BAB 01 - Namanya Afkar
“Qobiltu nikaaha watajwizaaha bil mahril madzkur haalan.”
Bersamaan dengan lantunan sighat qabul, suara saksi menggema, menyatakan sah. Namun, di saat kebahagiaan semestinya mengalir, air mata Iqlima justru jatuh. Bukan karena haru, melainkan duka yang tak bisa ia bendung. Sebab, kata-kata itu tidak keluar dari bibir Rayyanza—pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya.
Tiga bulan lalu, Rayyanza datang meminangnya baik-baik. Mereka telah bersepakat melangkah ke jenjang pernikahan, meski Rayyanza sadar bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan.
Tidak sekufu sempat menjadi penghalang, terlebih status Rayyanza sebagai yatim piatu membuatnya merasa tidak pantas berdampingan dengan Iqlima. Namun, Habil, saudara kembar Iqlima berhasil meyakinkannya untuk tetap melangkah.
Tapi hari ini, di hari yang seharusnya menjadi awal kisah baru, Rayyanza mengingkari semua yang pernah dia ucapkan. Layaknya mimpi buruk yang tak pernah Iqlima bayangkan, calon suaminya menghilang, meninggalkan pesan yang menghancurkan harapan sekaligus angan.
"Iqlima, maaf … setelah Mas pikir-pikir lagi, kita memang tidak sekufu. Alangkah baiknya pernikahan ini dibatalkan saja."
Pesan singkat itu sampai di ponsel Iqlima pagi tadi, dan seketika membuat dunianya runtuh. Demi Tuhan, dia ingin berontak. Namun, kenyataan terlalu kejam untuk dia lawan.
Hatinya hancur tentu saja. Namun, yang lebih menyakitkan adalah fakta bahwa Rayyanza bahkan telah menyiapkan seseorang untuk menggantikannya. Dengan dalih ingin memberikan yang terbaik, pria itu dengan lancang memilihkan pengantin baru untuk Iqlima, seorang pria yang katanya lebih pantas.
“Mas tahu kamu dan keluargamu akan malu. Tentang ini Mas sudah pertimbangkan. Karena itu, Mas mengirimkan seseorang untuk menggantikan Mas di hari pernikahan.”
“Dia tampan, kaya raya, sempurna, dan sangat pantas untukmu.”
“Namanya Afkar. Lengkapnya Afkar Abdi Maros, sahabat kecil Mas ... dia baik, bahkan Mas menyebutnya malaikat.”
“Sekali lagi maaf. Mungkin ini terkesan kejam, tapi ini yang terbaik untukmu. Juga untuk Mas.”
Ya, begitu kurang lebih pesan beruntun yang Rayyanza kirimkan. Jangan tanya bagaimana perasaan Iqlima, hampir gila sudah pasti.
Seketika Iqlima merasa tengah dipermainkan dan dijebak sekaligus hingga terbesit rasa benci karena Rayyanza tak ubahnya bak seorang pengecut.
Jujur saja sewaktu Afkar benar-benar datang dan memperkenalkan dirinya sebagai sahabat kecil Rayyanza yang diberikan amanah untuk menjadi suaminya, Iqlima ragu.
Meski tidak ada yang salah dengan penampilannya, Afkar sangat sempurna. Namun, tetap saja di mata Iqlima pria itu menakutkan.
Mata tajam, suara dan gelagat pria yang kini menjadi suaminya itu terasa begitu asing. Mungkin karena matanya terbiasa dengan sosok Rayyanza yang meneduhkan, tak ayal begitu melihat Afkar wanita itu merasa seperti di planet lain.
Beberapa dengan kedua orang tuanya yang mungkin bisa melihat sisi baik dari Afkar karena sejak awal pria itu terlihat sopan, Iqlima tetap keras hati.
Nalurinya merasa lebih baik gagal sekalian, tapi di sisi lain ada nama baik keluarga yang harus dia pertahankan. Karena itulah, Iqlima hanya bisa menerima.
Berpegang pada nasihat Zalina - uminya yang mengatakan bahwa, segala sesuatu yang terlihat buruk, bisa jadi terbaik untuknya, Iqlima berusaha menenangkan diri dan berharap memang akan ada di hikmah di balik kejadian ini.
Namun, meski sudah berusaha Iqlima tetap gelisah dan tidak bisa setenang itu. Doa dan harapan dari para undangan yang mengucap selamat tak semuanya Iqlima aamiin-kan.
Bahkan, selepas akad dan sebelum tamu benar-benar pulang semua, Iqlima sudah lebih dulu masuk ke kamar. Meninggalkan Afkar yang mungkin masih butuh ruang dan waktu untuk berbincang dengan anggota keluarganya.
Begitu tiba di kamar, wanita itu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Tak lupa dia merogoh ponsel di atas nakas dan kembali membaca riwayat percakapannya bersama Rayyanza.
“Namanya Afkar. Lengkapnya Afkar Abdi Maros, sahabat kecil Mas ... dia baik, bahkan Mas menyebutnya malaikat.”
Di antara sekian banyak yang Rayyanza sampaikan, Iqlima hanya terfokus pada hal itu. Matanya mengembun, membaca ulang pesan teks yang disertai foto Afkar dengan kaos polosnya itu.
Jika dilihat dari foto tersebut, Afkar terlihat berbeda. Memang yang sewaktu akad dia terlihat sangat sempurna, tapi dengan kaos polos di foto tersebut, Iqlima bisa menerka ada berapa banyak tato di tubuh pria itu.
Jelas saja bukan tipe Iqlima sama sekali, dan lagi Iqlima benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa Rayyanza menyimpulkan bahwa pria itu adalah malaikat.
Sekali lagi Iqlima perhatikan, mencoba mencari. Akan tetapi tetap saja, kesan pertama yang Iqlima dapatkan sewaktu memandangi foto Afkar hanya satu, yaitu takut.
"Malaikat katanya," ucap Iqlima tersenyum getir. Antara sedih, juga bingung tentu saja. "Malaikat apa yang begini, Mas Rayyan? Malaikat maut mung-"
"Ehem!!"
"Eh?"
"Apa katamu barusan?"
.
.
- To Be Continued -