THANKS GOD

2194 Kata
Sebelumnya, aku tidak pernah ingin tahu tentang urusan orang lain. Bukan urusanku dan selama tidak berkaitan denganku, tidak masalah. Begitu prinsip yang selama ini aku anut untuk menghindari sifat keingintahuan berlebih pada urusan orang lain. Aku tidak mau dibilang 'kepo' apalagi kepoan. No way. Kepo sebenarnya bukan dosa, secara itu masih manusiawi belum hewani atau nabati. Hanya saja, terkadang seseorang bertanya dan mendesak bercerita bukan untuk menunjukkan kepedulian, melainkan hanya mencari kepuasan untuk rasa penasaran yang dirasakan. Karenanya, aku tidak pernah ingin menjadi manusia yang seperti itu. Lebih suka menyimpan masalah yang bersifat pribadi dalam hati dan cukup mendengarkan jika dicurhati. Awalnya begitu, meski kurasa karena masalah hari ini, prinsipku itu akan sedikit berganti. "Aduh," seru Arif yang tiba-tiba melenguh sakit sambil memegangi perutnya. Saat ini kami sedang santai, belum ada kerjaan. "Ada apa, Cuyy?" tanyaku khawatir. "Ssttt, jangan berisik Ga!" katanya sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Eh? Ada apa?" tanyaku penasaran. "Ga, aku izin kentut ya," jawabnya dengan mata polos tidak berdosa. "Heh? Jangan, dong! Keluar ruangan aja sana!" kataku dengan panik.         Tiba-tiba Arif memejamkan matanya lalu terdengar suara yang tidak asing disertai bau menyengat yang menyebalkan. Tut.. Tut.. Tut... "Asem!" umpatku yang segera mungkin melakukan penyelamatan dengan menutup hidungku dengan tangan. Arif tersenyum lebar. "Bauk ih, jorok!" dengusku kesal. Arif tidak menjawab, hanya mengenduskan hidungnya yang besar seolah dia sedang melakukan penghirupan udara. "Udah," katanya. "Hah?" "Udah nggak bau, udah kuhirup semua baunya," jelas Arif. Aku memegangi tengah jidatku, entah kenapa mendadak pening. "Ga," panggil Arif lagi membuatku yang sedang melakukan peregangan untuk leherku yang pegal-pegal menoleh ke arahnya. Lagi. "Apa lagi sekarang?" tanyaku sambil merengut. Arif nyengir lebar. "Aku izin mengheningkan cipta dulu ya," katanya. "Oke," jawabku sambil membentuk isyarat ok dengan dua jariku. "Sana deh! Sebelum kamu kentut lagi, buruan mengheningkan cipta!" usirku. "Bentaran, Kok! Nanti kalau ada yang CT atau rame call aku aja," kata Arif. "Siap!" jawabku walau sebenarnya ragu. Setelah itu, Arif meninggalkan ruangan sehingga kini hanya tinggal aku sendirian. Arif itu adalah tipe yang paling malas memeriksa handphone. Nungguin Arif balas chat, itu sama kayak nungguin jerapah bertelur. Dia pesan minuman saja meminta bantuan Ima. Sudah begitu, jarang isi pulsa dan paket data. Kalau ditelpon, dia akan jawab kalau kebetulan dia sedang ingin menggunakan handphonenya atau kesambet setan ponsel. Aku menghela napas, menatap jam dinding yang baru menunjukkan jam 8 malam.  Shift kerjaku masih tersisa satu jam lagi. Aku melirik ke arah tempat Blanko biasanya diletakkan, tidak ada blanko satu pun di sana. Pekerjaan hari ini sudah bisa diselesaikan. Namun bukan berarti tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan nanti, besok Ima akan menginput lagi data pasien yang butuh diagnosa Radiologi. Aku juga masih harus bersiap, stand by kalau-kalau ada pasien yang bersifat urgent membutuhkan bantuanku. Tiba-tiba pintu ruangan dibuka, aku singgungkan senyuman saat suster Rani masuk dengan blanko di tangannya. "Sendirian aja Ga?" tanyanya. "Iya, Arif lagi mengheningkan cipta!" jawabku. Suster Rani mengangkat satu alisnya. "Pup," jelasku. Suster Rani tergelak, merasa lucu karena aku menyebut pup  dengan istilah mengheningkan cipta. "Kok bisa disebut mengheningkan cipta sih?" tanya Suster Rani heran. "Soalnya kalau Arif pup harus diem, kalau ada suara, dia nggak bisa pup! jelasku. "Hah? Kenapa?" tanya suster Rani lagi. "Entah, dia yang bilang gitu sendiri," jawabku. "Oh gitu." Suster Rani menaik-turunkan kepalanya tanda mengerti. "Ada apa?" tanyaku sambil menunjuk ke blanko yang dipegang oleh suster Rani. "Ah, iya, sampai lupa," katanya sambil  memukul pelan keningnya. "Ada pasien baru masuk UGD, korban kecelakaan lalu lintas, masih remaja, kayaknya trek-trekan, sedang dijahit kakinya sekarang! Kepalanya berdarah, jadi butuh CT-Scan buat periksa CKR* ( Cidera Kepala Ringan )!" jelas Suster Rani. "Butuh dirontgen kakinya atau cuma CT-Scan kepala aja?" tanyaku. "Dua-duanya. Lebih jelasnya, permintaan rontgennya sudah ada di sini!" jawab suster Rani sambil menyerahkan blanko di tangannya padaku. "Oke, thanks." Suster Rani mengangguk. "Yups, bentar lagi aku bawa pasiennya kemari. Masih ditangani kakinya. Daging kakinya menjuntai keluar jadi harus dijahit!" kata suster Rani. "Iya, iya, jangan dikatakan terus soal kakinya!" kataku merasa kurang nyaman. Terlebih aku belum makan dan berniat makan setelah pulang kerja. "Hehe." Suster Rani terkekeh pelan. "Ya, deh! Met ketemu bentar lagi Rangga," pamitnya dengan nada manja yang sama sekali tidak membuatku tergoda. "Huum," sahutku singkat. Aku memperhatikan permintaan rontgen untuk pasien remaja yang bernama Andi Latif, 18 tahun. Disana tertulis Cruris dextra* , humerus* dextra dan thorax. Sepertinya kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh pasien tersebut cukup serius. Tak lama kemudian, datanglah suster Rani dengan pasien yang dimaksud dan cukup membuatku shock walau tidak sampai serangan jantung. Pasien yang trek-trekan, yang sok jadi jagoan Neon jalanan, yang daging kakinya menjuntai keluar, yang kepalanya berdarah dan perlu di CT-Scan dan dirontgen itu sungguh di luar perkiraan. Dia memang jagoan, makan, karena jika aku prediksi berat badannya lebih dari 70 Kg. Aku menelan ludah, menatap buntelan manusia yang saat ini berada di depanku. Dia menangis seperti bayi rapuh walau di lengannya kulihat sebuah tato tengkorak dilukis di sana. "Andi Latif?" tanyaku. Pasien bernama Andi itu menghentikan tangisnya sejenak. "Kita mulai CT-Scan dulu baru lanjut rontgen ya!" kataku dengan ramah, memaksakan diriku untuk tersenyum walau sebenarnya hatiku enggan sekali. "Mama," rajuknya sambil memanggil orang tuanya yang rupanya juga ikut menemani dan sedang menunggu di luar ruangan. "Tenang ya, nggak apa-apa!" suster Rani ikut membujuk remaja labil itu. Setelah beberapa jenak, pasien itu berhasil dibujuk. Dia sudah tidak menangis lagi. Aku pun mulai melakulan CT-Scan padanya. Cukup mudah melakukan itu karena kepala yang menjadi subjeknya. Shit. Aku mulai merutuki pasienku itu dalam hati saat sudah berada di meja rontgen. Berat badannya yang bisa dikatakan obesitas* itu sangat mengganggu. Aku menjadi kesulitan untuk menggeser meja rontgen dikarenakan dia lebih berat daripada 10 karung beras. Aku yang hanya seorang Rangga Aditya George, lelaki jomblo biasa, bukan master Limbat atau semacamnya menjadi sadar diri bahwa aku ini butuh otot yang kuat atau setidaknya olahraga. Kekuatan tubuhku sangat lemah mengingat tubuhku yang bentuknya mirip papan setrikaan, bukan kotak-kotak atau kue lapis. Dengan kekuatan bulan, tidak, bukan itu, bercanda. Dengan usaha keras dan tenaga ektra, akhirnya proses rontgen bisa selesai. Setelah kuberikan hasilnya, suster Rani pun membawa pasien itu keluar ruangan untuk kembali menuju IGD. Hasil rontgen dan CT-Scan barusan akan dikonsulkan ke dokter orthopedy (tulang) atau syaraf. Kalau kondisinya oke dan tidak ada masalah, pasien akan dipulangkan. Aku sempat melihat orangtua dari pasien obesitas barusan. Seorang wanita berpakaian sederhana yang jika aku perkirakan usianya menginjak lima puluh tahunan. Beliau tampak menangis, khawatir pada putranya dan tidak henti-hentinya mulutnya bergerak, berdoa mungkin. "Menyebalkan," rutukku pada diriku sendiri. Aku baru saja merutuki pasien yang sama sekali tidak aku kenal hanya karena sebuah insiden yang belum kupastikan kebenarannya. Hanya saja, melihat fakta yang aku lihat di lapangan, bukan salahku jika otakku mengambil kesimpulan. Apa yang salah Rangga? Hatiku berkata. Bukan salahmu, jika kamu merutuki pasien yang sudah dibesarkan dengan hidup nyaman ( terlihat dari bentuk badannya yang obesitas ), hanya menggunakan waktunya untuk trek-trekan di jalan dan kecelakaan. Sekarang, kakinya patah dan menyusahkan orang tua. Bukan salahmu jika kamu merutuki ketidaktahudiriannya. Begitu, hatiku menyakinkan aku. Aku menghela napas, mencoba berpikir logis. Lalu, aku ingat, Arif belum juga kembali dari proses mengheningkan ciptanya. Pintu ruangan dibuka dan aku mengernyit saat melihat Dila ( kepala ruanganku ) yang harusnya sudah pulang, datang kembali ke tempat kerja. "Belum pulang?" tanyaku. "Udah," jawab Dila. "Kok balik? Ada yang ketinggalan?" tanyaku lagi pada Dila. Dila menggeleng pelan. "Si Febri berulah," jawabnya sambil merengut. "Berulah gimana?" tanyaku penasaran. "Tadi aku tanya dia, bisa Feb bikin CT-scan dengan bayi? Terus, dia jawab bisa," kata Dila mulai bercerita. "Trus?" responku meminta Dila untuk melanjutkan ceritanya. "Walau dia bilang bisa, kenyataannya nggak bisa. Hasil CT-Scannya goyang. Akibatnya, dokter spesialis komplen! Makanya, aku balik lagi buat ngerjain sendiri!" jelas Dila. Aku terkekeh pelan mendengar cerita Dila. "Udah bilang Febri?" tanyaku. Dila mengangguk. "Nah itu, aku protes sama dia. Bilang hasilnya goyang kok diprint, Feb!" kata Dila. "And then?" "Febri bilang, bayinya aja yang gerak-gerak makanya hasilnya nggak maksimal!" jawab Dila sambil memasang wajah datar. "Haha,"tawaku pecah. Sementara Dila pun mulai melakukan tugasnya, memhandle pekerjaan yang tidak bisa Febri lakukan tadi. Aku pun sebenarnya tidak akan sanggup jika harus CT-Scan bayi atau anak-anak. Mereka susah untuk diatur, ya namanya juga anak-anak. Karena itu, Dila sangat pantas menjadi Karu yang bisa menghandle pekerjaan yang tidak sanggup kami lakukan. Soal Febri, dia memang makhluk paling kocak dan longor se dunia. Nama lengkapnya Febri Rowami Yunan, seorang lelaki yang selalu berprinsip 'pasti bisa' walau kenyataannya belum tentu bisa. Contoh, kasus yang barusan terjadi. Julukan lain dari Febri selain sebagai PPB ( Pemuda Pasti Bisa ) adalah pembalap ( Pemuda Berbadan gelap ). Tinggi badannya sekitar 168 cm dan memiliki kulit tercokelat jika dibandingkan Radiografer yang lain. Sudah taken dan selalu mesra dengan kekasihnya yang juga berprofesi sebagai perawat di rumah sakit ini. "I'm back," Ucapan itu membuatku melirik Arif yang sudah kembali dari proses mengheningkan ciptanya. Arif pun duduk sambil tersenyum lebar. Sepertinya dia sudah lega mengingat kini dia mengusap-usap perutnya. "Yaudah, cuyy, aku pamit duluan. Udah laper," kataku lalu berdiri dari dudukku. "Ish, curang. Masak aku ditinggal?" protes Arif. "Lima menit lagi kelar shift kita," ujarku. "Kamu stand by di sini, Rif. Lakuin operan sama yang shift malam, buat jaga-jaga juga takut ada pasien. Ada kak Dila juga kok lagi ngerjain kerjaan," sahutku. "Yaudah, deh!" kata Arif mengalah. "Duluan ya, besok aku shift pagi juga,"  ujarku. "Bukannya yang shift pagi besok si Vety?" tanya Arif heran. "Iya, dia dari jam 7, kalau aku dari jam 10.00 sampai jam 18.00. Kan bang Nopri cuti, jadi stand by buat bantu-bantu!" jelasku. "Iya, paham! Nggak usah dijelasin juga," kata Arif. "Iya, biar jelas aja," sahutku. "Yaudah, aku pulang. Dah," pamitku lalu keluar ruangan. Selesai melepas seragam dinasku, aku pun segera berjalan menuju parkiran. Ditemani angin malam dan kejombloan yang setia menemani, aku pergi menuju pizza hut yang letaknya tidak jauh dari tempatku bekerja.Satu Pizza Hut yang harusnya untuk dua orang, cukup membuat perutku kekenyangan. Pizza? Ya, aku tahu. Memang, aku suka hidup sehat tetapi dimana sih ada orang yang bisa hidup sangat sehat? Aku juga perlu sosialisasi dengan lingkunganku. Tidak mungkin jika teman-temanku mengajakku makan bareng, aku hanya makan nasi dengan sayur mentah saja. Lagipula, aku tidak makan pizza setiap hari. Ini namanya toleransi dalam hidup sehat. Selesai makan, aku pun berjalan keluar untuk mengambil sepeda motorku lalu pulang. "Mas! Mas!" Panggilan itu sebenarnya sudah aku dengar tetapi merasa bukan aku yang dipanggil, aku mengabaikannya. "Mas yang rambutnya setengah-setengah!" Kakiku berhenti dan otomatis berbalik badan. Entah kenapa julukan itu membuat hatiku terpanggil seolah yakin kalau yang dimaksud adalah aku. Bukan keGRan tetapi rambut setengah-setengah adalah ciri khasku. Seorang wanita muda, cantik, tubuhnya oke, berjalan cepat menghampiriku. "Dompetnya jatuh," katanya sambil menyodorkan dompet berwarna cokelat padaku. Aku pun segera memeriksa kantong celanaku dan memang, dompet yang seharusnya ada di sana, sekarang tidak ada. Aku pun memperhatikan dompet itu sebelum akhirnya mengambilnya. "Wah, makasih," ujarku sambil memeriksa dompetku. "Nggak kuambil uangnya, kok! Masih utuh," katanya memberi tahu. "Ah, bukan," sanggahku. "Sorry," ucapku merasa tidak enak. "Ah, ada," kataku lagi sambil menarik napas lega saat melihat foto keluargaku masih ada. "Foto pacarnya ya?" tanya wanita itu. Aku menggeleng. "Mama," kataku sambil memperlihatkan sebentar fotoku bersama mama dan papa. "Wah, kayak bule," komentarnya. "Ya," sahutku singkat. "Jadi, semuanya lengkap ya?" tanyanya memastikan bahwa dia tidak mengambil apapun dari dompetku yang dia temukan. "Iya, makasih ya," ucapku sekali lagi. Wanita muda itu mengangguk. "Sama-sama," sahutnya tanpa berniat pergi atau bagaimana. Aku pun hanya mematung melihatnya. "Ah, masih ada perlu?" tanyaku ragu. "Atau mau sesuatu?" lanjutku dengan hati-hati, takut dia merasa tersinggung. "Namanya siapa?" tanyanya. "Rangga," jawabku. "Nggak mau nanya namaku?" tanyanya sambil mengedipkan mata. "Ah, namamu siapa?" tanyaku. "Saya," jawabnya. "Iya, namamu siapa?" tanyaku lagi. "Saya," jawabnya. "Namaku Saya." Aku mengangguk mengerti. "Oh," "Besok Rangga ada waktu nggak?" tanyanya kemudian. "Eh?" "Traktir aku makan, dong!" pintanya. Aku terdiam, berpikir sebentar. Awalnya mau menolak tetapi karena dia sudah menemukan dompetku, aku berpikir mengiyakan keinginannya satu kali tidak masalah anggap saja ucapan terimakasih. "Besok aku bertugas sampai malam, kalau jam 7 bagaimana?" tawarku. Dia mengangguk. "Oke," katanya setuju. "Kalau gitu, mana ponselnya!" pintanya sambil mengulurkan tangan. "Eh?" "Jaminan kalau Rangga nggak akan kabur," jelasnya dengan senyuman yang susah diartikan. Aku pun memberikan ponselku padanya dan dia menelpon nomernya dengan ponselku. "Dah," katanya setelah mengembalikan ponselku. Aku hanya diam, menatap dia yang masuk lagi ke pizza hut. Namun, kemudian aku tersadar. Aku pun segera pergi dari sana dengan napas yang masih ada. Aku memang jomblo, jauh dari keluarga dan tidak begitu kaya. Akan tetapi, memiliki nyawa sampai detik ini saja, aku sudah sangat bersyukur. Terimakasih Tuhan, begitulah yang selalu aku katakan untuk menge-tag Tuhanku yang memberiku kesempatan untuk hidup hari ini. Jadi, sudahkah engkau men-tag Tuhanmu hari ini?   Note : *CKR ( Cidera Kepala Ringan ) : trauma kepala ringan dengan GCS : 15 ( kesadaran penuh ), kesadaran tidak penuh, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laterasi dan abrasi. { Dikutip dari Mansjoer, 2000 : 4 }. *Cruris : tulang kaki yg di bawah lutut sampai ankle. *Humerus : lengan atas. *Thorax : rontgen d**a. *Dextra : kanan. *Obesitas : kondisi kronis pada tubuh dimana terjadinya penumpukan lemak berlebih dalam tubuh melebihi batas yang baik untuk kesehatan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN