Iqlima gelagapan, dia bergegas bangun dan memperbaiki posisinya. Duduk di tepian ranjang dan menutup ponsel segera pasca sadar Afkar kini berdiri di dekat pintu sembari bersedekap da-da.
Entah sejak kapan pria itu ada di sana, Iqlima juga tidak tahu sebenarnya. Dia berharap belum lama walau tidak begitu banyak yang diucapkan sebelumnya.
Tanpa berniat untuk menjawab, Iqlima mengatupkan bibir dan tengah berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan lain.
Sesekali dia melirik ke luar jendela, mengharap ada inspirasi karena memang, jika menatap mata tajam pria itu, Iqlima tidak mampu berbuat banyak.
"Rayyanza sedari dulu selalu berlebihan, jadi tidak perlu berekspektasi tinggi tentangku." Suaranya terdengar di tengah dilema membelenggu Iqlima.
Sontak pengakuan itu membuat Iqlima segera mengalihkan perhatian, dia agak merasa bersalah karena tadi sempat asak bicara tentang sosok Afkar yang memang agak lain di matanya.
"Maaf, a-aku tidak bermaksud menyinggung," ucapnya lembut, berharap masalah kecil ini tidak akan menjadi petaka untuk ke depannya.
"Hm."
Hm, hanya itu jawabannya dan demi Tuhan Iqlima kesal luar biasa. Sedari dulu dia paling tidak suka dengan pria yang kerap kali menyepelekan seseorang dalam berinteraksi, tapi justru dapat suami begini.
Usai memberikan jawaban super singkat itu, Afkar mulai melepas pakaian adat yang mungkin saja membuat tubuhnya agak sedikit tak nyaman.
Tanpa meminta bantuan atau mengajak Iqlima bicara, dia telah kembali dengan kemeja hitam dan celana jeans sebagaimana penampilannya sewaktu datang tadi pagi.
Tak terduga, selesai berganti pria itu turun merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan berbantalkan lengan dan mulai terpejam pelan-pelan.
Sedari tadi, gelagatnya tak lepas dari pandangan Iqlima dan wanita itu cukup terkejut dengan etika Afkar yang memang bak langit dan bumi dibanding Rayyanza.
Padahal saling mengenal saja belum, tapi sedikit pun Afkar tidak bertanya tentang boleh atau tidaknya, dia bertingkah seakan kamar ini juga miliknya.
Walau memang benar tidak ada salahnya, toh Afkar adalah suaminya. Akan tetapi, bagi Iqlima tetap saja. Berlagak seakan tidak ada apa-apa dan bersikap sesukanya bukanlah sesuatu yang pantas, terlebih lagi mereka baru mengenal dalam hitungan jam.
"Benar-benar tidak sopan, dia pikir ini kamarnya atau bagaimana?" Iqlima membantin dalam diamnya.
Ingin dia utarakan secara langsung, tapi dia kembali berpikir positif dan mungkin pria itu memang kelelahan.
Tak ingin ambil pusing, Iqlima berlalu keluar dan bermaksud minta bantuan untuk melepas semua perhiasan yang terpasang di kepala dan seluruh tubuhnya.
Namun, baru saja hendak berdiri suara berat khas ngantuk dari Afkar terdengar jelas memanggil namanya.
"Ada apa, Mas?" tanya Iqlima basa-basi, barang kali suaminya itu mau makan nasi.
"Bangunkan aku satu jam lagi." Tanpa membuka mata, pria itu tetap terpejam sembari memberikan perintah.
Perintah layaknya seorang bos besar yang tidak menerima penolakan hingga mau tidak mau Iqlima harus mau. "Iya, nanti aku bangunkan," balas Iqlima tetap sopan karena sedari dulu dia memang terkenal dengan kelembutannya.
Tak heran kenapa Iqlima diidamkan oleh banyak orang, statusnya sebagai keturunan kiyai dan juga putri pemilik pesantren Darul Qur'an juga menjadi alasan kenapa orang-orang mendambakannya sebagai istri.
Puluhan CV yang masuk untuk melakukan ta'aruf bersama putri kiyai itu, semua berlomba-lomba untuk meminangnya. Dan, di antara sekian banyak orang yang menginginkan Iqlima sebagai istri, Afkar adalah salah-satunya.
Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan orang, Afkar memiliki alasan lain kenapa dia ingin menikahi Iqlima. Bukan tertarik karena dia sholehah ataupun keturunan baik-baik, bukan pula ingin mendapatkan keturunan dari wanita sebaik Iqlima, tapi alasan utama Afkar ada di sini karena dendamnya.
Ya, murni karena dendam. Dan, apa yang terjadi hari ini adalah skenario yang Afkar susun dengan begitu rapi sejak lama.
Setelah memastikan pintu kamar tertutup, dia perlahan membuka mata dan duduk di tepian tempat tidur. Mata tajam pria itu menatap sekeliling kamar, dia tersenyum tipis karena telah berhasil mengambil langkah besar dalam misinya.
Puas memandangi kamar wanita yang baru saja berhasil dia jadikan istri itu, Afkar beralih ke ponsel Iqlima yang tergeletak di atas tempat tidur.
Rasa penasaran seketika menyelinap di hati Afkar, dia meraih ponsel tersebut dan kebetulan memang tidak butuh akses khusus karena ponsel tersebut tanpa keamanan.
Begitu dibuka, tampilan pertama langsung tertuju pada kolom percakapan di aplikasi hijau yang ada di ponselnya.
Membaca pesan itu, Afkar menyunggingkan senyum. Lucu, sekaligus geli karena tidak menyangka bahwa dia bisa mengetik pesan se-alay itu sebelum membuang ponsel Rayyanza tadi pagi. Dapat dia lihat berapa banyak balasan Iqlima yang berakhir centang satu.
"Ah, ini kah yang membuat matanya memerah tadi pagi?" Afkar bermonolog, mendadak bangga dengan pencapaian yang baru saja dia raih. "Ini baru permulaan, Iqlima ... esok lusa, aku pastikan yang keluar dari matamu bukan air, melainkan darah."
.
.
- To Be Continued -