Aku terbangun diatas kasur lebar yang tampak asing. Sinar matahari yang terik terpancar melewati celah korden yang terbuka sedikit. Perlahan kukenali kamar yang pernah kutiduri saat aku pertama kali di bawa Ian ke rumahnya. Aku pasti tertidur pulas di perjalanan pulang dari peternakan dan Ian membawaku kemari.
Kukucek mataku pelan sambil menoleh ke samping. Betapa kagetnya aku ketika menemukan Ian yang juga tertidur pulas di sampingku. Kuamati sejenak wajah pria itu. Tengkurap sambil memeluk guling aku bisa melihat sisi alis tebalnya menaungi matanya yang tertutup. Bibirnya yang sempurna membuatku cemburu pada bantal yang menopang wajahnya.
Deg!
Seketika ide muncul di kepalaku.
Kuraih tas selempangku mencari handphone. Jam 2 siang. Ada 2 text masuk. Satu dari Bobby yang menanyakan dimana keberadaanku, satu lagi dari tukang servis laptop yang mengabari bahwa senin laptopku sudah bisa diambil karena sudah selesai diperbaiki.
Kumasukkan lagi handphone ke tasku dan ku selempangkang ke bahuku sambil berjalan keluar kamar. Suasana di dalam rumah tampak sepi. Hanya suara pelan seorang wanita yang bergumam sambil bernyanyi terdengar dari ruang depan. Aku mengintip ruang duduk dari lorong tempatku berdiri. Tampak Martha sedang mengelap perabotan sambil bersenandung pelan. Aku melangkah mundur dan berjalan berjinjit ke belakang.
Dengan nafas tertahan aku bergegas menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang tidak berpintu. Benar dugaanku, ruangan itu kosong. Aku berjalan masuk ke dalam ruangan bersekat kaca itu hingga berdiri didepan komputer Ian, USB biru ada di tanganku.
Tanganku terjulur hendak menyalakan komputer Ian sebelum otakku menjerit menghentikanku.
Tidak, Ky. Stop! Kau bukanlah seorang pencuri. Bayangkan betapa kecewanya Ian bila hasil kerja kerasnya selama ini lenyap.
Aku berdiri termenung di hadapan komputer Ian selama beberapa menit, sebelum akhirnya kumasukkan lagi USB itu ke dalam tasku.
Perlahan aku berjalan kembali ke atas, masuk ke dalam kamar. Kutatap lagi tubuh Ian yang masih mendengkur pelan diatas ranjang. Punggungnya bergerak naik turun dengan irama teratur.
Kuletakkan tasku di sisi meja dan perlahan aku merangkak menaiki ranjang. Kuraih lengan Ian yang memeluk bantal dan mengangkatnya hingga melingkari bahuku.
Terbangun karena ulahku, Ian memelukku lebih rapat dari belakang.
“Hei.” Bisiknya.
“Sorry aku membangunkanmu.”
Ian tersenyum, “Tidak apa apa. Aku tidak ingin tidur jika kau tidak tertidur.”
Aku membalikkan badanku hingga menatap wajahnya yang berjarak hanya sejengkal dari wajahku. Dibibirnya tersungging sebuah senyuman yang membuat matanya terlihat lebih sipit. Kuelus sisi wajahnya yang terasa agak kasar dari bulu jenggot yang mulai tumbuh.
Biasanya Ian mencukur rapi wajahnya, tapi dua hari di peternakan sepertinya membuat pria itu melalaikan kebiasaannya. Bukannya aku keberatan karena jujur, aku lebih menyukainya seperti ini. Membuatnya terlihat lebih maskulin.
“Apa yang ada di pikiranmu?” tanya Ian ketika mendapatiku hanya mengelus pipinya sambil termenung beberapa saat.
“Betapa beruntungnya aku saat ini.”
Dan betapa sedihnya aku karena mungkin ini adalah terakhir kalinya aku bisa memeluknya seperti ini.
“Akulah yang beruntung, E”
Ian menindihku dengan badannya yang hangat dan memberiku sebuah ciuman yang membuatku terengah. Tangannya mengelus pinggangku sebelum bergerak ke bawah meraba pahaku menyingkap rok yang kupakai keatas.
Aku bisa merasakan badannya yang mulai menegang menginginkanku sesaat sebelum pria itu menarik badannya menjauh dariku.
Ian menghempaskan tubuhnya ke sebelahku sambil menarik nafas, “Kau membuatku gila hanya dengan menyentuhmu, E.”
“Sorry.” Ucapku perlahan berusaha menutupi detak jantungku yang masih meloncat marah karena Ian menghentikan ciumannya.
“Kurasa sebaiknya aku pulang, Ian. Hari sudah sore dan besok Senin. Aku harus kembali bekerja.” Lanjutku beralasan.
“Tinggallah untuk makan malam dulu. Aku yakin Martha sudah tidak sabar bertemu denganmu.”
Aku tertawa dan mengangguk setuju. “Aku juga tidak sabar bertemu Martha. Mungkin dia bisa mengajariku memasak.” Usulku sambil beranjak berdiri dari ranjang.
Kurapikan gaun dan rambutku yang acak acakan karena ulah Ian yang kini duduk diatas ranjang sambil memandangiku dengan tatapan mata yang membuat lututku lemas.
Sialan! Aku harus keluar dari kamar ini, jika tidak..entah apa yang akan kulakukan.
Aku berjalan keluar tanpa menoleh ke arahnya dan berjalan ke dapur mencari Martha yang terdengar sedang mengaduk aduk adonan di baskom.
“Hai Martha.” Sapaku.
Wanita itu melirik ke arahku sejenak sebelum mendengus, “Kau lupa mengancingkan ujung gaun mu, Dear.”
Aku menunduk dan mendapati bahwa sepertinya tangan Ian berhasil membuka beberapa kancing bajuku tanpa kusadari.
Segera kusematkan kancing diujung bajuku sambil bertanya, “Ada yang bisa kubantu?”
“Tidak perlu.”
“Hm.. kalau kau tidak memberiku pekerjaan, aku akan duduk di sini saja menonton.” Ucapku menarik sebuah kursi tinggi dari bar yang ada di dekat meja makan.
Martha mendengus kesal sebelum menyodorkan baskom yang dibawanya kepadaku. “Aduklah adonan ini sampai mengental!” perintahnya.
Aku menuruti dan mengambil baskon itu dari tangannya. “Apa yang akan kita buat untuk malam ini?” tanyaku.
“Makanan favorit Ian.” Jawabnya singkat.
“Yaitu…”
“Ikan goreng tepung dan mashed potato.”
“Ah..Apakah ini adonan kentang nya?”
Martha hanya menggeram meng iyakan. Tangannya memotong fillet ikan dengan terampil.
“Aku bertemu seluruh keluarga Ian kemarin.” Ucapku memecah kesunyian. “Sepertimu, kurasa ibu Ian tidak menyukaiku juga.”
Martha melirik ke arahku, “Aku bukannya tidak menyukaimu, Dear.” Suaranya agak melunak.
“Benarkah? Jadi kau menyukaiku?” tanyaku tersenyum.
“Tidak juga… Entahlah, aku belum yakin 100% tentangmu.”
Insting mu tidak salah, Martha. Aku juga tidak menyukaiku saat ini.
“Jangan diaduk seperti itu!” teriak Martha kearahku. “Pelan..melingkar..seperti ini.” Martha menarik baskom dari tanganku dan memberikan contoh sebelum mengambalikan baskom kearahku.
“Bagaimana mungkin mengaduk mashed potato saja kau tidak bisa?” cibirnya. “Apakah ibumu tidak pernah mengajarimu memasak?”
“Aku tinggal dengan ibu tiriku dan dia tidak mengijinkanku di dapur. Adikku lebih pintar dalam hal ini.”
“Kenapa dia tidak mengijinkanmu di dapur?”
Aku mengangkat bahuku, “Kurasa dia tidak suka karena aku agak ceroboh dan sering menumpahkan sesuatu saat di dapur. Hanya membuat segalanya berantakan.”
“Hm… bukankah itu caranya agar kau belajar? Kau membuat kekacauan dan kau belajar darinya. Kau bersihkan, dan kau coba lagi. Mungkin lain kali kau akan berhasil…atau gagal, tidak ada yang tahu. Intinya jangan menyerah.”
Aku menoleh manatap wanita itu yang terus bergerak sambil bercerita.
“Aku selalu berkata pada Ian dan anak anak ku. Kekacauan hanyalah bagian dari hidup. Kau terima, dan kau jalani, sementara kau cari cara untuk memperbaikinya.” Ucapnya sambil memarut keju diatas nampan.
“Nih campur parutan keju ke dalam adonanmu, dan tambahkan butter ,parsley dan sedikit garam. Lalu cicipi.” Perintahnya.
Aku menuruti instruksinya.
“Tentang Nyonya Mellisa, dia mungkin terlihat keras diluar. Tapi aku yakin dengan caramu yang terus mengganggu seperti yang kau lakukan padaku, beliau pasti akan luluh.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Martha, “Apakah kau mengatakan bahwa kau mulai terbiasa dengan kehadiranku, Martha?”
Wanita itu mendengus, “Apakah aku punya pilihan? Ian terus menerus membawamu kemari. Cicipi adonannya sebelum kau tambahkan garam lagi!”
Aku memasukkan sesendok mashed potato ke mulutku yang langsung otomatis mengeluarkan suara, hmmmm…. Merasakan kelembutan makanan itu.
Martha menyendokkan adonan yang kubuat dan tampak kurang puas dengan rasanya. Wanita itu menambahkan sedikit garam dan merica kebelum menyuruhku untuk meletakkannya diatas meja makan. Sekalian menata meja makan.
Ian muncul dari dalam kamar tampak segar sesudah mandi. Aroma kayu cendana yang terpancar dari cologne nya menggelitik hidungku ketika tubuhnya menghampiriku dan melayangkan sebuah kecupan di dahiku.
“Wangi sekali masakanmu, Martha.” Ucap Ian membantuku menata meja.
“Nona Elena membantu dengan mashed potatonya, jadi jangan salahkan aku jika rasanya aneh.” Gerutu wanita itu.
“Justru Martha yang merusak rasanya dengan menambahkan lebih banyak merica dan garam.” Godaku tertawa. Kulirik wanita itu yang ikut tersenyum kecil mendengar komentarku.
“Makanlah bersama kami, Martha.” Ajakku berusaha untuk menghindari berduaan saja dengan Ian.
“Kalian makanlah, aku makan nanti dirumah bersama anak anakku. Mereka pasti sudah menantiku. Aku akan menyiapkan makanan untuk Kelly dan Yanni, lalu aku akan pulang. Selamat malam, Tuan, Nona.”
Martha berpamitan sambil berjalan masuk ke dapur setelah meletakkan ikan goreng tepung diatas meja. Meninggalkan aku dan Ian duduk di meja makan berdua.
“Yuk, makan!” ajak pria itu meletakkan sepotong ikan di piringku.
Aku menurut dan menyuapkan makanan yang di sendokkannya ke piringku. Harus kuakui, memakan masakan rumahan buatan Martha membuatku teringat akan masakan ibu tiriku.
Sejahat jahatnya ibuku padaku, harus kuakui wanita itu pandai memasak. Disaat ibuku tidak memarahiku, dia akan mengijinkanku untuk ikut makan bersama dan aku selalu menikmati semua masakannya. Bahkan jika dia sedang mengurungku di kamar mandi saat aku melakukan kesalahan, Ayah kadang menyisakan jatah makanannya yang diselinapkannya nanti ketika semua sudah terlelap.
“Kau melamun lagi, E.” tatap Ian.
“Benarkah?” jawabku tidak sadar. “Aku hanya terpukau dengan keenakan mashed potato buatanku. Bagaimana menurutmu?”
Ian tertawa kecil, “Aku tahu apa yang kau lakukan. Kau berusaha mengalihkan pembicaraan.”
“Sorry.”
“Suatu hari nanti, aku akan mendobrak masuk ke isi kepalamu.”
Aku tertawa. “Mungkin saat alat telepatimu jadi, kau bisa memakainya untuk melihat isi kepalaku.”
“Memang itu tujuanku menciptakannya. Jadi aku bisa melihat isi kepala gadis gadis cantik sepertimu tanpa perlu repot membuka mulut.”
“Gadis gadis? Lebih dari 1?” tanyaku dengan alis terangkat.
“Apakah kau cemburu?”
“Tentu saja tidak. Asal kau tahu saja, kalau kamu juga bukan satu satu nya pria yang pernah menyentuhku.” Celetukku tanpa sengaja. Ucapan yang langsung kusesali.
“Oh?” Alis Ian menyatu bisa merasakan kebenaran dalam gurauanku.
“Uhm.. hari sudah larut. Aku sebaiknya pulang.” Pamitku buru buru berdiri.
“Tapi kau belum selesai makan.”
Kusuapkan dua sendok terakhir ke dalam mulutku. “Nah, sudah.” Jawabku sambil menenggak air putih dalam gelas.
“Baiklah..Biar kuantar.” Sahut Ian bingung.
Aku menggeleng menolak. “Aku naik taxi saja.” ucapku bergegas berpamitan meninggalkan pria itu berdiri menatap punggungku yang buru buru keluar dari dalam rumahnya.