"Sudah lama kalian tidak ke rumah." Ucap seorang wanita paruh baya, yang baru saja turun dari sebuah mobil mewah berwarna hitam.
Wanita itu masih terlihat cantik di usianya yang sudah tidak lagi muda. Penampilan dan riasan di wajahnya terlihat natural, dan membuatnya kian satu atau dua tahun lebih muda.
Mamah Maria namanya. Dia adalah ibu mertua Mia, Ibu kandung Alex.
"Alex sibuk akhir-akhir ini." Jawab Mia.
Ia meraih satu tangan Maria dan mencium punggung tangannya.
"Kabar mamah gimana? Baik, kan?"
"Mamah hampir terkena serangan jantung karena terlalu sering berharap pada kalian." Jawab Maria ketus,
"Kenapa nunggu Alex senggang, kamu bisa jenguk mamah sendirian. Jangan pedulikan anak itu."
Mia tersenyum samar.
"Iya, nanti Mia datang sendiri gak harus nunggu Alex libur." Jawab Mia.
Maria datang tidak pernah dengan tangan kosong, ia selalu membawa berbagai jenis makanan kesukaan Alex dan Mia. Bahkan jika di pinggir jalan melihat pedagang buah yang disukai anak dan menantunya, Maria pun tidak akan segan membelinya dalam jumlah banyak. Kedatangannya kali ini pun karena ia mendengar kabar Mia tidak masuk kantor karena kurang sehat.
Mia memang meleburkan diri untuk hari ini. Selain pekerjaan yang tidak terlalu diburu-buru, juga karena Mia merasa lelah dan tidak bersemangat.
"Kenapa beli rambutannya banyak banget, Mah?" Tanya Mia, begitu ia membuka satu plastik hitam berukuran besar, dimana terdapat buah rambutan yang sangat banyak. Buah rambutan memang tengah musim saat ini, banyak penjual di pinggir jalan, maupun di toko buah.
"Pasti alasannya pedagang nya udah tua," jawab Mia lagi, yang membuat Maria tertawa.
"Kali ini pedagangnya gak tua, justru masih muda. Masih anak-anak, mungkin usianya baru sepuluh tahun." Jalas Maria.
Ia memilih duduk di salah satu kursi makan, sementara Mia mengambil air minum hangat.
"Masih kecil udah jualan? Kasihan sekali." Mia menyodorkan gelas berisi air hangat pada Maria,
"Orang tuanya kemana?" Mia pun duduk tepat di samping Maria.
"Mamah gak tau, gak sempet nanya." Maria meneguk air hingga setengahnya.
"Tapi yang lebih kasihan lagi dia jualannyaa bawa adiknya yang masih kecil. Mungkin sekitar satu setengah tahun usianya." Jelas Maria.
"Anak sekecil itu harus ikut berjualan, padahal cuaca lagi panas banget."
"Mungkin orang tuanya ikut jualan juga, tapi pas Mamah beli kebetulan dia lagi ke toilet atau ke mana gitu."
"Mungkin, Mamah gak tau pasti. Tapi Mamah paling gak tega lihat anak kecil seperti itu, kesannya si orang tua gak tanggung jawab. Kalau mereka gak sanggup urus, Mamah mau urus. Kebetulan Mamah pengen banget cucu."
Ucapan Maria membuat Mia menoleh. Tapi wanita itu tengah fokus pada beberapa kotak makan yang akan di susunya di dalam kulkas.
"Bi Mar mana? Tolong bantu Mamah rapikan makanan ini."
"Ada di belakang, tunggu sebentar biar Mia panggil dulu."
Mia pergi menuju kamar belakang, dimana Bi Mar berada.
Sebenarnya tidak perlu memanggil Bi Mar, karena ia bisa membantu Maria merapikan kotak makanan itu ke dalam kulkas. Tapi pembicaraan Maria barusan membuat suasana hatinya tidak nyaman, Mia pun lebih memilih untuk melibatkan Bi Mar.
Pembahasan masalah cucu atau anak kecil terdengar sensitif di telinga Mia, apalagi akhir-akhir ini ia dan Alex tengah membicarakannya.
"Tolong temenin Mamah ya Bi, aku mau mandi dulu." Ucap Mia pada Bi Mar.
Mia lebih memilih untuk berendam di bathtub air hangat dengan berbagai wangi aromaterapi yang bisa membuat suasana hatinya membaik. Meski hanya sedikit, setidaknya Mia bisa kembali menghadapi Maria dengan keadaan tenang.
Maria memang tidak secara terang-terangan mengatakan keinginannya atau menyindir layaknya mertua jahat.
Maria tidak seperti itu, tapi seberapa sabarnya pun Maria menunggu, wanita itu tetap saja menginginkan seorang cucu.
Bukan hanya Maria, Mia pun menginginkan hal yang sama. Tapi dengan kondisinya saat ini yang tidak memungkinkan hamil, ia tidak bisa berbuat apapun lagi.
Rahimnya rusak, bahkan hampir semua Dokter yang ditemuinya mengatakan bahwa Mia tidak mungkin bisa hamil.
Sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri dan ia harus mau menerimanya.
Saat Mia tengah menikmati kehangatan air yang merendam hampir seluruh tubuhnya, tiba-tiba saja ia mendengar suara nyaring dari ponselnya.
.Mia sengaja meletakan benda tersebut tak jauh dari tempatnya berendam, hingga dengan mudah bisa meraihnya.
Nama Siska muncul di layar ponselnya, dan Mia pun langsung menggeser tombol hijau.
"Iya, Sis. Kenapa?" Tanya Mia, begitu sambungan terhubung.
"Bu, saya ada di depan rumah. Mau ambil barang Bapak yang tertinggal." Ucap Siska dari seberang sana.
"Barang apa?"
"Katanya map berwarna merah muda, ada di laci sebelah tempat tidur."
"Sebentar aku Carikan. Kamu masuk aja dulu, jangan nunggu di luar."
"Baik."
Panggilan terputus.
Mia mengakhiri berendam dan segera membilas tubuhnya, lalu memakai pakaian. Ia harus segera menemui Siska dan memberikan map yang dimaksud.
Dari kejauhan, Mia melihat Siska tengah berbincang dengan Maria. Keduanya memang sudah akrab satu sama lain.
Selain karena Siska mudah akrab dengan siapapun, juga karena Siska sudah bekerja di perusahaan cukup lama.
Maria dan Siska sering bertemu, entah di acara perusahaan atau di kantor.
"Sis, ini map nya." Mia menghampiri Siska, dan menyerahkan map tersebut.
"Iya, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu, Bapak sedang menunggu map ini di kantor."
Pamit Siska.
"Kamu naik apa?" Tanya Maria penasaran.
"Naik ojek Online, Bu. Kalau bawa mobil takut macet, nanti gak bisa cepet."
"Ya sudah. Hati-hati di jalan,"
Siska pun pergi, diantar oleh Maria sampai pintu gerbang.
"Siska itu janda, punya anak satu." Ucap Maria, saat ia kembali dan ikut bergabung duduk bersama Mia di ruang TV.
"Iya."
Bahkan hal seperti itu pun Maria tau, atau mungkin sengaja mencari tau.
"Pantas saja dia bekerja keras, karena ada anak yang harus dibiayai."
Mia hanya menggumam pelan.
Untuk urusan kerja keras ia pun termasuk salah satunya. Bahkan sebelum menikah, sampai menikah pun Mia tetap bekerja keras.
"Kasihan ya," ucap Maria lagi.
"Gak ada suami dan harus bekerja sendirian. Pasti berat."
"Gimana kalau kita jodohkan dengan seseorang." Balas Mia.
"Dengan siapa? Mamah gak punya anak lagi, atau keponakan yang masih lajang."
"Kita jodohkan dengan Alex."
"Apa? Kamu ngaco! Dia suami kamu, mana mungkin dijodohkan dengan orang lain."
"Biar Siska gak kasihan lagi, dan siapa tau dengan menikahi Siska, Alex bisa punya anak." Mia mengatakannya dengan senyum. Tapi jauh dalam lubuk hatinya ada bagian tubuh yang bernama hati, yang mulai terasa nyeri.