kesempatan yang tidak ingin kuambil

1049 Kata
"Lo panen rambutan?" Tanya Laras, ketika ia memberikan satu kantong plastik berisi rambutan. "Nggak." Jawab Mia singkat. "Bagi-bagi ke yang lain juga, kalau kamu gak sanggup habisin itu semua." Melihat satu kantong penuh buah rambutan, rasanya Laras tidak mungkin menghabiskannya sendirian. Meski wanita itu sering disebut vacuum cleaner oleh Mia, karena ia memiliki nafsu makan yang sangat besar. "Jangan." Tolak Laras. Ia pun meraih kantong plastik tersebut, lantas mengikatnya. "Buat gue aja semuanya," ia lalu menaruh kantong tersebut tepat di bawah meja kerjanya. "Lo bisa ngabisin segitu banyak?" Selidik Mia. "Nggak cuman gue aja sih. Lo tau kan, keluarga gue banyak. Maklum nyokap gak pernah kenal yang namanya program KB. Jadi, semasa mudanya dia hanya menghabiskan waktu untuk beranak." Mia hanya menggumam pelan. Sedikit tau mengenai keluarga Laras, ia memang berasal dari keluarga sederhana dengan banyak saudara. Laras pernah bercerita ia merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Bisa dibayangkan seberapa banyaknya orang tua Laras memasak setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dan karena hal itu juga yang membuat Laras lebih menyukai kantor dibanding rumahnya. Karena bagi Laras berkutat dengan segudang pekerjaan jauh lebih menarik dibandingkan bertengkar dengan adik-adiknya. "Gue masih punya banyak di rumah kalau Lo mau. Lo bisa ambil nanti, pas pulang kantor." Laras mengacungkan ibu jarinya, pertanda setuju. Mia kembali fokus pada layar komputer di hadapannya. Meskipun kedua matanya tertuju pada layar, tapi pikirannya entah berlayar kemana. "Mia, dipanggil Pak Anas." Terdengar suara teriakan seseorang dari kubikel lain. Mia menoleh, dan mengangguk samar. "Ngapain? Mau dipromosikan ya?" Tanya Laras dengan raut penasaran. "Bisa jadi gue mau dipecat, gara-gara sering libur." Jawab Mia santai. Tidak dipungkiri ia memang sering meliburkan diri, entah alasan sakit atau justru tidak ada alasan sama sekali. Terkadang Mia merasa lelah dan lemas mendadak saja, hingga membuatnya enggan melakukan apapun. "Gak mungkin karyawan teladan macam Lo dipecat gara-gara sering cuti." Sangkal Laras. "Gak menutup kemungkinan, gue kerja di perusahaan orang lain, bukan perusahaan orang tua gue." Balas Mia. Ia pun segera menemui Pak Anas yang mungkin saja secara diam-diam sudah menyiapkan surat pemecatan. Mia sudah siap dengan segala resiko yang akan dihadapinya, baginya kehilangan pekerjaan bukan akhir dari kehidupannya. Bahkan hal yang lebih menakutkan pun pernah merasakannya, lebih dari sekedar kehilangan pekerjaan. Kehilangan calon buah hati beserta rahimnya, merupakan pengalaman yang begitu pahit untuknya. Mia masuk ke ruang kerja Pak Anas, dimana ia langsung berhadapan dengan lelaki paruh baya itu secara langsung. Tidak ada basa-basi diantara mereka, karena keduanya tipe orang yang langsung bicara pada inti permasalahan saja. "Kamu akan mendapatkan promosi besar Mia, kalau proyek ini bisa selesai tepat waktu." Ucap Pak Anas dengan sangat antusias. Sementara Mia hanya menganggukan kepalanya samar, ia justru terlihat tidak begitu semangat. "Dari sekian banyak karyawan hanya kamu dan Anisa yang mendapatkan kesempatan emas ini. Kapan lagi kamu bisa naik jabatan tanpa harus menunggu lama dan bersusah payah lagi." Dibandingkan dengan Mia yang akan mendapat promosi jika pekerjaan selesai tepat waktu, Pak Anas justru lebih antusias. "Berikan saja kesempatan emas ini untuk Anisa." Mia menekan kalimatnya dengan satu tangan menyodorkan berkas yang akan menjadi materi proyek selanjutnya. "Anisa mungkin jauh lebih membutuhkan dibanding saya." Pak Anas menaikan kacamata yang hampir melorot dari hidungnya yang sedikit kurang mancung itu. "Kamu gak tertarik? Kamu mau melepas kesempatan ini begitu saja?" Dari nada bicaranya saja sudah dipastikan Pak Anas keberatan dengan keputusan Mia. Tapi Mia justru mengangguk, mengiyakan. "Iya. Saya tidak berminat." "Kenapa? Coba kasih saya alasan yang tepat." Mia menghela lemah, "Usia saya sudah tidak produktif lagi seperti dulu. Akhir-akhir ini pun saya sering bolos kerja, apa pantas karyawan seperti saya mendapat promosi besar seperti itu? Sementara ada orang lain yang mengabdikan seluruh tenaga dan pikirannya untuk perusahaan ini, tapi tidak pernah mendapat kesempatan seperti ini. Rasanya tidak adil." Jelas Mia. "Berikan saja kesempatan ini pada orang lain, Anisa atau mungkin Laras. Mereka pantas mendapatkan kesempatan ini." Pak Anas kecewa, tapi itu keputusan Mia. Ia tidak bisa memaksa ataupun bersikeras dengan keinginannya. Ia pun menerima saran Mia, meski terlihat sangat kecewa. Bagi Mia, dipromosikan naik jabatan untuk saat ini bukan hal yang sangat diinginkannya. Dia sudah tidak berambisi seperti dulu lagi. Hidupnya kini telah berubah drastis. "Tadi ngapain? Bahas apa?" Tanya Laras penasaran. "Promosi naik jabatan." Balas Mia dengan enggan. "Lo beruntung banget, Mia." Laras menepuk pundak Mia. "Orang lain butuh waktu lama untuk mendapat kesempatan itu, bahkan tak jarang mereka harus menjadi manusia bermuka dua untuk mendapatkan promosi jabatan." Mia hanya menanggapi dengan sesekali menatap datar ke arah Laras. "Promosi naik jabatan udah gak jadi hal menarik lagi untuk hidup gue." Balas Mia. Ia masih berkutat dengan beberapa dokumen di hadapannya, meski Laras menatapnya dengan tatapan aneh. "Kenapa?" Tanya Laras penasaran. "Bukannya setiap orang selalu ingin hidup sukses dari segi rumah tangga dan karir. Lo udah dapat itu semua Mia. Lo salah satu manusia beruntung." Mia menoleh ke arah Laras. "Lalu, semua keberhasilan itu untuk apa? Untuk siapa? Kalau gue gak punya anak?" Laras mengerutkan kening. "Sempurnanya hidup seorang wanita, yaitu ketika dia bisa hamil, melahirkan dan memiliki anak." Lanjut Mia. "Mi, kenapa pikiran Lo buntu banget sih?! Banyak ko pasangan yang memilih gak punya anak alias child free, dan Lo kenapa masih memikirkan hal-hal yang bikin Lo down sendiri sih?!" "Lo bisa ngomong gitu karena Lo belum menikah dan belum ada tuntutan apapun." "Emangnya suami Lo nuntut anak?" Mia terdiam, dan menggeleng lemah. "Nah, artinya dia gak nuntut. Cuman pikiran Lo aja yang berlebihan. Coba berdamai dengan keadaan dan terima kenyataan. Lo bisa bahagia tanpa punya anak, Mi." Mia menatap Laras dengan seksama. "Tapi, gue pengen punya anak. Gue mau suami gue bahagia." "Belum tentu dia bahagia hanya karena anak. Bisa aja dia bahagia miliki Lo dan kalian saling mencintai." Mia menggeleng. "Dia gak bahagia, bahkan dia meninggalkan wanita yang sangat dicintainya hanya karena gue. Gue penyebab hilangnya kebahagiaan dia, dan sekarang gue gak bisa kasih anak. Gue merasa tersiksa, karena gue gak bisa kasih kebahagiaan padanya." "Mia," lirih Laras. "Gue harus membuat Alex bahagia apapun caranya, meski gue sakit dan harus merelakan dia menikah lagi." "Kenapa menikah lagi? Banyak cara lain supaya kalian bisa punya anak. Misal adopsi." "Nggak. Dia harus punya anak sendiri, darah dagingnya." Tegas Mia. Laras hanya bisa menghela lemah dan prihatin dengan kondisi Mia saat ini. Laras tau, selama ini Mia sangat tersiksa bahkan ia selalu memikirkan banyak hal, salah satunya anak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN