108. Memaafkan Masa Lalu

2215 Kata

Sebelum memutuskan untuk turun ke kota dan bergegas menuju Jogja, Mas Rifqi mengajakku beli sarapan di luar. Hanya beli saja, makannya tetap di penginapan. Menurutku, rumah makan area Dieng— yang buka pagi— masih banyak yang kurang proper. Jadi kami prefer untuk take away saja. Persis seperti semalam, kami makan di balkon penginapan. Kami sarapan sembari menikmati pemandangan hijau yang memanjakan mata sekaligus menikmati udara sejuk pagi hari dan sinar matahari yang mulai hangat. Ah, entah kapan aku bisa menghirup udara sebersih ini lagi. Setelah pulang dari sini, aku akan disibukkan kembali dengan internship yang bahkan belum kelar separuhnya. “Maksimal check out jam berapa, ya, Mas?” tanyaku begitu nasi di depanku habis. Nasi ini semula hangat, tetapi sampai penginapan sudah dingin.

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN