Kami semua duduk di sepanjang meja kayu di teras belakang rumah Alex.
Di satu sisi ada Alex, Gianna, aku, dan Ian. Sementara di hadapanku duduk Alan, Mellisa, dan Annabelle. Makanan dan wine tersaji lengkap di hadapan kami menunggu.
Beberapa saat, kami hanya saling menunggu, duduk dengan canggung, menatap satu sama lain berharap seseorang memulai. Hingga akhirnya Alex berdiri dan mulai mengambil potongan ayam ke dalam piringnya.
“Mari makan semuanya.” Ajaknya. Kamipun mulai mengikuti sang tuan rumah dan mulai sibuk memenuhi piring dengan makanan yang terhidang.
“Bagaimana kabar persiapan pernikahan kalian, Gianna?” tanya Annabelle memecah kesunyian.
“Oh..semulus yang bisa dilakukan dalam waktu dua bulan persiapan.” Jawab Gianna.
“Apakah semua vendor sudah dibooking?” lanjut Ana.
“Yap. Tinggal baju yang harus di fitting ulang mendekati hari H. Mengingat ukuran tubuhku yang mungkin berubah.” Gianna berkedip ke arahku diikuti pelototan dari mata ibunya.
“Karena kau pasti akan semakin kurus sebelum pesta pernikahanmu karena diet dan stress kan?” tanya Anabelle yang tampaknya tidak tahu akan berita kehamilan Gianna.
“Uhuh..tentu saja.” Jawab Gianna nyengir.
Melissa terbatuk berusaha mengubah pembicaraan dari anaknya, dan menatapku.
“Jadi Elena? Apa pekerjaanmu?”
Deg!
“Hm..aku bekerja sebagai guru SD di sebuah sekolah lokal.” Sahutku.
“Oh wow..seorang guru. Bagaimana kalian bertemu?” lanjutnya.
Hah?? Aku melirik ke arah Ian berusaha meminta tolong padanya untuk menjawab.
“Aku membawanya pulang hari pertama berkenalan dengannya.” Jawab Ian seolah mengerti signal ku. Tapi jawaban yang di ucapkannya justru membuat Melissa makin melotot.
“Apa!?”
“Seseorang memberinya obat tidur di Club yang kami datangi. Untuk memastikan tidak ada yang memanfaatkannya, aku membawanya pulang. Dan kurasa sejak itu aku tidak bisa mengeluarkannya dari pikiranku.”
Ian menggenggam tanganku yang berkeringat di bawah meja dan memandangi wajahku seolah aku adalah wanita terakhir di dunia ini.
“Huh..Wanita yang cerdas tidak akan sembarangan mempercayai orang di Club malam.” dengus Mellisa diikuti anggukan Anabelle.
“Aku hanya pergi ke Club malam bila ada yang undangan dan ditemani oleh orang yang aku percaya. Makanya biasanya Ian menemaniku,” sela Anabelle.
“Oh..please..Ana, apa kau lupa jaman jaman kuliah dulu? Betapa liarnya dirimu setelah putus dari Ian.” sahut Gianna. “Kau hampir saja dilabrak seorang wanita karena mencium pacarnya ketika mabuk.”
Kulirik mata Annabelle yang hampir melompat keluar mendengar Gianna membongkar rahasianya. Wanita itu meraih segelas wine di hadapannya dan meminum nya sampai habis.
Ah..Ide bagus, pikirku mengikuti Anabelle. Aku perlu sedikit alkohol untuk bisa melalui malam bersama keluarga ini.
Sisa makan malam berlanjut dengan ketegangan mirip acara gameshow yang mengharuskanku menjawab pertanyaan pertanyaan dari host agar bisa memenangkan sejumlah uang. Dalam hal ini pertanyaan dari Melissa Roshan.
“Dimana tinggalmu?”
Kusebutkan alamat apartemen kumuhku.
“Apa pekerjaan ayahmu?”
“Sudah meninggal. Sebelumnya dia mempunyai swalayan kecil di desa.”
“Berapa saudaramu?”
“Satu adik perempuan.”
“Berapa umurmu dan berapa umur adikmu?”
“Aku 22 tahun, dan adikku 18 tahun.”
“Apa yang kau harapkan dari hubunganmu dengan anakku?”
“Uhm..entahlah..dua orang anak?” jawabku tidak serius membuat hampir semua tertawa, kecuali Melissa dan Ana.
“Sorry tante, aku kadang suka menjadi sok pintar ketika stres.” Imbuhku ketika kulihat mata Melissa yang melotot kearahku
“Oke Mi, kurasa sudah cukup kau menggerilya Elena dengan pertanyaanmu!” sela Ian menyelamatkanku diakhir makan malam. “Aku ingin mengajaknya jalan jalan diluar bila kalian tidak keberatan.”
Aku mengikuti tarikan tangan Ian keluar ke kebun belakang yang menyambung ke perbukitan yang aku daki kemarin bersama kuda Alex,Titus. Kami terus berjalan menaiki bukit hingga rumah Alex terlihat mengecil dikejauhan.
“Kurasa kita sudah cukup jauh dari rumah.” Ujar Ian mendudukkan tubuhnya diatas rumput. Aku mengikuti dan duduk di sebelahnya. Summer dress yang kupakai menggesek rumput yang terasa sedikit basah di pantatku. Kuselonjorkan kakiku sementara wajahku menatap ke ribuan bintang yang ada diatas kami.
“Maaf soal cercaan dari Ibuku. Dia kadang bisa menjadi sedikit tidak berperasaan.”
“Hm.. jangan khawatir. Seperti yang Alex bilang, kurasa dia hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kau beruntung memiliki keluarga seperti mereka. Ayahmu sepertinya penyabar, dan Gianna.. tipe wanita yang ingin kau miliki sebegai teman baik. Dia sangat mandiri dan berpendirian.”
“Bagaimana dengan keluargamu? Apakah sekarang saat yang tepat untuk menceritakannya?”
Aku merenung berpikir. “Setelah kepergian ayahku, ibuku mengalami depresi dan lebih sering mengurung diri di kamarnya. Meninggalkan Riri, adikku, untuk mengurus dirinya sendiri. Aku berusaha mengirimkan uang hasil gajiku yang tidak seberapa untuk hidup mereka dan biaya kuliah Riri. Berharap, mungkin suatu saat aku bisa mengajak Riri untuk pindah dan bersekolah disini. Gadis itu adalah bukti nyata kebaikan itu memang ada di dunia ini. Dia adalah alasan aku masih bertahan selama ini. Semua yang kulakukan adalah untuknya.”
Kejujuran yang keluar dari mulutku bagaikan pedang bermuka dua yang menusuk hatiku disaat yang bersamaan.
“Hm..kuharap aku bisa bertemu dengan adikmu suatu saat nanti.” Ucap Ian membuatku tersenyum.
“Mungkin. Dia jauh lebih cerdas dibandingkan diriku. Kurasa kalian akan cocok.”
Kulirik wajah Ian yang menatapku dengan sungguh sungguh. Angin berhembus meniup rambutku yang berterbangan menutupi sisi wajahku. Tangan Ian terangkat mengelus pelipisku menyelipkan rambut yang berhamburan kembali ke balik telingaku. Kali ini akulah yang mendekatkan wajahku dan mencuri sebuah ciuman dari bibirnya.
Aku hendak menarik wajahku tapi tangan Ian yang masih di sisi wajahku menahan dengan lembut agar aku tidak menjauh. Berusaha memperpanjang ciuman dibawah bintang kami.
Kami menghabiskan sisa malam di bukit itu, bercerita tentang berbagai hal.
Tentang masa kecilnya yang susah untuk bisa berteman dengan anak sebayanya. Susah untuk mengungkapkan pikirannya ke dalam kata kata.
Kurasa yang mungkin disebabkan oleh kepintaran otaknya yang melewati anak seumurnya. Itulah yang akhirnya menyebabkan impian nya untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain melalui telepati. Sesuatu yang sedang dikerjakannya saat ini.
“Jadi kau akan bisa memindahkan pikiranmu ke dalam network komputer yang akan bisa diakses oleh otak orang lain secara langsung tanpa perangkat apapun. Persis seperti telepati.” Terangnya.
Aku hanya terbelalak mendengar penjelasannya yang seolah keluar dari film scifi tentang masa depan.
“Dan kau sedang mengejakan program ini?” tanyaku.
Ian mengangguk, “Entahlah. Masih terlalu jauh untuk di bilang berhasil. Aku belum ingin membawa orang lain dalam project setengah jadi ini sebelum aku yakin akan hasil akhirnya. Karenanya aku mengerjakannya di rumah sendirian. Aku tidak ingin teknologi yang masih hijau ini di salah gunakan.”
Inikah teknologi yang ingin dicuri oleh Ken dan dijual kepada saingan bisnis Ian? Sebuah program telepati?
“Belum ada seorangpun yang tahu tentang program ini. Kecuali kau, Elena. Bisakah kau jaga rahasiaku?”
Aku mengangguk. “Terkadang aku lupa bahwa kau adalah seorang genius, Ian.”
“Benarkah? Kalau begitu mengapa aku kadang merasa begitu bodoh jika berhadapan denganmu?”
Aku tertawa. “Untunglah aku pintar membaca pikiranmu tanpa perlu memakai mesin telepatimu, kalau begitu.” Ucapku merangkak naik ke pangkuan Ian mengalungkan kakiku ke pinggangnya. Ku sisir rambutnya dengan jemariku dan kudaratkan sebuah ciuman yang panjang di bibirnya.
Harapanku agar malam tidak cepat berakhir kandas ketika sinar jingga mulai menyeruak di tepian horizon langit timur.
“Tidak terasa sudah subuh.” ucapku sambil menyandarkan kepalaku ke dadanya yang kekar. Terdiam menunggu munculnya cahaya baru.
“Ian, ibumu mencarimu.” Suara Anabelle mengagetkan kami berdua.
Ian menoleh dan bertanya, “Hah? Jam berapa ini?”
“Enam. Dia sudah menunggu di kamarnya.”
Ian menoleh ke arahku dan berbisik, “Aku akan segera kembali.” Sebelum mendaratkan sebuah ciuman di keningku dan berdiri berlalu.
Anabelle menghampiriku dan duduk di sebelahku. Kulirik wanita itu yang sudah tampak rapi di pagi hari seperti sudah bangun dari jam 4 dan menge’blow’ rambutnya dan memakai makeup lengkap.
Sekilas kulihat tangannya, sedikit iri dengan perhiasan mewah yang di pakainya. Siapa coba yang ke peternakan kuda dengan mengenakan cincin dan gelang kaki? Tapi tetap aku mencoba untuk menyapanya dengan sopan.
“Hei Ana. Bagaimana tidurmu?”
“Apakah kau menikmati segala kemewahan yang Ian berikan?” balasnya.
“Apa maksudmu?”
“Bukankah itu yang kau incar? Harta Ian?”
Aku mengerutkan dahi ku bingung. Apaan sih pagi pagi sudah nyolot?
“Apa kamu ada masalah denganku?” aku balik bertanya.
Anabelle menatapku dengan pandangan yang mengingatkanku akan singa yang bersiap untuk menelan bayi rusa bulat bulat. “Dengar ya, pria seperti Ian ditakdirkan untuk menikah dengan wanita sepertiku.”
Aku balik menatapnya tanpa berkedip. Bayi rusa ini tidak akan menyerah tanpa menendang dagu sang singa. “Wanita maniak kontrol dan gila sepertimu maksudnya?”
Bisa kulihat bibir Anabelle yang mengerut menahan marah karena ucapanku. Tidak seharusnya aku berani membuka mulutku melawan wanita ini. Karena apa yang dilakukannya setelah pertemuan kami hari itu akhirnya akan membawa penyesalan yang mendalam karena telah menyinggungnya.
Ian kembali dan mengajakku masuk ke dalam. Mandi dan sarapan bersama keluarga nya. Kemudian bersiap untuk kembali ke kota.
“Kenapa ibumu memanggilmu pagi tadi Ian?” tanyaku ketika kami sudah ada di dalam mobil yang dikemudikan Kelly.
Ian hanya menggelengkan kepala enggan untuk menceritakannya. “Tidak penting.” Jawabnya singkat sambil merangkul pundakku. Kurebahkan kepalaku di bahunya mengira-ngira hal buruk apa yang di ucapkan ibunya tentangku. Karena jelas wanita itu tidak menyukaiku.
Bunyi detak jantung Ian di telingaku dan bunyi deru mobil, membuat kepalaku terasa berat. Kututup mataku sejenak sambil merasakan hembusan nafasnya yang manis dan tanpa sadar tertidur di dalam pelukan hangatnya.