BAB 11 - Kita Impas

1421 Kata
"Bunuh." Itu kata yang diucapkan Antonio - Omnya. Suara itu menggema di benak Afkar, berputar seperti mantera yang terus menguasai pikirannya. Usai membersihkan diri, pria itu keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan tubuh beraroma sabun. Akan tetapi bukan kesegaran yang dia rasakan, melainkan bara dendam yang kembali menyala setelah sempat meredup oleh sikap hangat Iqlima. Omnya telah menjadi tamparan realitas bagi Afkar, mengingatkannya pada tujuan awal. Sungguh, dia nyaris goyah dan hampir terhanyut dalam kelembutan wanita itu. Namun, kini hatinya kembali membatu. Yang dia inginkan hanya satu, kehancuran bagi pembunuh kedua orang tuanya. Dan untuk mencapai titik itu, dia harus memulainya dari orang yang paling dekat dengannya. Iqlima, sang istri. Pikiran Afkar kembali terfokus. Dia kembali mengingat alasan mengapa dia membawa wanita itu sekamar. Bukan untuk belajar menerima ataupun berbagi kehangatan seperti pasangan suami istri pada umumnya, melainkan untuk menyiksa tanpa ikut tersiksa seperti sebelum-sebelumnya. Langkahnya mantap mendekati Iqlima, yang duduk diam di sofa dengan kepala sedikit menunduk. Wanita itu tampak menunggu, seolah sudah pasrah pada perintah apa pun yang akan keluar dari mulutnya. "Bajuku mana?" Suara Afkar memecah keheningan, dingin dan penuh tekanan. Iqlima tersentak, lalu buru-buru berdiri. Ia menatap suaminya sejenak sebelum bertanya hati-hati. "Mau disiapin?" Afkar mengangkat sebelah alis. "Menurutmu?" Seperti ditampar oleh kenyataan bahwa pertanyaannya konyol, Iqlima menunduk sedikit dan mengangguk pelan. "Aku tanya, Mas. Siapa tahu salah." Afkar mendengus pendek. "Hal semacam ini kamu tanya? Mentalmu untuk jadi istri ada atau tidak, sebenarnya?" "Ada," sahut Iqlima lirih. Namun, belum sempat ia melangkah, bibirnya tanpa sadar mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak ia katakan. "Tapi mental jadi istri Mas Rayyan—" "IQLIMA!!" Suara bentakan itu mengguncang ruangan. Seperti kilat yang menyambar di tengah langit malam, tajam dan menggelegar. Afkar menatapnya tajam, penuh amarah. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun dengan napas yang memburu. Ia tidak menyangka Iqlima berani melontarkan nama itu di hadapannya. Dengan kedua tangan bersedekap di d**a, tatapan Afkar semakin menekan, membuat Iqlima tergeragap dan segera berbalik. Tanpa banyak kata, wanita itu bergegas menuju lemari, tangannya bergerak dengan tergesa-gesa memilih pakaian untuk suaminya. Dari kejauhan, Afkar tetap memperhatikannya. Iqlima tahu betul bahwa kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Dia ingat peringatan Afkar beberapa waktu lalu—peringatan yang membuatnya tidak berani bertindak tanpa perintah. Saat tangannya menyentuh sehelai piyama berwarna hitam, bibirnya menggumam lirih, "Ternyata dia galak sekali, Umi. Aku dibentak-bentak masa" Nada suaranya terdengar seperti anak kecil yang mengadu, namun dengan wajah yang sama sekali tidak memperlihatkan keluhan. Hanya ada kelelahan yang mulai menumpuk. Awalnya, Iqlima berpikir Afkar akan berubah. Beberapa waktu terakhir, pria itu memang menunjukkan sedikit kehangatan. Setidaknya, dia tidak bersikap kasar seperti sebelumnya. Iqlima bahkan sempat mengucap syukur. Tapi ternyata, itu hanya ilusi. Setelah mandi, pria itu justru kembali ke setelan aslinya—lebih dingin, lebih kasar, lebih menakutkan. "IQLIMA!!" "Bentar, Mas." "Cepat sedikit bisa tidak?!" Iqlima menggigit bibirnya, menahan keinginan untuk mendebat. Dalam hati, dia a menggerutu, "Kenapa sih harus buru-buru? Dia benar-benar tidak punya hati seper—" "IQLIMA!!" "Sabar, Mas!" sahut Iqlima dengan panik. Karena terburu-buru, konsentrasinya buyar. Dia mengambil pakaian seadanya dan segera kembali ke arah Afkar. Tangannya menggenggam piyama hitam yang baru saja dia ambil, tanpa memeriksa lebih lanjut. Begitu tiba di hadapan suaminya, dia segera menyodorkan pakaian itu. "Nih." Namun, Afkar tidak langsung mengambilnya. Tatapannya turun, meneliti pakaian yang disodorkan. Hening beberapa detik, lalu suara dinginnya terdengar. "Underwear-nya mana?" Iqlima terdiam sesaat, lalu mengerjapkan mata. "Aku belum tahu tempatnya." Afkar mendengus, lalu melangkah melewati Iqlima begitu saja. "Benar-benar tidak becus ternyata." Iqlima terdiam di tempat. Tangannya masih menggenggam piyama yang tidak diterima, sementara suaminya berlalu tanpa peduli. Menyadari bahwa Afkar sengaja memancing emosinya, Iqlima menutup mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Sabar, Iqlima... sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." Wanita itu menguatkan hati, lalu berbalik, berniat mengembalikan piyama itu ke dalam lemari. Langkahnya ringan, tanpa prasangka buruk. Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya mendadak membeku. Matanya membelalak, dan tanpa sadar, mulutnya terbuka lebar sebelum teriakan meluncur sekuat tenaga. "AAAAAHHHH!!" . . Afkar yang sedang membongkar lemari menoleh santai. Dengan tenangnya, pria itu berdiri di sana, tak mengenakan sehelai benang pun. "Kenapa teriak?" tanyanya, seolah tidak mengerti apa yang terjadi. Iqlima yang semula terpaku kini buru-buru berbalik, membelakangi Afkar secepat mungkin. Wajahnya langsung terasa panas, napasnya tersengal, dan jantungnya berdegup tak karuan. Tanpa berkata-kata, wanita itu melangkah cepat meninggalkan Afkar, nyaris setengah berlari. Sementara di belakangnya, pria itu hanya tersenyum tipis, senyuman pertama yang muncul setelah sekian lama. Melihat kepanikan istrinya, Afkar merasa geli. Reaksi spontan Iqlima menjadi hiburan tersendiri baginya. Ia bahkan ingin segera melihat wajah wanita itu. Penasaran akan seperti apa ekspresinya? Apakah pucat pasi? Apakah seterkejut dirinya saat pertama kali melihat Iqlima tanpa busana pertama kali? Sungguh Afkar ingin tahu. Demi Tuhan, dia benar-benar ingin tahu. Atas alasan itulah, ia segera mengenakan pakaian. Sementara itu, di luar kamar, Iqlima masih berusaha mengatur napasnya. Jantungnya seperti ingin meledak. Wajahnya yang biasanya merona kini nyaris sepucat kain kafan. "Astaghfirullah ... yang tadi aku lihat apa?!" Iqlima buru-buru melangkah ke meja kecil di sudut ruangan, menuang segelas air dan menenggaknya dalam satu tarikan napas. Tapi tetap saja, rasa panas di wajahnya tak juga reda. Tangannya gemetar saat mengusap wajahnya. "Ays ... kenapa harus aku yang melihatnya?" Dalam hatinya, Iqlima tahu benar bahwa Afkar adalah suaminya, dan melihatnya dalam keadaan seperti itu bukanlah dosa. Tapi tetap saja! Ia tidak siap! Sama sekali tidak siap! Tepat saat ia tengah menenangkan diri, suara lembut tapi mengejutkan terdengar dari dekat. "Non kenapa?" Iqlima tersentak. Dengan mata membulat, dia mendapati Bi Minah berdiri tepat di depannya, menatap dengan raut penuh keheranan. "H-hah?" Iqlima gelagapan, tangannya refleks menyentuh dadanya yang berdebar keras. "Non kenapa?" ulang Bi Minah, suaranya penuh perhatian. Dari wajah istri majikannya yang pucat dan ekspresi panik setengah mati, wanita tua itu yakin ada sesuatu yang terjadi. "Ehm ... ti-tidak, Bi. Aku baik-baik saja," jawab Iqlima tergagap, berusaha tersenyum meski senyumannya lebih mirip meringis. Beruntungnya, Bi Minah bukan tipe orang yang suka banyak bertanya. Dia mengangguk begitu saja, menerima jawaban Iqlima tanpa curiga lebih jauh. Namun sayangnya, ketenangan itu tak bertahan lama. Baru beberapa saat pasca Bi Minah berlalu, sang suami muncul di hadapan Iqlima. Gleg Iqlima menelan ludah. Meski pria itu kini telah berpakaian rapi, bayangan tubuh Afkar yang begitu polos masih begitu jelas di benaknya. Tanpa bisa dikendalikan, wajah Iqlima kembali memanas, tangannya mulai berkeringat dingin. Dalam usaha mengalihkan kegugupannya, Iqlima buru-buru memecah keheningan yang mengelilingi mereka. "Ehm, Mas mau makan?" Afkar hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun. Anggukan itu lebih dari cukup untuk menjadi perintah, dan tanpa menunggu lebih lama, Iqlima segera melangkah ke dapur. Namun, seiring waktu berlalu, kegugupan dalam dirinya bukannya mereda, justru semakin menjadi-jadi. Tangannya bergetar saat tengah menyiapkan makanan di atas meja. Sesekali, dia harus menarik napas dalam-dalam agar tidak menjatuhkan sesuatu. Tapi tetap saja, saat wanita itu hendak memberikan sendok kepada Afkar, jemarinya yang tak bisa diam bergetar begitu hebat hingga sendok itu terlepas dari genggamannya. Ting ....!! Sendok itu jatuh ke lantai, Iqlima terkejut sendiri. Dengan cepat, dia berjongkok untuk mengambilnya. Tapi belum sempat dia menjangkau sendok itu, suara Afkar terdengar, datar namun penuh tekanan. "Kamu kenapa sebenarnya?" Iqlima menegakkan tubuhnya perlahan. Menatap sekilas ke arah Afkar, lalu segera mengambil sendok baru di atas meja tanpa menjawab. "Tidak, Mas," jawabnya singkat, nyaris berbisik. "Sakit kah?" tanya Afkar, masih dengan ekspresi datarnya. Iqlima buru-buru menggeleng. "Tidak juga." "Lalu kenapa pucat?" kali ini, ada sedikit ketertarikan dalam nada suara Afkar. Mendengar pertanyaan itu, Iqlima semakin gelagapan. "Ehm ...." Iqlima mengatupkan bibir, berpikir keras mencari jawaban yang masuk akal. Tapi otaknya seakan kosong. Seakan menikmati situasi ini, Afkar menatapnya dalam. Hening beberapa detik, lalu tawa kecil lolos dari bibir pria itu. Iqlima sontak mengangkat wajahnya. Matanya membulat, tak percaya. Pria itu bisa tertawa? Bukan terbahak-bahak, bukan tawa penuh kehangatan. Tapi tetap saja, ini adalah pertama kalinya dia mendengar suara itu dari pria yang selama ini selalu dingin. Iqlima semakin bingung. Apa yang lucu? Kenapa dia tertawa? Jika benar karena kejadian tadi, bisa disimpulkan pria ini adalah tipe manusia yang SMOS (Senang melihat orang susah). Sembari masih menahan tawanya, Afkar menggelengkan kepala beberapa kali sebelum akhirnya berkata, "Jangan sok panik, kita impas 'kan?" Sekejap, tubuh Iqlima membeku. Matanya berkedip pelan, otaknya mencerna ucapan itu. "Impas?" "Hm, impas!" "Impas gimana, Mas?" Iqlima balik bertanya dan menuntut penjelasan yang membuat tawa Afkar seketika mereda. Tergantikan dengan wajah tegang, seolah baru sadar bahwa mulutnya baru saja mengucapkan sesuatu yang seharusnya cukup menjadi rahasia antara dirinya dan Sang Kuasa. "What the ... apa yang kau katakan, Afkar?!" . . - To Be Continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN