Bab 9 : Buktikan Kalau Kamu Bukan Bocil

1190 Kata
Jeje meremas kertas yang berisikan pesan dari Keano. Dengan napas panjang ia segera membawa kertas itu dan langsung memberikan kertas itu pada Kanaya. "Mam, lihat kelakuan Keano. Dia pergi tanpa pamit, hanya ini yang dia tinggalkan," ujar Jeje sambil memberikan kertas tersebut pada Kanaya dengan nada marah. "Kekanakan!" "Surat?" Kanaya mengambil kertas tersebut sambil membaca isinya. Raut wajahnya sih tampak kaget. Ya, pasti kaget, tentu saja, batin Jeje. Keano ternyata pergi karena tidak mau diperkenalkan dengan anak kenalannya. Raut wajah Kanaya cukup meyakinkan, bahwa dia ikut kesal dengan surat yang ditinggalkan Keano. Jeje pun yakin maminya itu pasti sedih. Mengetahui hal itu Kanaya menyentuh d**a sambil meringis miris. Melihatnya di depan mata, tentu membuat Jeje tidak tega, ia langsung memeluk maminya. Ah, sudah pasti, dia harus menghibur sang mami yang bersedih. Adiknya memang sangat keterlaluan, pikir Jeje menggeram tertahan. "Sudahlah, Mam, jangan sedih, jangan nangis. Nanti Jeje akan menelpon Keano." Kanaya menganggukkan kepalanya sambil sesekali menyentuh ujung matanya yang kering. "Biarkan dia pergi, intinya kan mami juga Daddy sudah tahu, dia pergi untuk kuliah lagi," tutur Jeje sambil mengusap punggung maminya dengan lembut. "Jeje tahu, Mami pasti sedih." Naya mendongak, sambil memajukan bibirnya seperti anak kecil. Hal itu membuat Jeje mengerutkan kening. Kenapa Kanaya menatapnya seperti itu. Jangan-jangan? Tidak mungkin. Mamanya tidak boleh memikirkan seperti apa yang dia pikirkan. "Mam, jangan katakan Mami ingin aku menggantikan posisi Keano?" Naya memasang kembali raut memelas itu. Dia tau kelemahan sulungnya yang tidak tegaan. "Jeje, kamu anak Mami yang paling pengertian, iyakan? Lagi pula, usiamu sudah cukup. Mami mohon, ya, Lea manis sekali. Mami sangat suka dia." Jeje menggeleng cepat, lalu menjauh dari Kanaya. "Enggak, Mam. Jangan anak itu, Jeje nggak suka dia," tolak putra sulung Steve secara tegas tanpa banyak menimbang. Dari sekian banyak gadis kenapa harus bocil itu, sih, pikir Jeje terus menolak tegas. Dipikir berulang pun Jeje tidak pernah menemukan kecocokan antara dia dan Aleandra. Kanaya malah semakin bersedih. Dia harus tetap berjuang agar Jeje mau melakukan apa yang dia inginkan. "Jeje kok gitu sih, lihat bundanya Lea, dia kena serangan jantung. Apa Jeje mau kalau Mami juga kena serangan jantung?" Begitulah kira-kira cara Kanaya membujuk putranya. Astaga, kenapa Mami jadi ikut kekanakan. Mana mungkin ada anak yang ingin orang tuanya terkena serangan jantung! Jeje membatin kesal. "Mam, Jeje sedang tidak ingin berdebat apalagi tentang ini. Jeje harus kembali ke apartemen. Jadi, jangan bicarakan ini lagi, Jeje pusing." Jeje mengecup singkat kening Kanaya, dan langsung pergi begitu saja. "Jeje, jangan pergi, Nak!!" Tapi tetap saja, Jeje pergi dan tidak mengindahkan ucapan maminya. Bukan karena tidak ingin berbakti pada orang tua, tapi menikah dengan gadis yang sama sekali tidak ia cintai? Itu tidak masuk akal bagi Jeje. Saat itu Kanaya bingung, harus berbuat apa. Padahal, kepergian Keano adalah rencananya. Ia yang menyuruh putra bungsunya untuk menolak, tentu saja hal itu dia lakukan karena ingin putra sulungnya yang menikah, bukan Keano yang masih muda. Tapi, Jeje malah tetap menolaknya. Lalu sekarang dia harus berbuat apa lagi ? "Mami mau kamu nikah, Je!" *** Apartemen Jeremy. Sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang tempat tidurnya, ia terus mengumpat kesal. Kenapa harus dijodohkan, itu yang membuat ia jadi malas untuk pulang. Akhirnya, karena rasa suntuk dan perasaan yang tidak mood, membuat ia memilih untuk bergegas pergi ke sebuah cafe untuk sekedar minum kopi. "Espresso." "Baik, tunggu sebentar." Pelayan pergi untuk menyiapkan pesanannya. Sambil melihat ke luar jendela, Jeje malah tidak sengaja melihat seorang gadis yang tidak asing. "Bukannya itu bocil nakal? Kenapa dia malah nangis di sana?" ucapnya saat melihat Alea sedang menangis seperti anak kecil sambil duduk di depan cafe tempat ia berada sekarang. Tak mau memikirkan apapun, Jeje lebih memilih fokus pada pesanannya. Kenapa belum juga datang sih, batinnya. "Silakan, Kak." Kak? Apakah Jeje semuda itu untuk dipanggil kakak. Lalu, kenapa Alea malah memanggilnya Om-om? Masih dalam batinnya, ia terus merutuki panggilan Alea terhadapnya. "Terima kasih." Saat Jeje hendak menyeruput espresso miliknya, ia melirik ke arah tempat dimana Alea duduk tadi. Tapi, gadis itu sudah tidak berada di sana lagi. "Untuk apa aku mencarinya sih," gumam Jeje yang hanya langsung menyeruput espresso miliknya. Tapi, ia terkejut saat sosok gadis itu ternyata malah ada di hadapannya sekarang. Duduk manis di kursi depan. "Astaga!" Hampir saja Jeje menyemburkan minuman di mulutnya. Untung saja itu tidak terjadi. "Kamu ngapain? Muncul tiba-tiba seperti setan saja!" Ketus Jeje. Alea memanyunkan bibir. Persis dengan yang dilakukan Kanaya tadi, kenapa mereka bisa sangat mirip. Batin Jeje sambil mengusap wajah. "Hei, kenapa malah nangis? Kamu ngapain?" ulang Jeje. Lea mengusap air mata, saat itu ia menangis sampai hidungnya basah. Jeje menggeleng, lalu mengambil sapu tangannya. "Jorok sekali sih!" Ia menghapus air yang berada dibawah hidung Lea. Gadis itu tertegun, ia juga tidak mengerti kenapa malah menghampiri Jeje saat ia tak sengaja melihat laki-laki itu sedang duduk menikmati kopinya. "Makasih," ucap Alea dengan suara lemas. "Bisa juga kamu bilang makasih," sahut Jeje memberikan sapu tangan itu pada Lea. "Buat kamu aja," tambahnya. "Nggak mau, itukan punya om!" Tolak Alea dengan tegas. "Terima!" "Enggak, Om!" Baru bertemu saja mereka sudah kembali bertengkar. "Saya bukan Om kamu!" Untuk ke sekian kalinya, Jeje menekankan hal itu pada Alea. "Iya, maaf." Alea masih menangis dan akhirnya ia mengambil sapu tangan Jeje tersebut dengan terpaksa, lalu mengusap lagi air matanya. Jeje mengembuskan napasnya asal. Entah maksud Alea apa, kenapa daritadi hanya menangis terus tanpa berkata apapun. "Saya mau pulang, kamu terusin aja nangisnya." Jeje beranjak dari duduk, bermaksud pergi meninggalkan Alea. Tapi tanpa di sangka, gadis itu malah menahan Jeje dengan menggenggam tangan Jeje erat-erat. "Kamu mau apa? Jangan pegang-pegang!" Lea menatap tajam Jeje. Tapi, sudut matanya kembali mengalirkan bulir bening. "Tolong bundaku, Om... mau ya, kita terima permintaan orang tua kita. Aku nggak mau bunda makin parah," mohonnya dengan mata yang merah dan basah. Jeje menggertakkan gigi menahan geram. Apa ini, kenapa dia seperti kucing kecil dengan tipu muslihat? batin Jeje mulai merasa serba salah. Baru saja dia kabur dari maminya yang terus memohon. Kenapa sekarang bocil menyebalkan itu yang memohon dengan wajah seolah habis dianiaya? "Jangan nangis!" "Om... tolong ya om... " "Harus berapa kali saya bilang, saya bukan Om kamu, Cil!" "Aku juga bukan bocil Om. Apa Om perlu bukti?" "Bukti apaan sih?" tanya Jeje sambil mengangkat alis. "Bukti kalau aku bukan bocil, tapi awas nanti Om naksir lagi." Jeje menggeleng dengan senyum miring. "Pede juga ya kamu. Oke buktikan kalau kamu bukan bocil!" Alea mengelap kembali air hidungnya. Dia mengangguk saja, tanpa tau yang dimaksud Jeje. "Oke, mau di mana?" "Apa?" Kaget Jeje, dia masih belum paham apakah Alea benar-benar setuju membuktikan ucapannya atau dia yang gagal paham? "Di hotel." Akhirnya Jeje asal menguji Alea tanpa memikirkan banyak konsekuensi nya. "Kenapa harus di hotel? Di sini kan, bisa?" "Astaga!!!" Jeje kaget bukan main. "Kamu gila?" Wajah Alea tampak bingung. "Kenapa sih? Di sini aja, Om mau cara apa?" "Hah?" Jeje makin bergidik merinding melihat Aleandra. "Bocil kamu ngerti nggak apa yang lagi kamu omongin?" "Ngerti, Om, ya udah, aku akan buktikan kalau aku bukan bocil." "Ya, terus, masa di sini?" "Kejauhan Om kalau ke hotel dulu. Udah nggak sabar nih." Alea malah menyengir kuda. "Kamu gila, Cil?!" _____________ Jadi gimana maksud Lea? ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN