BAB 03 - Persiapan Dirimu

899 Kata
"Masya Allah, kamu memang jauh lebih cantik tanpa make-up ternyata." Pujian itu membuat lamunan Iqlima buyar. Sedari tadi, pikiran wanita itu terus terfokus pada Rayyanza yang tega meninggalkannya tepat di hari pernikahan. Sampai-sampai, dia tidak sadar bahwa saat ini wajahnya telah kembali terlihat segar, tanpa polesan make-up sedikit saja. Seperti yang diucapkan Aisha, wajah Iqlima tampal lebih cantik tanpa dipoles apa-apa. Akan tetapi, pujian itu tak begitu Iqlima tanggapi karena suana hatinya sedang tidak begitu baik. Tentu saja perubahan ekspresinya mudah sekali tertangkap jelas oleh orang-orang di sekitarnya. Sedari dahulu, Iqlima masih sama dan dia tidak begitu berbakat dalam berpura-pura tegar. Aisha menepuk pundak wanita itu, berusaha menghibur hati Iqlima yang dia yakini memang kacau balau sejak pagi tadi. "Ikhlaskan, berarti bukan jodohnya," tutur Aisha penuh kelembutan, berharap Iqlima tidak sesedih ini nantinya. Sayangnya, setelah mendengar ucapan itu Iqlima lagi-lagi terisak dan meneteskan air mata. "Menangislah, ungkapkan kesedihanmu ... tapi setelah ini, cukup!!" "Aku tidak sanggup, Aisha." "Sanggup, jalani pernikahanmu ... lupakan pengecut itu," tegas Aisha penuh penekanan. Sebagai yang mengenal Iqlima sejak lama, tentu saja dia tidak menerima putri dari orang yang begitu dia hormati mengalami nasib semacam itu. Terbuang di hari pernikahan, dipaksa menerima keputusan tanpa persetujuannya dan hal itu benar-benar tindakan seorang pengecut. Tidak hanya di mata Aisha, tapi cukup banyak yang beranggapan sama, termasuk Iqlima sendiri. "Aku salah apa, Aisha? Bahkan laki-laki yang kukira akan memuliakanku menyakitiku dengan cara ini?" Dengan isak tangis yang kian menjadi, Iqlima meratapi tindakan Rayyanza padanya. "Tidak, kamu tidak salah ... tidak ada yang salah denganmu, Iqlima." Aisha berucap dengan penuh penekanan. Wanita itu menangkup wajah cantik Iqlima sembari menatap tajam mata indahnya. "Rayyanza saja yang tidak punya pendirian." Diam, tidak ada tanggapan sama sekali dan Iqlima masih terus terisak. Air mata yang membasahi wajah cantiknya seolah tak bisa diajak kerja sama, sedari tadi terus turun bahkan menganak sungai. Hingga, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya muncul di balik pintu. Dengan langkah pelan, wanita itu mendekat dan turut merengkuh tubuh lemah Iqlima. "Sabar, Umi pernah di posisimu dan paham betul bagaimana rasanya, Iqlima." Kurang lebih sama seperti yang dilakukan Aisha, Umi Zalina juga berusaha memberikan kekuatan agar putrinya berlapang d**a. Dia tahu betul perasaan putrinya, dan satu-satunya cara yang bisa dilalui saat ini hanya satu, ikhlas, itu saja. "Dulu, Umi juga ditinggalkan beberapa hari sebelum pernikahan, tapi bedanya Umi dulu lebih mengerikan." "Jika saat ini Afkar datang baik-baik, dan Rayyanza meninggalkanmu dengan meninggalkan pesan ... Umi dulu tidak demikian, bisa dibilang Umi dibuang dan rasanya sakit sekali." Tak lelah Umi Zalina bercerita, meski sudah sempat dibahas sebelumnya, tapi kali ini dia kembali membahas kisah usang yang mungkin bisa menjadi kacamata Iqlima agar tidak terlalu merasa patah. Sembari memberikan usapan lembut di pundak putrinya, Umi Zalina juga memberikan sekian banyak nasihat di sana. "Untuk itu, belajarlah menerima dan kamu akan tahu hikmah di balik ini semua ... ikhlas ya, Sayang," tutur wanita paruh baya itu sembari menangkup wajah cantik putrinya. Matanya memerah, Iqlima menatap sendu wajah teduh uminya. Berharap, dia bisa setegar wanita yang telah melahirkannya itu. "Insya Allah, Umi, aku ikhlas." Iqlima mengangguk pelan, disertai senyum hangat di wajah ayunya. Senyuman itu kembali berbalas, Umi Zalina tidak ingin membahas yang sudah-sudah, dia juga tidak terfokus membahas kesalahan Rayyanza. Sejak tadi, dia hanya ingin putrinya kuat menerima, tidak untuk meratapi apa yang terjadi sebelumnya. "Oh iya, suami kamu di mana? Dia belum makan sepertinya." Uminya segera mengalihkan pembicaraan, sudah tentu tidak ingin Iqlima bersedih terus-terusan. Menyebut Afkar juga tidak lagi pakai nama, tapi dengan tegas disebut suamimu agar Iqlima juga mengerti posisinya. Tak segera menjawab, Iqlima menarik napas lebih dulu. "Di kamar, Umi," jawabnya singkat. "Tidur?" "Iya, sepertinya kecapekan." Iqlima memberikan penjelasan dari apa yang sempat dia lihat sebelum meninggalkan Afkar. "Sudah pasti, Umi dengar dari Abi ... katanya Afkar datang dari Jakarta tadi malam, bayangkan betapa lelah dirinya dan ini semua demi Rayyanza." Iqlima tersenyum kecut, sedikit banyak dia pahami bahwa saat ini uminya tengah berusaha membangun citra yang baik tentang Afkar di matanya. Ya, jika dilihat sekilas, sejak awal datang dan sepanjang acara Afkar terlihat memang sangat baik dan sama sekali tidak mencurigakan. Hanya saja, Iqlima agak sedikit kesal dengan sikap dinginnya sewaktu di kamar. "Dah sana, jangan terlalu lama meninggalkannya ... nanti Afkar butuh sesuatu, dia pasti merasa asing di sini," titah Umi Zalina yang seketika itu membuat tubuh Iqlima mendadak malas. . . Dia enggan, sangat enggan sebenarnya. Untuk bertemu dengan Afkar lagi rasanya tidak memiliki tenaga, tapi apa hendak dikata? Yang dikatakan uminya memang benar. Afkar tentu merasa asing, salah besar jika dirinya justru meninggalkan pria itu. Karena itulah, Iqlima bergegas kembali ke kamar dengan hati yang berdegup tak karu-karuan. Bukan cinta, tapi secara alami berdegup saja. Dan, jantung Iqlima semakin tidak bisa diajak kerja sama tatkala masuk ke kamarnya. Di depan matanya, dia menyaksikan Afkar keluar dari kamar mandi dengan wajah yang tampak basah, begitu juga dengan rambut dan bajunya. Sembari menahan tawa, Iqlima bergegas mencarikan handuk baru untuk suaminya. "Ini," ucap Iqlima gugup setengah mati, tatapan tak terbaca yang Afkar layangkan adalah alasannya. Terbiasa dengan tatapan teduh Rayyanza membuat Iqlima agak terkejut sebenarnya, jujur saja. "Ehm, ka-kamu eh_ maksudnya, Mas mau makan?" Hanya satu pertanyaan, tapi Iqlima seakan tidak sanggup mengucapkan itu. Celakanya lagi, Afkar justru diam saja hingga membuat Iqlima semakin gugup tentu saja. "Persiapkan dirimu, lima belas menit lagi asistenku akan menjemput kita." "Hah?!" . . - To Be Continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN