Menjelang subuh Sean sudah terbangun. Ia menatap semua ruangan di apartemennya, rapi dan bersih tentunya.
Sean menyeringai, ia benar-benar merealisasikan ucapannya———menciptakan mimpi buruk bagi Davina.
Lihat saja sekarang, Sean mengacak-ngacak ranjangnya. Mengeluarkan semua isi lemarinya, menyebar semua barang-barang yang sudah tertata rapi.
Tak puas membuat kamarnya kacau balau, Sean berjalan menuju dapur. Menaburkan tepung ke mana-mana, layaknya anak kecil ia mengelurkan isi saus dan kecap. Lantai yang tadinya bersih seketika kotor, penuh dengan kecap dan saus.
"Perfect." Sean menepuk-nepuk tangannya, sembari tersenyum puas. "Selamat berjuang Davina."
Waktu menunjukkan pukul 05.00, namun suara berisik itu sudah mengusik tidur Vina. Perasaan alarmnya ia setting jam 06.00. Tangannya terulur menggapai jam weker di nakas, dengan gerakan cepat melemparkannya.
Ia kembali tidur, memeluk bantal guling. Namun suara ringtone itu masih terus berbunyi nyaring, Vina membuka sebelah matanya. Menggapai ponsel di nakas.
"Halo." Vina menempelkan ponsel ke telinga.
Tiba-tiba suara cempreng menggetarkan gendang telinga, merusak paginya. Seketika Vina berjengit bangun, isa melotot menatap layar ponselnya.
"Sean!" pekik Vina. "Apa? Sekarang?" Mata Vina melotot, sementara Sean terus nyerocos tanpa henti. "Gue bukan babu lo!!"
Vina sudah akan mematikan ponselnya, namun ancaman Sean berhasil mengurungkan niatnya.
"Iya, gue ke sana sekarang. Puas lo!" teriak Vina di depan layar ponselnya. Vina mendengus, mengacak-ngacak rambutnya. "Dasar bos k*****t!" makinya, lalu loncat dari atas ranjang.
Vina bergegas menuju apartemen Sean, bahkan ia belum sempat cuci muka lebih dulu. Vina menarik napasnya kuat-kuat, membulatkan tekadnya untuk memencet bel apartemen Sean.
"Lama banget si k*****t," gerutu Vina, menyenderkan tubuhnya di pintu.
Tiba-tiba pintu terbuka, Vina yang terkejut pun terjatuh. Matanya mengerjap menatap kaki orang yang berdiri di depannya. Vina mendongak.
Sean yang berdiri di depannya pun tertegun. Bagaimana tidak? Vina hanya mengenakan pakaian tidur yang tipis. Sean meneguk ludahnya, posisi Vina yang mendongak membuat aset berharganya sedikit menyembul.
Sial!
Sean berdehem, mengontrol kegugupannya. "Ngapain lo!"
Vina mendengus, ia bangkit menepuk lututnya yang mencium lantai.
"Lo bisa gak si, kalau buka pintu bilang-bilang?" omel Vina.
"Gak!" jawab Sean seenaknya.
"Nye ...." Vina berdecih, karena Sean meninggalkannya di depan pintu. "Ngeselin banget si lo, kaya bayi dugong titisan mak lampir!" gerutu Vina.
"Masuk! Ngapain masih di situ?"
Vina berjalan dengan ogah-ogahan, menghampiri Sean yang duduk di sofa. Vina mengerjapkan matanya, ia tercengang melihat seisi ruangan apartemen Sean.
"Lo ... abis bikin huru hara?" Vina melongo, matanya berkedut. Ya Tuhan, kenapa hidup hamba begini amat.
"Tanda tangani ini." Sean meletakkan selembar kertas ke atas meja.
"Apa itu?"
"Liat aja sendiri."
Vina mengambil kertas itu, matanya membelalak. Sean memang biadab, bagaimana mungkin ia harus bekerja selama dua puluh empat jam. Memangnya Vina robot apa?
"Gue gak mau!" Vina melemparkan kertas itu.
"Gak masalah, gue tinggal laporin lo ke——"
"Mau lo apa si?!" teriak Vina. Napasnya memburu, menatap sengit Sean. "Salah gue apa? Kenapa lo ganggu hidup gue!"
"Salah lo?"
Sean berdiri, mendekat pada Vina yang berjalan mundur. Mata Sean terus menatapnya tajam, hingga kaki Vina mundur menyentuh sofa. Ia terduduk di atas sofa dan Sean mengungkungnya.
"Salah lo ...." Jantung Vina berdetak kencang, matanya terkunci oleh sorot mata Sean yang begitu dalam. "Karena lo itu ...." Sean tak jadi melanjutkan ucapannya, karena suara ponselnya yang tiba-tiba berdering.
Sean bangkit, berbalik menjauh. Vina bisa bernapas lega, meski ia harus mengalami cegukan. Kenapa dengan dirinya, apa sebegitu menakutkannya Sean? Jantungnya selalu maraton setiap kali berada di radius terdekat dengan Sean.
"Ma!"
Vina menoleh pada Sean yang sedang menelepon. Terlihat jelas Sean tampak kesal.
"Aku gak akan pulang, jadi terserah mama. Aku punya pilihan sendiri." Sean mengusap wajahnya dengan kasar. Selalu saja mamanya memaksakan kehendaknya. "Jangan bawa-bawa Ana!" teriak Sean.
Sean yang kesal langsung mematikan ponselnya. Sementara Vina terdiam, pikirannya mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi.
Ana?
Siapa?
Mungkinkah pacarnya?
Kasian sekali cewek itu. Pikir Vina.
Sean kembali menghadap Vina. Ia memandang Vina dengan ekspresi yang tak bisa Vina jabarkan.
"Tanda tangani atau gak sama sekali. Gue gak akan maksa. Tapi lo tahu konsekuensinya," ujar Sean.
Vina menghela napas panjang, ia menatap Sean. "Apa lo gak bisa revisi perjanjiannya? Gue manusia bukan robot yang bisa kerja 24 jam!"
"Gak! Kalau lo gak sanggup, lo tinggal bayar ganti rugi atau———"
"Oke, oke. Gue tandatangani. Puas lo!!" Vina menandatanganinya.
"Good. Tunggu sini." Sean mengambil kertas itu, berlalu masuk kamar. Tak lama ia kembali lagi. "Pake ini."
"Apa lagi ini?" Vina menaikkan sebelah alisnya. Melirik pakaian yang baru saja diberikan Sean.
"Baju lo kalau lagi kerja di sini."
Vina cengo, menatap nanar seragam Sailormoom di tangannya. Serius harus banget Sailormoon? Sean punya gangguan jiwa apa si? Aneh!
———
Vina keluar dari kamar mandi, ia menarik-narik roknya. Risih bukan main. Memang s****n Sean! Pria itu tengah tertawa terbahak-bahak melihat penampilannya.
Vina benar-benar mirip Sailormoon dengan rambutnya yang ikut dikucir dua. Astaga! Jika bundanya melihat ini, pasti akan merukiyah dirinya.
"Puas lo!" dengus Vina.
"Belum."
"Apa?" Vina melotot, ingin rasanya memutilasi Sean. Mencampurnya ke dalam ramen.
"Bersihin semuanya yang bersih, ganbate Davina." Sean melambaikan tangannya, sambil terkekeh geli.
Vina memutar bola matanya. Ia bergegas mengerjakan pekerjaannya. Vina terus mengomel, karena tempat ini sangat berantakan dan kotor.
"Iuhhh!!" Vina menutupi hidungnya, saat memungguti pakaian kotor Sean yang bertebaran. "Dasar jorok!"
Vina mengusap keningnya yang berkeringat. Pagi yang sangat melelahkan baginya. Vina menyapu lantai, dan dengan santainya Sean membuang kulit kuaci ke depannya.
"Sean!!!" bentak Vina. "Mata lo buta?"
"Berisik! Tinggal lo sapu juga." Sean tampak tak peduli, ia kembali tertawa geli saat menonton kartun Rabbids Invasion.
Vina mengembuskan napas kasar. Sepertinya ia harus membuat petisi, ini sudah termasuk intimidasi terhadap mantan.
Vina akhirnya menyelesaikan pekerjaannya, ia tersenyum lebar melihat apartemen yang sudah rapi dan bersih.
"Beres juga. Fiuhh!" Baru saja bernapas lega, tiba-tiba Sean datang membuat Vina lagi-lagi berdecak karena perintahnya. "Gue capek, lagian lo kan bisa delivery," jawab Vina.
"Gak mau! Masakin gue cepet. Itu kan tugas lo. Awas saja gue selesai mandi lo belum selesai. Gue potong gaji lo!" ancam Sean lalu pergi ke kamarnya.
"Ishh, dasar titisan mak lampir!" Vina mendengus sebal, mengusap kasar wajahnya.
Vina kembali berkutat di dapur. Membuat sarapan untuk Sean. Urusan masak memasak memang keahliannya, jadi tak perlu memakan waktu lama baginya. Vina sudah selesai memasak, kemudian menghidangkannya ke meja.
"Masak apa?"
Vina terkejut, suara Sean menginterupsinya. Terlebih embusan napas Sean di leher Vina, membuatnya menegang. Vina berbalik, matanya melebar karena Sean sudah berdiri di belakangnya.
Jarak yang sangat dekat, membuat Vina mampu mencium bau maskulin dari tubuh Sean. Vina membeku saat matanya di suguhi pemandangan indah yang terpampang nyata, d**a tegap dengan roti sobek yang membuatnya terpesona.
"OMG," gumam Vina tanpa sadar.
Vina semakin terbius oleh karisma Sean, ketampanan Sean membuat Vina gagal fokus. Rambut yang masih basah, membuat Sean terlihat cool.
Keduanya tersentak saat pintu apartemen Sean terbuka.
"Sean ...."
Baik Sean maupun Vina melotot, melihat kehadiran wanita yang terkejut melihat posisi keduanya.
"Kalian ...?"