Bab 8 : Tidak Ada Pilihan Menolak

1294 Kata
Ruangan IGD Setelah Tania pingsan, Harry langsung membawa istrinya ke rumah sakit. Alea, orang yang paling merasa bersalah. Karena ibundanya itu pingsan, setelah mendengar protesnya yang tidak mau dijodohkan. "Yah, maafin Lea ya, " ucap Lea dengan nada menyesal. Dia tidak tau, kalau kata-katanya itu membuat bundanya sampai sakit. Ayahnya mengusap puncak kepalanya. "Bukan salah anak Ayah, Bunda nggak apa-apa kok," jawabnya, mencoba menenangkan Alea yang seperti ketakutan. Tapi tetap saja, Lea masih merasa cemas apalagi jika sesuatu terjadi pada bundanya. Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan. Ia menyampaikan bahwa Tania harus segera di pindahkan ke ruangan ICU. Hal itu semakin membuat Alea panik. Harry yang awalnya tidak begitu panik mendadak jadi cemas juga. Ruang ICU? apakah separah itu kondisi Tania? Dokter langsung memindahkan bunda Alea ke ruang ICU. Setelah itu dokter juga menjelaskan perihal kondisi Tania saat ini. Jantungnya sudah cukup parah, sehingga ia tidak bisa mengalami tekanan walau sedikit, jika emosinya tidak stabil maka ia akan mengalami serangan seperti tadi yang membuat kondisi tubuhnya langsung menurun. "Kira-kira istri saya kapan bisa di pindahkan ke ruang rawat biasa, dok? Separah itukah kondisinya sampai dia harus masuk ruang ICU?" tanya Harry, sementara Alea terus menangis dan takut terjadi sesuatu pada bundanya. "Maafin, Lea, Bun..." "Kalau kondisinya membaik, maka ibu Tania bisa segera dipindahkan ke ruang rawat, kita lihat dulu perkembangannya. Karena sekarang ibu Tania butuh perawatan yang intensif," jawab dokter memberi penjelasan pada Harry. "Baik, Dokter. Terima kasih." **** Lea menangis sambil melihat Tania yang belum juga sadar. Saat ini bundanya itu belum juga siuman. Padahal sudah enam jam ia duduk menunggu bundanya itu sadar. Rasanya ia ingin langsung meminta maaf pada bundanya, karena kata-kata dia bundanya sampai seperti ini. "Alea, Sayang." Suara Tania terdengar sayup-sayup. Saat itu Alea tidak sengaja ketiduran karena kelelahan menunggu sejak tadi. Ia langsung bergegas saat memastikan itu memang suara bundanya. "Bunda! Bunda udah sadar? Maafin Lea, ya Bun." Alea menciumi bundanya, ia sangat takut kalau bundanya tidak bangun lagi. Pikirannya melalang kemana-mana. "Iya, bukan salah kamu, Sayang. Ayah mana?" tanya Tania saat tidak melihat suaminya dimanapun sejak ia sadar. "Ayah lagi ambil pakaian Bunda, tadi Lea di suruh jaga Bunda. Maafin Alea ya, Bun. Ini semua karena kata-kata Lea. Tadi, Lea sadar ngomongnya keterlaluan sama Bunda," sesal Alea dengan mata yang basah karena tangisnya. Diusapnya oleh Tania ujung mata Alea yang menggenang. "Udah, jangan nangis. Bunda sayang banget sama Alea, apalagi hanya kamu anak bunda satu-satunya. Bunda nggak mau bikin Lea susah dan menderita. Percaya sama ayah dan bunda, ini semua demi kebaikan kamu." Saat itu Alea hanya bisa mendengarkan penuturan bundanya. Ia tidak mau lagi membantahnya. Cemas, kalau itu membuat ibundanya itu bertambah sakit. Air matanya tumpah, dia sangat menyesal. "Anak om Steve itu baik, dia juga terpelajar, dewasa. Bunda harap Lea mau mengenal anak om Steve itu. Seenggaknya pendekatan dulu, siapa tau aja cocok." "Tapi bun-Lea belum... " saat itu Tania kembali menyentuh dadanya. Lea langsung ketakutan. "Ya ampun, Bunda kenapa? Maafin Lea Bunda... Iya, Lea mau kok kenal sama anaknya om Steve. Tapi, kalau anaknya om Steve yang nggak mau kenal dengan Lea gimana Bun? itukan bukan kesalahan Lea..." "Kalau memang anak om Steve yang nggak mau, nggak apa-apa, Lea. Asalkan kamu jangan menolaknya, ya." Demi kondisi ibundanya, Lea mengesampingkan egonya. Kesehatan ibundanya harus diutamakan. "Iya, Bun. Kalau gitu... Lea... Mau..." Meski terpaksa, tapi dia tidak mau jadi anak durhaka. Sekarang Tania dapat bernapas lega. Setidaknya kondisinya ini membawa kebaikan. Karena Alea lebih mudah luluh meskipun sakitnya bukan pura-pura. Ia benar mengalami sakit jantung, hal itu sudah lama ia rasakan dan kerap kali kambuh. Setelah keduanya berbincang. Lea keluar dari ruangan bundanya. Ia duduk di kursi tunggu sambil menyentuh d**a, mengelus nya dengan napas yang sedikit sesak terasa. Alea Teringat lagi kata-katanya yang menerima permintaan ibunda. Dia harus mau dijodohkan oleh anak dari rekan bisnis orang tuanya. Entah itu Jeje, yang dia anggap om-om menyebalkan. Atau... Keano, adik dari Jeje. Nama Keano, rasanya tidak asing buat Alea. Ia teringat lagi kakak senior yang pernah datang saat ia masih duduk di kelas sepuluh. Cowok tersebut bernama Keano juga. Dia adalah cinta pertama Alea. Keduanya dipertemukan saat cowok tersebut sedang magang di sekolah Alea untuk tugas kuliahnya. Alea dan cowok itu bahkan sempat bertukar nomor telepon. Tapi sayang, ponsel Alea kejambretan. Keduanya pun tidak pernah bertemu lagi semenjak itu. "Duh, kenapa malah teringat sama kak Keano sih! Tapi, kalau aja kak Keano itu yang jadi calon suamiku, mungkin aku mau." Tapi, Itu hanya ada dalam khayalan Alea saja. "Nasib kamu gini amat sih, Lea. Gimana kalau kamu akhirnya malah nikah sama om-om nyebelin itu? Apa kamu sanggup?" Membayangkannya saja sudah membuat Lea ingin berteriak. "Nggak mau! Aku beneran nggak mau!" gelengnya. *** Di kamar Jeje. "Huh, kenapa hari ini lengkap banget sih penderitaan saya. Udah ketemu murid yang nakal, eh malah anak nakal itu yang mau dikenalin sama mami dan daddy, dosa apa kamu, Je!" rungut nya sebal. Ia membuka pakaian dan langsung bergegas untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian, setelah Jeje selesai mandi. Ia langsung keluar menuju kamar adiknya, Keano. "Nggak peduli, intinya biar si Kean aja yang dijodohin sama tuh anak nakal. Masa saya, bisa gawat ini," gumam Jeje sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Tapi ternyata pintunya terbuka begitu tangannya mendorongnya pelan. "Nggak dikunci, kemana dia?" Jeje masuk ke dalam kamar adiknya, tapi tidak ada siapapun di dalam. "Kean, kamu dimana?" Tetap saja tidak ada jawaban dari adiknya tersebut. "Dia nggak ada di kamarnya." Jeje melihat sekeliling kamar Keano, memang tidak ada siapapun. Pandangannya terpaku saat melihat selembar kertas tergeletak di atas nakas. Itu adalah sebuah pesan yang ditinggalkan adiknya. Maaf Mom, Dad. Keano pergi ke Amerika, ya. Keanon tidak bisa ikut ke pertemuan itu, Keano serahkan ke Bang Jeje, Kean harap semua baik-baik saja. Salam sayang, Keano. Jeje memijat keningnya saat membaca tulisan tersebut. Bagaimana bisa adiknya itu tidak sopan, pergi begitu saha tanpa berpamitan. Memang sebelumnya Keano sempat mengatakan akan melanjutkan S2 nya di Amerika. Tapi, Kanaya dan Steve menginginkan salah satu anaknya untuk menikah agar bisa menggantikan posisi Steve di perusahaan dengan segera. Tapi, Jeje tidak tertarik dengan bisnis. Sementara Keano lebih suka berbisnis dengan caranya sendiri. Kalau seperti ini Jeje cemas, akhirnya ia juga yang menjadi korban. "Keano, awas kamu!" Di kamarnya, Keano hanya bisa terkekeh sendirian. Dia juga tidak tega jika harus menipu abangnya itu. Padahal, Steve pulang sendiri, tanpa dia, karena dia masih di Amerika. "Gue usahain pulang, ya, Bang. Kalau lo jadi nikah." Kejadian sebelum Steve pulang... "Keano, ini permintaan mami kamu. Kamu janji untuk menuruti keinginan mami, kan?" kata Steve pada anak bungsunya. "Hem, apa sih memangnya, Dad?" "Tulis kata-kata ini di kertas." Steve menyodorkan ponsel, di situ ada teks yang diketik langsung oleh Kanaya agar putranya itu menulisnya di atas kertas. "Astaga." Belum dijelaskan konsepnya, Keano sudah tertawa terbahak-bahak. "Ya Tuhan. Jadi mami dan daddy mau jodohin Bang Jeje gitu?" Steve menghela napas berat. Dia juga tadinya tidak setuju dengan ide Kanaya. Tapi benar juga, kalau usia tiga puluh tahun belum menikah. Jika tidak dipaksakan maka lama-kelamaan Jeje benar-benar tidak akan menikah nantinya. "Abis gimana lagi, Kean. Abang kamu itu harus nya sudah menikah." Steve menegaskan. Keano hanya manggut-manggut, setuju juga dengan kata-kata daddy-nya. "Kalau gitu Keano tulis sekarang." Alhasil Keano mau diajak kerja sama oleh Steve dan Kanaya. Tak lupa, Keano juga dibuat seolah-olah sudah pulang ke Indonesia bersama dengan Steve. Dia juga diminta mengirimi Steve pesan singkat, agar Steve menggantikannya datang ke pertemuan dengan keluarga kenalan Steve. "Thank you, Bro." "Haaah, Kean juga seneng, Dad. Kalau akhirnya Bang Jeje mau dijodohin dan menikah. Jangan sampai, dilangkahi sama Kean." Steve menepuk bahu putranya sambil menautkan alisnya bersamaan. "Kamu udah punya pacar?" Keano hanya menyengir. "Belum sih, tapi ada incaran." Steve menggelengkan kepalanya. "Baru incaran. Kamu selesaikan dulu kuliah kamu." "Iya iya, Keano paham."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN