya menyiapkan meja. Bisakah kau tutup pintu kandang ketika keluar?” tanya Alex. Aku mengiyakan dan pria itupun menepuk pundak Ian sebelum pergi keluar. “Kau disini sejak tadi, apakah kau bersembunyi ?” tanya Ian. “Mungkin. Kurasa aku hanya sedikit minder bertemu keluargamu.” “Hmm aku paham. Aku pasti akan merasakan hal yang sama ketika bertemu keluargamu.” Aku tergelak, “Kau tidak ingin bertemu keluargaku.” “Kenapa tidak? Ceritakan padaku tentang mereka. Dimana mereka tinggal?” “Ayah sudah meninggal ketika aku berumur 16 tahun. Hanya tersisa ibu dan adik tiriku.” Kugelengkan  kepalaku. “Mungkin lain kali kuceritakan tentang mereka. Bagaimana kalau kita masuk ke dalam? Aku sudah mulai lapar juga.” Ian mengerutkan alisnya mungkin sadar bahwa aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi pria itu hanya mengangguk dan menggandengku keluar. “Kau perlu mandi juga, E. Aroma tubuhmu mirip dengan Alex dan kuda.” Bisik Ian sambil merangkul bahuku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN