Di sisi lain, Afkar duduk santai di teras, meski pikirannya jauh dari kata tenang. Dia menyesap kopi yang sudah mulai mendingin, matanya menatap kosong ke arah langit malam yang gelap. Dia menunggu kabar dari Hiro, memastikan bahwa semuanya benar-benar selesai. Meski sudah menyerahkan tugas itu kepada sahabatnya, tetap saja ada kegelisahan di hatinya. Dibandingkan kemarahan, Afkar lebih merasakan kekecewaan yang begitu dalam. Bukan hanya karena pengkhianatan Justin, tetapi juga karena dirinya yang terlalu percaya pada seseorang yang ternyata menikamnya dari belakang. Di tengah lamunannya, suara pintu yang terbuka pelan menarik perhatiannya. Iqlima berdiri di sana dengan wajah cemas. "Mas, kamu tidak tidur?" Afkar menoleh, memberikan senyum tipis. "Sebentar lagi. Kamu kenapa keluar?" I