Arini terjaga hampir semalaman. Matanya sembab, pikirannya penuh pertanyaan yang berputar tanpa henti. Kata-kata Reza di balik pintu ruang kerja itu terus bergema di telinganya: “Aku juga kangen. Besok kita ketemu, ya?”
Besok. Itu berarti hari ini.
Arini memejamkan mata, berharap semua hanya mimpi buruk. Tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma roti panggang dan kopi menyebar di ruang makan, namun hatinya hampa.
Reza muncul dengan wajah segar, seolah tak terjadi apa-apa. “Pagi, Sayang.” Ia mencium kening Arini singkat, lalu duduk membaca koran.
Arini memandangi suaminya dengan tatapan kosong. Bagaimana mungkin lelaki yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati bisa dengan mudah berbagi kata rindu kepada perempuan lain?
“Mas, malam ini pulang jam berapa?” tanya Arini pelan.
“Entahlah, mungkin agak larut. Ada rapat tambahan.” Jawaban Reza terdengar begitu ringan.
Arini menelan ludah. Bohong lagi. Ia tersenyum hambar, lalu menyodorkan secangkir kopi. “Hati-hati di jalan.”
Seharian, Arini tidak bisa tenang. Ia mencoba menulis di jurnalnya, mencoba membaca novel, tapi pikirannya terus kembali pada satu hal: siapa perempuan itu?
Setiap kemungkinan membuat hatinya sakit. Apakah rekan kerja? Klien? Atau… Nadya? Sosok yang tadi malam tampak begitu akrab.
Pukul tiga sore, Arini tak tahan lagi. Ia menyalakan laptop, membuka akun media sosial Reza. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan—Reza memang jarang aktif di sana. Ia lalu menyalakan ponselnya, mengingat-ingat kode sandi milik suaminya. Ia pernah melihatnya sekilas. Dengan tangan bergetar, ia mengetik. Salah dua kali, lalu berhasil.
Pesan-pesan terbuka. Jantung Arini berdegup kencang.
Dan di sanalah ia melihatnya. Nama itu. Nadya.
Ada puluhan percakapan. Kalimat-kalimat manis yang tak pernah lagi ia terima dari suaminya: “Aku nggak sabar ketemu kamu.”
“Malam kemarin kamu cantik sekali.”
“Andai aku bisa selalu bersamamu.”
Arini menjatuhkan ponsel ke atas meja. Tubuhnya gemetar. Dadanya sesak. Jadi benar. Sahabatnya. Orang yang ia percaya selama bertahun-tahun.
Air mata mengalir deras. Ia merasa dikhianati dari dua arah sekaligus—oleh lelaki yang ia cintai, dan sahabat yang ia anggap saudara.
Suara mobil berhenti di halaman membuat Arini panik. Ia buru-buru mengunci ponsel Reza dan meletakkannya kembali. Nafasnya memburu, wajahnya masih basah oleh air mata. Ia berlari ke kamar mandi, membasuh wajah, lalu berpura-pura sibuk di dapur.
Reza masuk dengan wajah lelah, tapi matanya berbinar. “Aku harus keluar lagi sebentar. Ada urusan mendadak.”
Arini mematung. Urusan mendadak—ia tahu betul artinya. Reza akan menemui Nadya.
“Mas, bisa nggak malam ini kita makan malam bareng? Sudah lama kita nggak makan berdua,” ucap Arini, suaranya bergetar.
Reza terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku janji besok, ya. Malam ini penting sekali.”
Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil kunci mobil dan pergi lagi.
Arini berdiri terpaku. Matanya panas, tapi kali ini tidak ada air mata. Yang ada hanya tekad. Ia harus tahu kebenaran dengan matanya sendiri.
Malam itu, dengan hati berdebar, Arini menyusuri jalan kota. Ia memesan taksi online, mengikuti dari kejauhan mobil Reza yang kebetulan ia lihat keluar rumah. Tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, napasnya naik turun.
Mobil Reza berhenti di sebuah restoran kecil yang cukup tersembunyi, jauh dari pusat keramaian. Dari jendela taksi, Arini melihat sosok perempuan dengan gaun sederhana turun dari mobil lain. Nadya.
Jantung Arini hampir berhenti berdetak. Ia ingin berteriak, ingin keluar dan mengamuk. Tapi kakinya lumpuh, tubuhnya membeku.
Dari balik kaca jendela, ia melihat Reza dan Nadya saling tersenyum. Lelaki itu menggenggam tangan Nadya dengan lembut, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan lagi.
Air mata Arini jatuh tanpa bisa dicegah. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Semua doa, semua cinta, semua pengorbanan—ternyata hanya untuk disia-siakan.
Suamiku… milik perempuan lain.